"Dok, apa boleh kami melihatnya?" tanya Rafika penasaran.
"Silakan, tapi jangan terlalu lama. Biarkan dia istirahat dulu," pesan Dokter.
"Baik, Dok!" sahut Rafika.
"Apa kalian sudah menghubungi keluarganya?"
"Aku tidak menemukan dompet di kantong celananya, Dok!"
"Oh, begitu! Lalu apa yang akan kalian lakukan? Mungkin dua tiga hari lagi, dia sudah diperbolehkan pulang."
"Biar nanti dia ikut dengan saya saja, Dok. Sampai keluarganya datang menjemput," jawab Rafika.
"Begitu ya! Kalian anak-anak yang baik. Biar nanti untuk biaya pengobatannya, saya usulkan agar dipotong 50%."
"Terima kasih, Dok! Kalau begitu saya permisi mau melihatnya," pamit Rafika.
"Apa kalian tahu ruang perawatannya," lagi-lagi dokter yang masih terlihat muda itu bertanya.
"Belum tahu, Dok! Baru kami mau tanyakan ke depan," jawab Kiranti yang sedari tadi diam.
"Dia ada di ruang melati nomor tiga."
"Baik, Dok. Kami permisi!" Rafika langsung menarik tangan Kiranti. Dia sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada laki-laki yang ditolongnya.
Kedua sahabat itu menyusuri lorong rumah sakit, mencari ruang perawatan yang dikatakan oleh dokter tadi. Saat sudah sampai di tempat yang dituju, keduanya langsung masuk begitu saja. Mereka langsung cengengesan saat semua mata penghuni ruangan itu menatap ke arahnya.
"Hehehe ... Maaf kami sedang mencari korban hanyut di sungai," ucap Rafika kikuk.
"Oh, itu tirai yang paling ujung." Salah satu penunggu pasien menunjuk pada sebuah tirai yang masih tertutup rapat.
"Makasih ya, Mas!" Lagi-lagi Rafika menarik tangan Kiranti agar segera mengikutinya.
Kala tirai itu disingkap, nampak seorang pemuda tampan yang gagah sedang duduk menyender di head board tempat tidur. Pemuda itu hanya diam, mendengarkan suara pergerakan yang ditimbulkan oleh Melati. Sampai akhirnya, dia pun berbicara.
"Apa itu dokter?" tanyanya.
"Bukan! Aku Rafika bersama dengan sahabatku Kiranti. Bagaimana keadaannya?"
"Lebih baik, apa kalian yang menolongku? Tolong katakan siapa aku?"
Rafika dan Kiranti saling berpandangan. Mereka pun bingung harus menjawab apa. Karena keduanya pun tidak mengenal laki-laki yang sudah ditolongnya.
"Apa benar, Om tidak ingat siapa Om sebenarnya?" tanya Kiranti yang terus menyelidik penampilan lelaki itu
"Aku tidak mengingatnya."
"Ya sudah jangan sedih! Aku kasih nama aja, Kang Asep. Bagaimana mau tidak?" usul Rafika untuk mencairkan suasana.
"Aku suka, terima kasih untuk namanya."
"Dia udah Om-om kenapa dipanggil akang?" bisik Kiranti tidak setuju.
"Tapi masih kasep. Tidak terlihat om-om." Rafika pun berbisik kembali.
"Kamu jangan suka sama dia! Kita tidak tahu asal usulnya. Lebih baik kamu terima saja cintanya Zaenal," lagi-lagi Kiranti berbisik.
"Kalian sedang membicarakan apa?" tanya Asep.
"Gak ada, Kang. Kang Asep sudah makan belum?" Rafika langsung mengalihkan pembicaraan.
"Sudah tadi dibantu oleh perawat."
"Kami pulang dulu ya, Kang. Nanti ke sini lagi," pamit Rafika.
"Iya, Terima kasih sudah menolongku."
...***...
Dua hari kemudian, saat jam pelajaran telah usai, semua murid SMA negeri berhamburan keluar. Mereka begitu bersemangat menjejakkan kakinya keluar dari sekolah. Begitupun dengan dua orang gadis yang berlari kecil menuju ke pintu gerbang.
Rafika dan Kiranti begitu terburu-buru. Mereka tidak sabar saat tadi dokter menelpon kalau Erlangga Bramantyo, lelaki yang mereka sebut Kang Asep sudah bisa dibawa pulang. Hingga mereka memutuskan untuk bolos dari les tambahan dan langsung pergi ke rumah sakit.
"Fika, apa kamu sudah membawa uangnya?" tanya Kiranti.
"Aku bawa uang tabungan aku buat kuliah. Kata kakek, kita tidak boleh tanggung kalau menolong orang," jawab Rafika.
"Lalu, kuliah kamu bagaimana?" tanya Kiranti lagi. Dia merasa heran dengan jalan pikiran sahabatnya. Kenapa Rafika memakai uang tabungannya untuk membayar rumah sakit? Padahal mereka berdua tidak mengenal laki-laki itu.
"Itu gimana nanti aja. Kalau ada rejeki, aku pasti lanjut."
Selama perjalanan mereka terus saja bercakap-cakap. Sampai tidak terasa sudah sampai di tempat pemberhentian angkutan kota. Kedua gadis itu segera turun setelah membayar ongkos dan berganti angkutan kota yang menuju ke rumah sakit.
Tidak butuh waktu lama, angkutan kota yang mereka tumpangi sudah tiba di depan rumah sakit. Kedua sahabat itu segera turun setelah sebelumnya membayar ongkos. Dengan langkah tergesa, Rafika dan Kiranti menyusuri lorong rumah sakit.
"Fika, memang yakin dia itu manusia? Bukan pangeran duyung atau siluman ular yang menjelma manusia gitu? Aku heran, kenapa dia bisa tampan sekali seperti pangeran-pangeran di negeri kahyangan," tanya Kiranti saat sudah tiba di kamar inap laki-laki itu.
"Aku yakin dia manusia," ucap Rafika yang menatap lekat laki-laki yang sedang terpejam.
Perlahan laki-laki itu membuka matanya. Namun, tetap saja cahaya gelap yang dia lihat. Laki-laki itu pun berusaha untuk bangun dan duduk di atas tempat tidur. Secepatnya Rafika membantu laki-laki agar bisa duduk dengan nyaman.
"Terima kasih," ucap Erlangga.
"Sama-sama. Kang Asep, hari ini kata dokter sudah boleh pulang. Akang bersiap saja dulu, nanti aku mau urus administrasi dulu. Ini ada makanan, kali aja Akang lapar."
Rafika mengeluarkan satu kantong plastik makanan yang dia bawa dari rumah. Ibunya sengaja menyiapkan makanan saat Rafika mengatakan sepulang sekolah akan pergi ke rumah sakit. Dia pun membukakan kotak nasi yang berisi kue.
"Akang makan saja dulu, aku mau ke depan lagi. Ini kuenya dan ini minumnya," ucap Rafika seraya menyimpan kotak nasi yang dibawanya di pangkuan Erlangga serta menyimpan botol minuman di samping pemuda tampan itu.
"Fika, aku saja yang urus administrasinya. Sini uangnya!" pinta Kiranti.
"Beneran gak apa kamu ke depan lagi?" tanya Rafika memastikan.
"Iya, gak apa!"
Daripada aku harus di sini menjaga dia, lebih baik aku yang pergi. Aku belum yakin kalau dia manusia. Mungkin saja dia lelembut yang berwujud manusia, batin Kiranti.
Rafika mengambil uang yang dia simpan di dalam tas-nya dan memberikannya pada Kiranti. Sesaat dia memejamkan matanya, untuk meyakinkan hatinya kalau apa yang dilakukannya karena Allah. Apalagi Rafika selalu teringat pesan kakeknya, untuk ikhlas saat menolong orang dan jangan mengharapkan imbalan dari orang itu.
Sesaat setelah kepergian Kiranti untuk mengurus administrasi, Rafika pun duduk di kursi samping tempat tidur. Dia terus memperhatikan cara laki-laki itu makan. Yang menurut Rafika cara makan Erlangga terlihat sangat Elegan.
"Kang, beneran Akang tidak ingat apa-apa? Atau jangan-jangan, Akang pangeran bawah sungai yang sedang menyamar." Rafika mulai bersuara
"Kenapa berpikir kalau Akang seorang pangeran?" tanya Elang menghentikan makannya sesaat.
"Soalnya Akang ganteng banget. Artis sini lewat kalau ketemu Akang," puji Rafika.
Erlangga tersenyum mendengar apa yang Rafika katakan, lalu dia pun berkata, "Apa Akang seganteng itu? Tapi kalau ganteng tidak bisa melihat rasanya percuma, tidak bisa melihat wajah sendiri di cermin."
"Biar aku aja yang jadi cerminnya. Akang tinggal bertanya, rambut aku sudah rapi belum? Belek aku masih ada apa tidak? Atau bisa tanya jerawatku sudah matang apa belum?"
"Apa jerawat bisa dimasak?"
"Hahaha ... Si Akang bocor! Masa iya jerawat dimasak?"
Keduanya pun larut dalam obrolan garing. Yang tadinya terasa kaku, kini suasananya sudah mulai mencair. Rafika sudah mulai memperlihatkannya sifat aslinya di depan orang asing itu. Sampai akhirnya Kiranti datang setelah selesai mengurus administrasi.
"Fika, semuanya udah beres. Tinggal cus pulang saja. Gila Fika! Ternyata biaya rumah sakit itu mahal. Padahal ambil kelas tiga, gimana kalau VIP seperti di film-film. Pasti bikin tekor! Noh, abis isi tabungan kamu," ucap Kiranti seraya mengembalikan ATM pada sahabatnya.
"Yang murah itu berobat ke puskesmas, Kiran!" Rafika langsung memutar bola matanya malas. Dia khawatir Erlangga tersinggung karena membicarakan soal biaya pengobatannya di depan dia.
"Maaf, sudah merepotkan kalian."
...~Bersambung~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Edelweiss
kamu yang bocor Fika🤣🤣🤣
2022-09-07
4
EYN
Semangaaat 🥰
2022-09-07
1