Semenjak perbincangan Rafika dan Erlangga sore itu, kini keduanya menjadi semakin dekat. Mereka seolah-olah ingin mengukir kebersamaannya yang tidak akan lama lagi. Seperti hari ini, saat Rafika disuruh ibunya menangkap ikan di empang milik kakeknya, dia pun tak lupa mengajak Erlangga untuk ikut serta.
"Kang Asep, mau mancing gak? Fika mau ke empang dulu nangkap ikan. Ada yang pesan ikan mujair satu kilo."
"Boleh! Memang ada pancingannya?" tanya Asep.
"Ada, sebentar Fika ambil dulu di belakang!"
Gadis yang selalu enerjik itu segera berlari ke arah belakang dapur rumahnya. Dia mengambil pancingan peninggalan almarhum kakeknya. Setelah mendapatkannya, Fika pun segera kembali ke depan dan menuntun Asep menuju empang yang ada di seberang jalan rumah Rafika.
Setelah dia menempatkan Erlangga di saung yang ada di atas empang, Rafika pun bersiap untuk turun ke dalam empang. Karena jika menunggu hasil memancing, maka akan lama dia mendapatkan ikannya.
"Kang, aku turun dulu ya! Akang di sini saja. Aku udah pasang cacing di kailnya. Nanti kalau terasa ada yang narik, Akang tarik ya karena itu ada ikannya."
"Iya, Fika!"
Kenapa aku merasa pernah mendengar kata-kata itu dari seorang laki-laki, batin Erlangga.
Saat sudah di bawah, Rafika segera menabur pelet ikan terlebih dahulu, agar ikan-ikan itu datang dan masuk ke dalam serokan yang dibawanya. Benar saja dugaannya, ikan-ikan itu segera datang berebut pelet ikan. Tentu saja Rafika langsung tersenyum senang, karena tanpa bersusah payah dia menangkap banyak ikan.
"Fika, hati-hati di bawah!" Erlangga sedikit berteriak membuat ikan yang akan memakan umpannya malah kabur lagi.
"Kang Asep, jangan berteriak! Nanti ikannya gak ada yang mau makan umpan. Aku ke ibu dulu ya! Mau kasih ikan hasil tangkapan aku," teriak Rafika seraya naik ke atas empang dengan ikan yang sudah didapatnya.
Dia segera menyebrang jalan dan berjalan menuju ke warung ibunya. Terlihat di sana Bi Ijoh sedang menunggu ikan pesanannya. Rafika segera memberikan ikan itu setelah menimbangnya terlebih dahulu.
"Fika, itu laki-laki yang sekarang tinggal di rumah kamu? Mani kasep! Pantas saja kamu mau merawatnya," celetuk Bi Ijoh.
"Bukan masalah kasepna, Bi. Kita kalau menolong orang itu tidak setengah-setengah ...." Belum selesai Rafika bicara, ibunya sudah memotong pembicaraannya.
"Fika, tolong kupas kelapa ya! Tadi Bu Haji Tuti minta kelapa sebelah. Ibu lupa bilang."
"Iya, Bu!" sahut Rafika.
Dia segera mencari golok untuk mengupas kelapa seperti yang disuruh ibunya. Rafika memang selalu membantu ibunya jika dia libur sekolah. Dia seperti pengganti ayahnya jika berurusan dengan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh laki-laki. Ibunya pun tidak segan untuk menyuruh Rafika mengerjakan apa yang tidak bisa dia kerjakan.
"Bu, goloknya di mana? Kho gak ada?" tanya Rafika yang sedari tadi terus mencari golok di bawah meja kompor.
"Mungkin dipinjam sama Wa Kumis, coba tanyakan dulu. Kalau gak ada di Wa Kumis, kamu tanyakan saja ke Wa Janggot. Pasti dia yang memakainya. Biasanya juga suka asal ambil, tidak pernah bilang."
Tanpa menyahut ucapan ibunya, dia pun segera pergi mencari golok. Setelah mendapatkannya, Rafika langsung mengupas kelapa. Sedikit pun tidak ada rasa takut di hati Rafika, saat dia mengayunkan golok itu untuk mengupas kelapa. Saat batoknya sudah terpisah dari daging kelapa, barulah dia memberikan pada ibunya.
"Bu, Fika mau mancing ikan, tadi Kang Asep masih di sana."
"Fika, masih ada gak ikannya? Ibu pesan dua kilo ya! Anak ibu mau datang dari kota," serobot Bu Haji Tuti yang baru datang.
"Iya, Bu Haji. Nanti Fika anterin ke rumah," ucap Rafika lalu dia pergi kembali ke empang.
Terlihat Erlangga sedang menarik pancingannya. Rupanya ada ikan yang lumayan besar tertipu oleh umpan yang Erlangga berikan. Rafika yang baru datang segera membantu melepaskan ikan itu dan memasukkannya ke dalam ember.
"Wah, Kang Asep ternyata pintar mancing. Sudah dapat lima aja," puji Rafika.
"Syukurlah, Abang jadi tidak malu-maluin dari kamu."
"Kenapa harus malu?"
"Nanti Akang jadi kepala keluarga kalau kita menikah, tentu Akang harus serba bisa. Masa kalah dengan istri sendiri." Ceplos Erlangga tanpa sadar.
"Memang kita akan menikah? Fika kan masih sekolah," tanya Rafika kaget.
"I-i-iya nanti!" sahut Erlangga gugup.
Kenapa aku sampai keceplosan? Bagaimana kalau Fika tidak mau dan malah terganggu dengan ucapan aku. Bisa-bisa kita jadi canggung, batin Erlangga.
"Kalau udah besar, Fika mau kho Kang. Tapi nanti kalau Fika sudah sarjana. Ibu ingin Fika sekolah yang tinggi biar jadi orang," ucap Rafika saat melihat Erlangga jadi terdiam. Dia langsung turun ke empang untuk menangkap ikan lagi.
"Akang akan menunggu," lirih Erlangga. Dadanya terasa berdebar-debar mendengar penuturan Rafika. Terasa bunga-bunga bermekaran di hatinya. Dia pun tersenyum dengan begitu manisnya.
Kang Asep terlihat sangat sempurna, ditambah lagi ternyata dia orang kaya. Rasanya tidak mungkin aku bisa berada di sisinya. Kisah cinta dengan latar belakang yang berbeda akan hancur di depan kenyataan. Seorang pangeran hanya akan menikah dengan seorang putri. Selalu begitu akhir ceritanya. Sementara aku, hanyalah punguk yang merindukan bulan. Lalu bagaimana dengan hatiku? Aku pun menginginkan dia untuk selalu bersamaku, batin Rafika.
"Woy, Fika! Itu ikannya sudah kabur lagi. Kenapa kamu tidak naikin serokannya?" teriak Kiranti yang baru datang. "Malah melamun lagi, mikirin apa sih? Ayam tetangga juga gara-gara melamun terus jadi mati."
"Bohong banget kamu." Rafika kembali menabur pelet ikan agar ikan-ikannya kembali datang.
"Mana ada bohong, orang ayamnya dipotong sama yang punya. Hahaha ...." Kiranti langsung tertawa keras, merasa candaan garingnya itu lucu.
Rafika berlalu begitu saja meninggalkan Kiranti yang masih tertawa geli. Dia segera memberikan ikan pesanan Bu Haji ke ibunya. Setelah mencuci kaki dan tangannya, dia kembali ke saung menemui Asep dan Kiranti.
"Fika, memang benar Kang Asep ada yang menjemput? Ibu-ibu di warung Bi Ipah pada cerita. Aku kan jadi kepo," tanya Kiranti.
"Iya, kemarin. Memangnya kenapa?" tanya Rafika.
"Aku sekarang yakin kalau Kang Asep memang manusia. Maaf Kang, aku pikir Kang Asep jurig leuwi, hehehe ...." Kiranti cengengesan sendiri.
"Tidak apa. Terima kasih kamu sudah menolong aku," ucap Erlangga tulus.
"Nanti kalau sudah pulang jangan lupa main ke sini!" pesan Kiranti lagi. "Kasian nanti ada yang termehek-mehek kalau Kang Asep pergi dan tidak kembali. Nanti aku yang repot," lanjutnya.
"Apaan sih Kiran? Ngarang aja," Wajah Rafika langsung bersemu merah mendapatkan godaan dari sahabatnya.
"Tuh kan blushing! Hahaha ... Jujur banget sih tubuh kamu, kalau kamu suka sama Kang Asep."
Syukurlah, kalau Fika juga memiliki perasaan yang sama dengan aku. Aku akan mencari waktu yang tepat untuk mengatakan perasaan padanya dan memintanya untuk menunggu aku kembali.
...~Bersambung~...
...Dukung terus Author ya kawan! Klik like, comment, rate, gift dan favorite....
...Terima kasih....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Ami batam
baru kali ini ada orang buta mancing ikan dapt, sampai 5 ekor lagi🤭, q yg bisa melihat saja mancing ikan ku tungguin sampe seharian tak dapat dapat 🤭😄
2022-09-12
2