Part 18 : Mulai Terkuak
Hanny mengetuk pintu kamar Clara berkali - kali, namun tak ada jawaban dari dalam. Yang terdengar sayup - sayup dari luar, hanya isak tangis dan suara seperti orang tercekik.
"MBAK, MBAK CLARA...BUKA PINTUNYA, MBAK!" teriak Hanny panik.
Tak ada jawaban dari dalam, membuat Hanny terpaksa menerobos masuk. Tampak Clara sedang duduk bersimpuh di lantai kamar. Keadaannya cukup mengenaskan. Rambut acak - acakan, air mata dan ingus belepotan di wajahnya, serta keringat dingin membasahi seluruh pakaian yang dikenakan gadis itu.
"Kenapa, Mbak? Apa yang terjadi?" tanya Hanny lembut.
Clara tak menjawab pertanyaan Hanny, wajahnya masih tampak shock dan pandangan matanya ketakutan. Hanny mengambil segelas air dari meja kecil di samping dipan, kemudian mengulurkannya pada Clara.
"Minum dulu, Mbak! Biar Mbak tenang, setelah itu, cerita sama aku, apa yang terjadi sama, Mbak."
Clara menerima gelas yang diulurkan Hanny, kemudian meneguk isinya tergesa. Clara juga membiarkan Hanny menyeka wajahnya dengan tissu. Setelah cukup tenang, Clara mulai bercerita.
"Gua mimpi buruk lagi, Dek. Thalita datang ke kamar ini, wajahnya serem banget, gua jadi takut. Tampaknya Thalita dendam banget ama gua, dan dia seperti ingin melenyapkan nyawa gua."
Hanny menghela napas mendengar cerita Clara, Hanny tau, Thalita memang tampak sedang menuntut balas pada Clara, dan itu tertulis dalam diary aneh milik Thalita. Tapi Hanny tak bisa mengatakan semuanya pada Clara, gadis itu hanya bisa berpura - pura tak tau apa - apa dan tampak serius mendengar cerita Clara.
"Apa penampakan Thalita dalam mimpi Mbak sangat menakutkan? Kok aku lihat Mbak sampai berantakan kayak gini?"
"Menakutkan banget, Dek. Sampai terasa nyata, wajahnya sangat menyeramkan, matanya melotot, lidahnya terjulur, serta ada tambang mengikat lehernya. Bahkan bau busuk bangkai yang mengikuti penampakannya terasa tercium nyata di kamar ini," wajah Clara masih menampakkan rasa ngeri.
"Bisa ku bayangkan sih, Mbak. Karena aku yang pertama kali menemukan mayat Thalita. Cuma waktu itu belum ada bau busuk, tapi sudah membuat aku muntah karena tak tahan melihatnya."
Penampakan Thalita waktu pertama kali ditemukan, kembali terlintas di benak Hanny, membuat gadis itu bergidik ngeri.
"Kenapa, Dek, kenapa? Cewek sialan itu udah mati aja masih nyusahin kayak gini? Apa gak cukup, masa hidupnya sudah bikin gua susah?" tanya Clara penuh keluhan.
Hanny membimbing Clara berdiri, kemudian membawanya duduk di sofa yang ada di kamar itu.
"Kalau boleh tau, sebenarnya ada masalah apa, antara Mbak Clara dengan Thalita. Sejauh ini, aku melihat kalian tak pernah akrab, hanya sebatas saling kenal. Bahkan aku tak pernah melihat kalian bertegur sapa."
"Thalita itu cewek licik, Dek. Dia mengunakan segala cara untuk dapetin semua keinginan dia, termasuk cara murahan. Dia tuh hobi merebut cowok orang, banyak teman Mbak yang jadi korban, Mbak juga termasuk. Aditya, cowok Mbak, berhasil dipelet sama dia, hingga ninggalin Mbak."
Hanny mengenal Aditya, cowok yang dimaksud Clara. Aditya pernah menjadi kakak kelas Hanny dan Thalita di SMA, tapi mereka tak pernah dekat, hanya sekedar tahu. Aditya adalah ketua OSIS di sekolah mereka dulu.
"Yang Mbak maksud, Aditya Wardhana?"
"Iya dia, Dek. Dia itu tunangan Mbak."
Hanny terkejut mendengar Aditya adalah tunangan Clara. Setahu Hanny, Aditya masih seorang mahasiswa semester akhir di kampus yang sama dengannya. Aditya cowok yang sangat cuek, tak pernah kelihatan punya pacar, tak mungkin dia bertunangan dengan Clara. Tapi Hanny berusaha mengikuti, kemana arah cerita Clara.
"Aku baru tau, kalau Kak Adit itu tunangan Mbak Clara. Setahuku, dia tak pernah punya pacar, ini malah sudah tunangan. Hebat bener ya, mainnya," kata Hanny sambil tersenyum.
"Ya gak tau, Dek. Adit bucin banget sama aku, dia perhatian juga sama Bapak. Jadi aku gak bisa nolak waktu dia ngajak aku tunangan. Dia tuh calon imam yang jadi idaman ku," tanpa sadar Clara terbawa memakai kata aku.
"Wow, beneran baru tau aku, Mbak. Dulu jaman SMA, Kak Adit itu terkenal sebagai cowok yang dingin, gak ada satupun cewek yang berhasil mencuri hatinya."
"Entahlah, mungkin dia ditakdirkan berjodoh sama aku, Dek. Kan siapa tau juga kan? Tapi, sejak dia kenal Thalita, Adit berubah. Dia jadi lebih care dengan cewek sialan itu, padahal sebelumnya gak gitu. Apa coba bagusnya tuh cewek? Cantik juga enggak, body juga kerempeng kayak gitu. Belum lagi, dia itu miskin, apa yang bisa diharapkan dari cewek kayak gitu? Kalau dia gak pakai pelet, gak mungkinlah Adit bisa tertarik sama dia. Ya kan, Dek?"
Hanny tak menjawab pertanyaan Clara, dalam hati dia merasa kesal, karena Clara sudah menghina sahabatnya. Cowok waras manapun, jika disuruh memilih, pasti memilih Thalita dibanding Clara.
Clara masih semangat membeberkan semua keburukan Thalita versi dia, tapi tak satu katapun Hanny dengarkan. Gadis itu cukup merasa sakit hati, mendengar penilaian Clara pada Thalita.
"Ehh, Mbak. Katanya kita mau ke pemakamannya Mbak Putri, jadi gak nih?" tanya Hanny teringat tujuan semula dia mendatangi kamar Clara.
"Oh iya, Dek. Sampai lupa, untung kamu ingatin. Tunggu ya, aku siap - siap dulu!"
"Aku tunggu di kamar aku ya, Mbak. Aku juga mau siap - siap."
"Oke, Dek. Nanti ku samperin kamu di kamar."
Hanny meninggalkan kamar Clara dengan perasaan campur aduk, antara kesal, marah dan prihatin. Kesal dan marah kerena Clara menjelekkan Thalita sahabatnya, prihatin karena Clara tak pernah mengakui kesalahan yang dia perbuat, padahal kesalahan itu sudah merenggut banyak nyawa.
Sampai di kamar, Hanny merebahkan tubuhnya di kasur, rasa kesal sudah membuat kepalanya sedikit pening. Gadis itu memejamkan mata, dan seketika bayangan Thalita terlintas di benaknya. Thalita yang baik, yang ramah, yang perhatian pada dirinya.
"Kenapa ada orang yang begitu benci sama orang baik kayak kamu, Ta? Padahal kamu gak pernah mengusik hidup mereka. Aku tau, kamu sudah cukup repot bergelut dengan keadaan, gak mungkin ada waktu untuk melakukan hal - hal yang dituduhkan Mbak Clara. Kasian kamu, Ta. Kamu jadi korban kebencian yang sangat tak masuk akal. Maafin aku ya, Tha! Selama ini, sebagai seorang sahabat, aku tak pernah bisa kamu andalkan," gumam Hanny perih.
Sebuah angin sepoi berhembus masuk ke dalam kamar Hanny, tapi kali ini angin yang berhembus tak menimbulkan rasa ngeri, melainkan rasa tenang. Seolah Thalita berkata dari tempat yang jauh, bahwa dia tak pernah menyalahkan Hanny akan semau yang dia alami. Thalita sangat bersyukur mempunyai teman seorang Hanny, satu - satunya teman yang tulus, yang pernah dia miliki.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments