Perhentian Sementara

Pagi itu tampak seorang anak rebah di atas sebuah dipan dalam rumah yang tampak sederhana. Tak lama berselang, tampak pula seorang lelaki tinggi dan kekar melangkah perlahan ke dekat pembaringan.

perlahan lahan, mata bocah itu terbuka sambil sedikit menggeliatkan badannya.

Satria yang telah 2 hari lamanya di rawat di situ atas permintaan Pak Ari. Pria kekar petani dusun yang sebelumnya melihat bocah tergeletak di kaki bukit dalam keadaan sangat mengerikan. Luka di sekujur tubuh, darah bercampur debu mengering bahkan muka Satria yang babak belur tak dapat di kenali lagi oleh orang yang melihatnya.

Setelah melarikannya ke Puskesmas dan di rawat seadanya oleh para Suster Perawat di Puskesmas tersebut, Pak Ari meminta kepada perawat agar anak itu di rawat di rumahnya karena memang tidak ada yang menjaga nya di tempat itu.

Satria yang kini telah duduk segera mendengar suara Pak Ari,

"Rebahan saja Nak, kau belum pulih benar. Sebentar bapak ambilkan makan dan minum."

Kembali Pak Ari melangkah ke belakang dan tak lama berselang, Pak Ari dan istrinya kembali ke ruangan itu sambil membawakan makanan di talenan hidangan.

Satria yang kini telah duduk untuk kedua kalinya, segera makan dan minum tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Di iringi pandang mata kedua suami istri tersebut, Satria makan dengan lahap dan sopan. Sampai sampai tidak ada suara sendok berkerontangan sedikitpun.

Selesai makan dan minum, Satria kembali merebahkan dirinya dan memejamkan mata tanpa memperdulikan pertanyaan Pak Ari dan istrinya.

Kedua suami istri yang maklum bahwa bocah tersebut perlu istirahat, segera meninggalkannya untuk melanjutkan aktifitas harian mereka.

.---***---. .---***---. .---***---.

"Bodoh kalian semua." Bentak seorang pria tampan yang tampak garis kekejaman di wajahnya.

"Maaf Bos. Mereka di lindungi oleh pengawalan pihak berwajib Bos." Jawab seorang pria kekar dengan gaya menunduk takut.

"Panggilkan Bonar, suruh dia menghadap ke ruangan ku." Kembali terdengar suara lelaki berusia 40 tahun yang memakai baju sutra yang mewah.

"Baik Bos." Jawab bawahan lain yang berada di belakangnya.

Pria yang di panggil Bos itu segera meninggalkan taman belakang rumah untuk segera menuju ke ruangan dalam dimana ruang kerjanya berada.

Belasan menit kemudian, tampak seorang kekar lainnya bersama 6 orang yang berjalan di belakangnya menuju ke ruang tersebut.

"Masuk lah Bonar." Terdengar sapaan tegas dari dalam.

Tanpa banyak membuka suara, ketujuh orang itupun masuk. Sesampainya mereka di dalam, segera terdengar bunyi perintah dari mulut Bos mereka yang bernama Kunto Aji,

"Kalian ku tugaskan pergi ke sektor barat. Di toko ke 5 sebelah kanan jalan ada seorang pria china yang membandel. Ambil setoran dan bunganya sekalian. Sepulang dari sana, singgah di cafe Dam jalan Lilawangsa No 100. Serahkan bunganya kepada Pak Wandi dan ambil selebihnya buat biaya perjalanan dan juga sebagai upah kalian semua."

"Baik Big Bos. Segera kami laksanakan".

Berangkatlah 7 orang di pimpin oleh Bonar yang memang sering mendapat tugas kerja dari Kunto sebagai Bos mafia terbesar se Nusantara itu.

Saat hari menjelang sore, Bonar pun sampai ke tempat yang diperintahkan dan langsung saja mengambil apa yang menjadi perintah majikan mereka dengan cara yang kasar.

Koh Ahong yang telah kena pukul dan tampar beberapa kali tidak berdaya, terpaksa menyerahkan uang yang di minta. Pihak Polisi yang menjaga pun tidak berani berkutik. Selain mereka telah di lumpuhkan oleh kelompok Bonar, juga oknum atasan mereka selama ini menjadi tameng bagi mafia kenamaan Kunto Aji dan semua bawahan tingkat atas seperti Bonar dan Badu, si kepala rampok yang juga menjadi kaki tangan Kunto.

Sepulangnya Bonar dan kawanannya, mereka singgah di jalan Lilawangsa dan setelah memarkirkan mobil, Bonar melangkah memasuki tempat tersebut. Tak lama mereka menunggu di dalam ruangan itu, tampaklah seorang berpakaian mewah keluar dari pintu belakang menghampiri mereka.

"Selamat datang." Seru tuan rumah sambil mengambil tempat di kursi besar.

"Apakah kami berhadapan dengan Tuan Wandi?" Tanya Bonar tanpa tedeng aling aling.

"Benar." Jawab pria bernama Wandi.

"Kami hanya ingin mengantarkan ini kepada anda sesuai pesanan Bos."

Kembali Bonar berseru sambil melihat kawannya bernama Kurna menyodorkan sebuah amplop tebal berisi 50 juta rupiah.

Pak Wandi yang menjadi Toke bisnis transaksi narkoba itu pun menerima amplop tersebut seraya tersenyum puas,

"Sangat senang melakukan transaksi dengan kalian. Sampaikan salam ku pada Bos Kunto. Ayo, silahkan minum"

Selesai menenggak minuman beralkohol yang di sediakan Pak Wandi, Bonar segera mohon izin untuk melaporkan hasil kerjanya.

Setelah menerima biaya jalan sebanyak 3 juta rupiah dari Tuan Wandi, Bonar kembali ke tempat Kunto.

Pukul 9.23 malam Bonar dan ke enam kawan nya sampai ke rumah Bos Kunto. Sebagai mana perjanjian awal, Bonar mendapatkan upah 33 juta dari hasil kerjanya.

Begitulah Kunto, seorang mafia yang tidak memikirkan untung semata. Dia rela menghamburkan uang hanya untuk menyogok dan membayar kacung bayarannya.

Baginya, bisnis haram yang di kelolanya harus tetap berjalan. Selain menjadi Bos Mafia yang di takuti seluruh preman dan bandit bandit, Kunto menjalin persahabatan dengan pihak Polisi, Tentara, dan beberapa oknum pemerintahan, tentu saja yang bisa dia sogok.

Karena ada juga orang yang tak mempan di sogok dan selalu saja Kunto mempunyai cara menghadapi mereka, baik secara lembut maupun kasar.

.---***---. .---***---. .---***---.

Malam itu, kembali Satria terjaga. Dia di bangunkan oleh seorang gadis berusia 9 tahun yang cantik dan lucu,

"Hei, orang aneh, bangun... Jangan tidur saja"

Satria yang terkejut membuka matanya, dia melihat seorang anak yang cantik manis wajahnya. Satria langsung bangun karena memang tenaganya sudah banyak pulih.

"Kau siapa?" Tanya Satria ketus.

"Kenalkan, aku Dewi, ayah ku yang menolong dan membawamu ke sini." Sahut gadis cilik bernama Dewi sambil meluncurkan tangannya untuk bersalaman.

Satria yang tertarik dengan gadis cilik ini, segera melanjutkan

"Mau apa kau membangunkan ku? Aku harus banyak istirahat"

"Untuk apa tidur terus terusan, mending kita mengobrol, main dan melakukan hal lain. Untuk apa kau tidur berhari hari? Mana makan mu banyak sekali lagi"

Dewi yang tersenyum nakal bertanya dan di jawab oleh Satria sekenanya saja

"Tengah malam nanti aku harus pergi"

"Apa? Namamu saja aku belum kenal, buat apa buru buru pergi ha?"

"Namaku Satria, Satria Putra Mahmud. Sekarang kau sudah kenal, lekas pergi sana"

Mendengar jawaban Satria, bocah bernama Dewi itu pun melotot, namun pada pandangan Satria, gadis kecil itu malah tampak lucu dan semakin cantik dengan gayanya tersebut.

"Benar benar kau orang yang tidak kenal budi. Seharusnya aku yang mengusir mu karena ini rumahku. Malah kau yang menyuruh ku pergi."

Setelah berkata begitu, kini kembali Dewi terperanjat kaget setengah mati. Karena tiba tiba Satria kecil merenggut lepas jarum infus yang terpasang di lengannya.

"Baiklah aku akan pergi." Sambil berkata begitu, Satria kini telah turun dari pembaringan.

"Eh, kau mau kemana? Aku hanya bercanda"

Seru Dewi yang masih belum hilang kagetnya.

"Sampaikan terimakasih ku kepada ayah ibumu." Ucap Satria yang berlari menuju pintu samping.

"Tunggu. Namaku Dewi Puspita anaknya Pak Ari, semoga kita berjumpa lagi"

Pak Ari dan Bu Ana kini telah ada di situ menyaksikan anak kecil yang berlari ke arah kegelapan malam dengan sangat kencangnya.

Dewi kecil kini menutup pintu dan masuk lalu bercerita tentang percakapannya dengan bocah lelaki bernama Satria itu.

"Aneh sekali. Apapun yang kami tanyakan belum pernah di jawabnya. Kau malah berbicara panjang lebar dengannya Dewi"

Seru Pak Ari menghela nafas panjang.

Satria yang terus berlari kini mengambil jurusan ke Barat. Dia terus berlari menyusuri sepanjang jalan berhutan yang sangat gelap.

Seluruh panca inderanya menegang, matanya menatap ke depan yang kadang kadang melirik ke kiri dan kanan.

Satria berlari terus sampai melihat jalan raya dimana banyak kendaraan. Namun, begitu menjumpai jalan besar, kembali dia masuk ke hutan. Arah larinya kini seperti di bawa oleh hati yang kosong yang selalu menuju ke arah barat.

Sudah sekitar 4 jam dia berlari dan kini, agaknya tengah malam telah tiba.

Satria yang sangat kelelahan diterpa lapar dan dahaga di tambah rasa perih dari luka lukanya yang belum sembuh benar, bahkan ada luka yang masih belum kering sama sekali.

Namun kebulatan tekadnya memang sangat besar. Tak lama dia duduk sambil mengipasi dirinya, kini dia berpikir. Aku tak bisa begini terus. Aku harus mencari minum dan makanan.

Kebetulan saat itu, Satria melihat dirinya berada di tengah hutan yang sangat lebat sekali. Karena memang malam itu tampak bulan sepotong kecil melintang, maka pandangan Satria menelusuri jauh ke arah barat, sangat jauh namun masih dapat di lihatnya, tampak gunung seperti kembar berdampingan.

Satria tak pernah menyangka sedikitpun bahwa dalam perjalanannya yang hanya sekitar seminggu itu dia hampir sampai ke Ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Kini Satria tidak begitu kencang larinya. Dia hanya berjalan saja sambil matanya terus mencari cari ke sana kemari.

Setelah sejam dia berjalan, akhirnya tampak potongan bulan di bumi. Satria di hadang sebuah rawa yang sangat besar. Dengan girang Satria mendekat dan meminum air sepuas nya.

Di sebelah kirinya dekat batu karang di pinggir rawa terdapat jamur berwarna ungu dan merah muda. Jamur itu bersih dan besar.

Melihat jamur berbentuk payung itu, Satria teringat kepada ibunya yang pernah mengatakan bahwa jamur banyak mengandung khasiat apalagi kalau di makan mentah mentah. Namun jarang ada orang yang memakan jamur mentah karena bau amis. Selain itu, ada juga jamur beracun yang kandungan racunnya pun bermacam macam.

Ada yang membuat mencret. Ada yang menyakitkan perut, namun ada juga jamur yang dapat mematikan jika dimakan.

Mengenang kembali kelembutan suara ibunya, Satria menitikkan air mata. Setelah berpikir sejenak, di ambilnya jamur jamur itu dan dimakan nya dengan lahap. Awalnya dia hampir muntah karena merasakan amis menyengat dari kedua macam jamur tersebut.

Namun lambat laun, Satria mampu menelannya juga. Dia menghabiskan 3 buah jamur pink dan 3 buah jamur ungu yang hampir sama besarnya.

Selesai menghabiskan makanan alami tersebut dan meminum banyak sekali air jernih, Satria bangun dan kembali melanjutkan perjalanannya.

Baru dua langkah berlari, dia jatuh pingsan karena serangan semaput ke kepalanya yang tiba tiba itu.

Bersambung ...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!