SIHIR SATRIA PEDANG NAGA

SIHIR SATRIA PEDANG NAGA

Awal Perlakuan Kejam

Di sebuah Desa di kaki bukit Pusu, terlihat sebuah rumah yang mewah dan besar. Jika di perhatikan diantara seluruh rumah penduduk yang ada di Desa Madat, maka rumah itulah yang paling besar dan mewah.

Hal itu tidak mengherankan karena memang rumah tersebut milik sebuah keluarga kaya raya bernama Juragan Mahmud, bahkan terkenal dengan sebutan Tuan Tanah terkaya di desa itu.

Keluarga Pak Mahmud meskipun kaya raya, namun hidup dalam keadaan sederhana. Hal itu terlihat dari pakaian dan makanan mereka sehari hari.

Pak Mahmud yang tinggal bersama istri, anak dan menantunya serta pembantu wanita di rumah besar itu sehari harinya berdagang di kota. Sawah ladang yang di sewakan kepada penduduk sekitar pun amat luas, puluhan bahkan ratusan hektar luasnya.

Berkat adanya Pak Mahmud di Desa Madat, Masyarakat sekitar pun hidup dalam keadaan yang berkecukupan.

Siang itu tampak Pak Mahmud, istrinya bernama Rikha serta ketiga anaknya yang masing masing biasa di panggil Sari, Salman dan Satria serta suami Sari yang di panggil Bang Amat bernama Muhammad sedang asyik duduk di teras rumah yang patutnya menjadi istana raja itu.

Di depan rumah mewah yang turun temurun di warisi Pak Mahmud dari ayah dan kakeknya itu, terdapat sebuah taman dengan kolam air mancur serta lapangan rumput dimana terdapat meja dan kursi yang indah. Mereka berenam duduk mengitari meja sambil menikmati hidangan makan siang.

"Ayah, Ibu, Saya dan Sari terpaksa berangkat ke Provinsi Solok karena pagi tadi menerima surat pindah tugas dari Direktur Utama" Terdengar suara Muhammad lembut di sela sela makan siangnya.

"Ibumu sudah bilang tadi. Kalau memang tuntutan tugas mengharuskan kalian pergi, apa boleh buat, mari makan. Sore nanti kalian berangkatlah". Terdengar suara Pak Mahmud agak berat melepas kepergian anak nya yang baru dua bulan menikah itu.

Saat sore hari tiba, Amat dan Sari segera berangkat diantar oleh keluarga Pak Mahmud hingga sampai ke Bandar Udara yang berjarak 300 kilometer.

Pada pukul 11 malam, tampak mobil Pak Mahmud telah kembali masuk garasi di bantu oleh Mbak Darmi.

Karena memang mereka sangat lelah. Maka tak lama setelah masuk, mereka semua segera terlelap di kamar masing masing. Hanya Mbak Darmi saja yang masih terjaga menonton Televisi di ruang belakang.

Baru setengah jam Pak Mahmud terlelap, tiba tiba dari arah belakang rumah yang memang sepi penduduk karena tersambung dengan Bukit Pusu itu terdengar suara gemerisik rumput dan ilalang.

Empat orang dengan wajah yang bengis dan kejam membawa golok, parang serta pedang menuju ke arah dapur sambil mengendap-endap.

Mereka adalah bandit-bandit yang terkenal sebagai perampok sadis di daerah selatan kota. Namun mengherankan jika mereka tampak di Desa Madat karena memang selama bertahun tahun belum pernah ada kejadian perampokan maupun pencurian di desa tersebut.

Melihat rumah besar itu, kepala rampok yang biasa di panggil Badu tampak menyeringai sambil mengintai suasana sekeliling rumah. Sedangkan ke 3 temannya sibuk mencungkil jendela belakang yang kini tampak telah terbuka dengan engsel lepas.

"Siapa?" Terdengar suara wanita dari ruang yang menembus dapur terhalang pintu yang terkunci.

Dengan agak terkejut Badu menempelkan telunjuknya di depan mulut. Dengan hati-hati sekali mereka berempat berjalan perlahan-lahan hingga kini berada di pintu dapur yang menembus ke dalam.

Saat itu Pak Mahmud terbangun karena mendengar suara ketokan pintu yang di lakukan oleh Mbok Darmi. Saat Pak Mahmud melihat bayangan dari bawah pintu yang tampak menembus ke belakang, dia pun berlari ke kamarnya seraya menggugah istrinya.

Dengan parang di tangan, Pak Mahmud menghampiri pintu dapur. Sedangkan Mbak Darmi sudah memegang alu menumbuk sayuran dan istri Pak Mahmud kini memegang sebatang pisau dapur.

Karena ketegangan di hati Pak Mahmud yang menyangka tentu ada maling atau mungkin juga binatang yang masuk ke dapurnya, maka dia memberanikan diri perlahan membuka kunci pintu dapur tanpa mengetahui ada 4 wajah di balik pintu sedang tersenyum puas bersiap siaga.

Inilah kesalahan Pak Mahmud. Seandainya dia menunggu saja tanpa membuka kunci pintu, mungkin dia akan mampu melawan karena pastinya rampok rampok tersebut akan membuka paksa pintu yang langsung dapat di terjangnya.

Namun kini keadaan nya berbalik malahan. Saat pintu di buka, segera kepala rampok dan temannya menerkam ke arah Pak Mahmud. Perampok lain juga telah memukul tangan Mbak Darmi dan Bu Rikha dengan belakang golok dan parang yang ada di tangan mereka.

Tak lama berselang, ketiga orang itu telah ditelikung lengan nya oleh rampok yang bersuara mengancam agar jangan berani membuka suara.

Salman yang baru terbangun dari tidurnya melangkah ke luar kamar yang tentu saja langsung di sambut kepala rampok dengan tendangan saat dia berteriak.

Satria yang terkejut dari tidurnya terbelalak saat menyaksikan Abang nya yang baru berusia 12 tahun itu terlempar menabrak dinding.

Melihat hal itu, Pak Mahmud yang marah langsung menggigit bahu perampok yang memegangnya hingga dia terlepas dan langsung maju menerkam Badu si kepala rampok dengan ganas.

Karena memang rumah mereka berada agak ke dalam di kaki bukit maka tetangga lainnya tidak mendengar suara berisik perkelahian mereka. Apalagi halaman rumah Pak Mahmud memang sangat luas sekali.

Kini penghuni rumah yang berjumlah lima orang itu telah di ikat dalam ruangan yang menjadi kamar Salman dan Satria. Dengan bengis Badu berkata sambil mengacung acungkan goloknya,

"Kalau kalian ingin selamat, serahkan semua harta pada kami". Dengan wajah ketakutan Pak Mahmud berteriak,

"Lepaskan keluargaku, ambil seluruh harta untuk kalian"

"Siiiingggg..."

"Craaaak..."

Badu mengayunkan golok besarnya dan putus lah kepala Pak Mahmud di iringi suara berdebuk jatuhnya kepala bersamaan dengan teriakan suara Mbak Darmi, Bu Rikha dan Salman.

Karena panik anak buah rampok segera mengayunkan parang, golok dan pedang ke arah Salman yang tewas seketika. Sedangkan Mbak Darmi dan Bu Rikha mereka bekap mulutnya dan mereka perkosa secara bergantian di selingi tendangan dan tamparan ke arah Satria kecil yang ingin menyelamatkan ibunya.

"Lepaskan ibuku, kurang ajar, ku pukul kalian"

Terdengar suara halus Satria sambil memukul dan menjambak kepala rampok yang memperkosa ibunya dan Mbak Darmi.

Tak tersangka sangka, dada Satria terkena tendangan hingga kepala nya menabrak dinding beton dengan sangat parah. Namun bocah kecil itu bangun lagi dan seperti sebelumnya, kembali dia memukul dan menghantam perampok yang tidak begitu merasakan pukulan pukulannya.

Sungguh naas nasib Satria. Andaikata dia seperti kakak lelakinya langsung di bunuh, mungkin tidak begitu berat penderitaan nya. Namun kini dia seperti sengaja di siksa. Kadang dengan punggung parang dihantamkan ke tengkuknya. Kadang tendangan membuatnya terlempar menabrak meja, dinding, lemari dan lain sebagainya.

Pada suatu saat, Badu dan anak buahnya yang telah selesai mempermainkan Bu Rikha dan Mbak Darmi segera membunuh mereka berdua. Melihat tubuh ibu, ayah, abang dan Mbok nya yang bergelimpangan dengan darah mengucur dan kepala tangan terputus, Satria seperti hampir meledak dadanya.

Bagaimana mungkin bocah kecil yang tubuhnya telah penuh darah itu dengan luka luka yang berat masih dapat bertahan?

Melihat sikap Satria dari awal yang tidak pernah berteriak ketakutan, bahkan berani menentang pandang mata para perampok, Badu kagum hatinya sehingga sengaja tidak membunuh anak itu.

Namun hidup pun sepertinya Satria akan cacat bahkan mungkin gila, bagaimana dia bisa bertahan dalam kondisi badan dan mental yang mengerikan itu?

Sungguh kejam memang perampok perampok yang telah di gelapkan oleh nafsu yang dengan brutal dan ganas menghabisi keluarga Pak Mahmud dan mengambil semua barang berharga yang bisa mereka bawa.

Karena memang Pak Mahmud awalnya menyuruh mereka mengambil harta begitu saja, maka Badu yang cerdik tau bahwa tidak ada harta berharga yang di sembunyikan atau yang harus dibukanya dengan sandi khusus.

Kini setelah jam menunjukkan pukul 3.40 dini hari, ke empat perampok itu keluar lewat jalan yang mereka masuki tadi.

Setelah menghantamkan kepala bocah kecil bernama Satria itu sekali lagi dengan gagang golok, mereka pun membakar rumah tersebut dari dapur dan pergi meninggalkan mayat para penghuni rumah dalam keadaan yang mengerikan.

Api dengan cepat menjalar dari arah dapur. Saat hampir melahap setengah bangunan besar, tiba tiba Satria mengeluh lemah dari pingsannya. Dia berpikir apakah tadi dia bermimpi seram? Ketika melihat di hadapan nya bergelimpangan jasad keluarganya, hal itu menyadarkannya. Membuat Satria kecil tak ingin melarikan diri lagi.

Namun mendengar suara api dan hawa panas yang dirasakannya, bocah itu teringat kepada kakak perempuannya. Siapa yang akan melaporkan semua itu kepada Kakak dan Abang iparnya kalau dia ikut mati.

Maka dengan sisa tenaga yang dipaksakan, Satria pun kini merangkak ke depan terus menuju kamar orang tuanya yang di tinggalkan begitu saja oleh para perampok dengan pintu terbuka.

Dengan kemauan yang kuat, Satria kecil berhasil melompat lewat jendela depan kamar orang tuanya yang langsung bersambung dengan kolam air mancur dan air terjun di taman depan rumah.

Sesampainya Satria kecil di tempat itu, dia pun rebah pingsan tak sadarkan diri hingga berjam jam.

Bersambung ...

Terpopuler

Comments

pemalas

pemalas

awal yang bagus 😆

2022-09-19

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!