Dalam sebuah pendopo besar yang biasa di sebut oleh masyarakat Istana Pendopo Gubernur, tampak orang duduk mengelilingi meja besar ruang keluarga.
Terlihat di situ dua orang kakek yang sudah sangat tua berdampingan dengan dua orang gadis cantik yang masih muda. Selain mereka berempat, tampak juga nyonya rumah di samping suaminya yang tidak lain adalah Gubernur Thomas Anggara dan Bu Tisa.
Selain mereka berenam, ada dua orang lainnya. Yaitu Steve Patterson dan Profesor Andi Anggara. Mereka bercakap cakap tentang pengalaman masing masing selama terpisah puluhan tahun lalu.
Baru sehari Kek Mahesa dan Muhardi berada di situ bersama kedua cucunya. Yang paling tampak bahagia adalah buk Tisa yang memang telah lama sekali merindukan putrinya yang diyakininya masih hidup.
"Kakek berdua mulai sekarang tinggallah di sini bersama kami, tidak perlu kembali ke Aceh. Biar Tari dan Lina menempuh pendidikan disini, aku yang akan mengurusnya," Pak Thomas dengan penuh harapan berkata.
"Kami tentu akan tinggal disini, tapi tentulah tidak untuk selamanya Thomas. Lagipula Sari sudah berkumpul bersama kalian, hatiku sudah tenang," Jawab Kek Mahesa.
"Apa tidak bisa kakek di sini saja? Biar aku yang merawat kakek berdua. Disini pun keadaan nya aman dan tentram," Sahut buk Tisa.
"Benar seperti yang di bilang Bang Isa, biarlah Sari di sini menempuh pendidikan, sedangkan kami akan lebih senang hidup di tempat yang jauh dari keramaian. Masalah Lina, terserah keputusannya apakah dia mau menemani Sari di sini atau bagaimana, Lina sudah bisa mengambil keputusan." Timpal kek Muhardi.
"Bagaimana Lina? Maukah kau menemani Tari disini?" Tanya Thomas penuh harap.
"Biarlah saya ikut Kakek kembali," Kata Lina mengambil keputusan.
Profesor Andi yang hanya mendengarkan saja dari tadi bersama Detektif Steve berkata,
"Masalah itu baiknya tidak kita bicarakan dulu. Masalah Kakek berdua mau kembali ke Aceh, bahkan kami siap mengantarnya. Namun kami minta, tinggallah dulu di sini selama 2 atau 3 bulan, bukan begitu Kak Thom?"
"Ya benar. Tinggallah dulu di sini, nanti kita bicarakan hal itu lagi," Sahut Pak Thomas.
"Kek Hardi, apakah keluarga Lina juga bernasib sama dengan Sari?" Tanya Andi penasaran.
"Ya, semua keluarga kami tewas bersamaan dengan kejadian itu. Namun nasibku lebih sedikit beruntung dari Kakek kalian, aku dapat mengurus dan menyaksikan jasad keluargaku. Hanya ayah Lina yang tidak ada jasadnya di situ," Jawab Kek Muhardi dengan wajah dicekam kesedihan.
"Mungkin saja, ayah Lina dibawa oleh mereka," Seru Kek Mahesa.
"Kalau pun dibawa, untuk apa? Mengapa mereka tidak membawa Lina juga? Sungguh aneh," Celetuk Prof Andi seraya mengerutkan keningnya.
"Mungkin karena Ayah Lina seorang Dokter makanya,"
"Achh... Memang aku sudah curiga Kek, apakah ayah Lina bernama Dr Dian Muharsyah?" Potong Andi sedikit berteriak yang membuat mereka semua kaget.
"Da, darimana kau tau Andi?" Tanya Kek Muhardi kaget.
"Tentu saja aku tau kek. Karena ayah Lina masih hidup," Jawab Andi yang membuat mereka semua berteriak kaget bercampur girang.
Hanya Steve sendiri saja yang masih tenang sambil minum kopinya.
Saat di desak dengan pertanyaan oleh mereka, terutama Kek Muhardi dan Lina, Prof Andi bercerita bahwa pernah dia di undang oleh seorang Perwira Militer bernama Hans untuk menghadiri rapat. Dalam rapat itu di putuskan mereka membentuk sebuah Organisasi yang hingga kini masih bekerja dengan pendanaan seorang Bos Mafia.
Dalam rapat itu, sekilas pernah Andi mendengar mereka menyebut nyebut tentang dua orang ilmuan lama yang berkhianat dan melarikan diri membawa Sampel Projek.
Salah seorang ilmuan itu adalah Dr Dian Muharsyah yang membuat Bos Mafia sangat marah.
"Mungkin saja penyerangan terhadap keluarga kita ada hubungannya dengan komplotan Mafia itu. Aku harus menyelidiki hal ini." Tutup Andi penuh semangat.
Mendengar hal itu, timbul harapan di hati Lina untuk dapat bertemu dengan ayahnya.
Kek Muhardi yang kini menangis mencoba menenangkan batinnya. Tak disangkanya, cucu yang di kiranya telah tewas kini ternyata masih hidup.
"Semoga saja kita dapat berjumpa dengan nya," Seru Kek Mahesa dengan wajah tenang dan lembut.
.---***---. .---***---. .---***---.
Semalam suntuk Satria dan Candu, bermalam di ruang bawah tanah dimana dulunya mereka terkurung.
Pagi itu, tampak Satria menyusuri hutan berdua dengan hewan peliharaannya. Setelah melalui beberapa hutan, dia dikagetkan oleh sekumpulan orang bersenjata lengkap yang menjaga daerah perbatasan itu.
Dari bentakan mereka, Satria dapat mengerti bahwa dia di suruh berhenti jangan bergerak.
Para prajurit kaget setengah mati melihat seorang pemuda berbaju aneh membawa buntalan kain dengan pedang di punggungnya bersama seekor makhluk mengerikan. Makhluk bertanduk berbentuk ular dan berkaki dengan ekor yang sangat indah bentuknya.
Ketika beberapa orang berjalan ke arahnya dan akan menyergap, Satria dengan kecepatan kilat mencabut keluar pedangnya yang berkilau di timpa mentari pagi. Dalam waktu yang singkat, 13 orang prajurit itu telah rebah semua dalam keadaan pingsan dan tali senjata putus.
Pemuda yang kini telah menyarungkan kembali pedang nya, berjalan ke arah sungai di sebelah kiri yang di ikuti dari belakang oleh Candu.
Sesampainya Satria di tepi sungai, hanya dengan menatap mata Naga peliharaannya, Naga itu telah masuk ke air berenang mengikuti aliran air sungai dengan Satria di punggungnya.
Jika ada yang melihat mereka dari jauh, maka orang akan terheran heran melihat seorang pemuda tampan dan gagah sedang duduk di atas air dengan badan terapung meliuk liuk mengikuti aliran air sungai tersebut.
Berhari hari Satria dan Candu melakukan perjalanan aneh seperti itu. Kadang kala di saat berjumpa pemukiman penduduk, Satria meloncat ke darat berjalan menyusuri pinggiran sungai. Sedangkan Candu menyelam hingga tidak ada seorang penduduk pun yang melihat hewan aneh itu.
Hanya jika Satria lapar saja, mereka baru beristirahat di hutan pada waktu malam. Candu yang berenang dan menyelam di sungai tentu selalu berada dalam keadaan kenyang karena ikan ikan yang menjadi santapannya.
Hingga suatu hari, Satria tiba di muara sungai yang bersambung dengan lautan luas setelah melewati hutan bakau yang panjang.
Di sekitar pantai sebelah selatan, terdapat sebuah perkampungan nelayan. Satria melangkahkan kakinya ke arah dusun tersebut dan sesampainya di situ, Satria bekerja beberapa hari membantu keluarga nelayan yang berjualan dengan upah yang lumayan.
Upah berupa makanan dan buah buahan serta air putih yang segar telah di bungkusnya dengan rapi.
Malam harinya, Satria segera melakukan pelayaran panjang melewati Teluk Benggala menuju ke arah perairan Simpang Pulau Weh yang pada puluhan tahun lalu pernah menjadi Pelabuhan Bebas bagi seluruh Bangsa dan Negara asing.
Jika orang lain berlayar menggunakan perahu, maka pemuda lihai itu berlayar dengan menunggang Naga di air.
Pernah suatu kali saat lautan kosong tak tampak daratannya, Satria di bawa terbang oleh Candu ke angkasa, dan pengalaman itu sungguh membuat Satria senang dan tegang.
Setelah merasakan kecepatan terbang dengan Naga seperti di masa lalu, Satria bahkan tidak lagi berminat untuk menunggang Naga yang berenang dan membuat kepalanya pusing.
Hanya jika melewati pulau saja Satria mengambil jalur laut, selebihnya dia melakukan perjalanan dengan menunggang naga terbangnya melalui jalur udara.
Hanya butuh waktu seminggu saja Satria telah tiba di sekitaran Pantai Olele. Dia menunggu hari berganti malam untuk dapat membawa masuk Candu melewati perkampungan.
Meski ada beberapa penduduk yang melihatnya terbang, namun para penduduk itu hanya mengira bahwa yang terbang itu adalah burung besar atau kalong (kelelawar ukuran besar).
Sesampainya Satria di sebuah bukit, Satria berseru girang kepada Candu dengan teriakan keras,
"Di balik hutan itu ada sebuah tebing. Bawa aku turun ke sana Candu,"
Seperti mengerti dengan perkataan Satria, Candu segera terbang melewati hutan dan sebentar saja, dia telah menukik menuruni tebing. Sesaat kemudian, sampailah mereka berdua di dasar jurang sedalam 3 kilometer lebih.
Saat akan mendarat, Satria melihat seorang gadis memegang tombak bersama dua orang kakek tua yang juga bersiap siaga dengan senjata di tangan mereka.
"Candu, mereka adalah kawan, jangan di serang." Seru Satria saat hewan itu mulai tampak sedikit berubah.
"Guru, singkirkan senjata. Lina, buang lembing mu. Aku Satria datang berkunjung,"
Tak lama kemudian, turunlah Naga itu dengan tenang tanpa sedikitpun gangguan.
"Satria," Seru Lina dengan girang menyongsong Satria.
Setelah hampir mendekat, Lina kembali mundur karena Naga itu telah menatap ke arah nya.
Satria yang kini turun dari punggung Candu berkata menepuk lehernya,
"Kau boleh jalan jalan Candu, jangan jauh jauh. Jangan sampai terlihat penduduk,"
Binatang aneh itu mengeluarkan pekik seperti burung elang namun lebih kasar bercampur desis yang menggetar untuk selanjutnya, terbang ke sana kemari. Tak lama kemudian, turun di sebuah hutan lebat bagian atas tebing.
Satria yang kini berlari ke arah Gurunya dan Kek Muhardi yang ada di situ segera menubruk mencium dada Kek Mahesa dan mencium tangan Kek Muhardi. Lalu bersalaman dengan Lina yang kini telah menjadi seorang gadis cantik berusia 17 tahun kurang lebih.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments