Part 2 : Kisah Thalita
Setelah Clara pergi, Hanny beranjak mendekati meja belajar Thalita. Buku - buku dan alat tulis milik gadis itu masih tersusun rapi di sana. Hanny mendesah perlahan, berharap kejadian yang terjadi pagi ini cuma sebuah mimpi, dan dia akan terbangun dengan Thalita yang masih hidup sedang duduk di kursi ini seperti biasanya.
Pandangan Hanny meneliti setiap inci meja belajar itu. Ada novel - novel remaja hasil karya Thalita di deretan rak paling atas. Ya, Thalita adalah seorang penulis novel bergenre teenlit. Dengan tulisan - tulisannya yang berhasil dibukukan, Thalita mendapatkan uang saku yang cukup lumayan. Gadis itu juga menulis di beberapa platform berbayar.
"Kamu hobi nulis ya, Tha? Ku lihat novel - novel kamu cukup laris. Semoga suatu hari kamu berhasil jadi penulis hebat seperti Stephenie Meyer, deh," kata Hanny suatu hari.
"Amin. Ku amin kan aja kata - katamu, Han. Siapa tau suatu saat bakal jadi kenyataan. Kan kata orang, ucapan itu doa," kata Thalita sambil tertawa.
"Ya kan ku lihat, hampir tiap bulan ada tuh novel kamu yang diterbitkan. Belum lagi yang di platform, aku lihat juga kamu cukup produktif di sana."
"Yah, hanya ini yang bisa aku lakukan, Han. Berimajinasi. Aku kan gak seperti kamu, bisa melakukan banyak hal, bisa mengunjungi banyak tempat, bisa berteman dengan banyak orang. Jadi aku menuangkan imajinasi ku dalam bentuk tulisan, dan syukurlah, bisa cukup menghasilkan," kata Thalita sambil tersenyum.
"Apa maksud kamu, hah?" tanya Hanny sambil tertawa dan mengacak rambut Thalita.
"Yah, setidaknya ekonomi keluargamu jauh lebih baik dari aku, Han. Kamu bisa aja milih tempat kost yang jauh lebih elit dari tempat ini, dan aku yakin papamu sanggup membayarnya dengan mudah. Dan aku juga tau, semua ini kamu lakukan untuk rasa setia kawan sama aku," kata Thalita datar tanpa ekspresi.
"Haduh, jangan pernah punya pikiran kayak gitu, Tha. Kita ini sama saja, papaku juga cuma seorang buruh pabrik, sama kayak abbamu. Cuma bedanya, aku anak tunggal, dan kamu punya tiga adik yang masih butuh banyak biaya. Jadi kesannya, orang tuaku lebih mampu dari orang tuamu," kata Hanny merasa tak enak dengan ekspresi datar Thalita.
"Serius amat, Non. Kan aku cuma bercanda. Aku memang hobi baca dan nulis cerita dari kecil, dengan menulis aku bisa mengekspresikan diriku menjadi apa yang aku mau. Menulis sudah menjadi kebutuhan pokok sih, bagiku," kata Thalita sambil tersenyum manis.
Hanny merasa lega mendengar omongan Thalita baru saja. Wajah serius Thalita tadi, sempat membuat Hanny takut, perkataannya menyinggung Thalita.
"Sebenarnya, menulis juga sebagai ajang buatku meluapkan perasaan. Aku tak punya teman untuk curhat, jadi aku menuliskan semua keluh kesah dalam bentuk karya," kata Thalita kembali sendu.
"Kan kamu masih punya aku, Tha. Aku bisa jadi tempat curhat buat kamu," Hanny menawarkan diri.
"Aku gak mau merepotkan siapapun, Han. Lagian masalahku gak jauh - jauh amat dari duit kok, jadi jelas - jelas aku gak bisa curhat sama kamu. Aku menjadikan curhatku sebagai tulisan juga bukan tanpa alasan. Selain membuat hati lebih plong, juga bisa menghasilkan cuan," kata Thalita kembali tersenyum.
Sebagai seorang sahabat, Hanny merasakan, senyuman Thalita hanya digunakan gadis itu sebagai penutup beban dan kesedihan.
Thalita berasal dari keluarga yang sangat sederhana, ayahnya hanya sebagai buruh pabrik dengan gaji yang tidak besar. Untuk membantu suaminya, ibu Thalita berjualan gorengan keliling kampung. Tapi kadang semua itu belum cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka.
Thalita dapat kuliah dengan beasiswa karena kepandaiannya. Meskipun biaya kuliah gratis, untuk biaya makan dan kost, tetaplah harus membayar. Untuk itu, Thalita pernah berkerja paruh waktu di sebuah cafe. Namun tubuh Thalita yang lemah serta sering sakit, membuat Thalita tak bisa meneruskan pekerjaan itu.
Untuk mendapat penghasilan tambahan, Thalita mencoba menulis di sebuah platform. Hasil yang cukup lumayan, membuat Thalita bersemangat untuk terus berkarya. Bahkan, Hanny lebih sering melihat Thalita duduk di meja belajarnya sambil tangannya sibuk menari di atas keyboard.
Jujur saja, Hanny belum pernah sekalipun membaca karya Thalita, karena genre yang dipilih Thalita tidak sesuai dengan selera Hanny. Tapi melihat banyaknya karya Thalita di beberapa platform dan juga bukti terbit yang dikirim ke alamat kost mereka, cukup sebagai bukti, tulisan Thalita mempunyai banyak pengemar.
"Sekarang kamu lagi sibuk nulis apa, Tha?" tanya Hanny setelah cukup lama mereka terdiam.
"Aku mencoba menulis genre misteri, Han. Tapi sepertinya kurang diminati," jawab Thalita sambil berbalik ke arah laptopnya.
"Kenapa? Bukankah genre roman lebih banyak diminati?"
"Cuma mencoba sesuatu yang baru, Han. Kali ini tujuanku bukan untuk cuan, lebih ke curhat. Apa yang selama ini ku alami dan ku rasakan, ku tulis dalam bentuk karya." Terdengar Thalita menghela napas berat.
Hanny tampak termenung di tempat dia duduk, selama ini Thalita pribadi yang sangat tertutup. Tak pernah sekalipun dia mencurahkan keluh kesahnya pada Hanny, kecuali tentang kuliah dan usahanya mencari uang saku. Thalita juga tak mempunyai banyak teman, bisa dibilang cuma Hanny teman terdekatnya.
Disaat teman - teman yang lain juga sibuk berpacaran, tak terkecuali Hanny, Thalita tak pernah kelihatan mempunyai pacar. Padahal banyak cowok yang berusaha mendekatinya, atau bahkan menyatakan perasaannya, tapi Thalita tak pernah menanggapi dengan serius. Sepertinya tujuan hidup Thalita cuma untuk lulus kuliah dengan baik, mendapat pekerjaan yang baik juga, dan membantu orang tuanya menyekolahkan adik - adiknya.
"Kok diam, Han? Biasanya kamu cerewet banget lho," tegur Thalita.
"Gak enak, kayaknya kamu lagi serius nulis, takut ganggu," kata Hanny sambil merebahkan tubuhnya ke kasur.
Thalita tertawa mendengar jawaban Hanny. " Aku tuh lebih senang kalo kamu cerewet lho, Han. Karena dari kecerewetan kamu, dari cerita kamu, aku sering dapat ide untuk tulisan."
Hanny kembali duduk mendengar perkataan Thalita, dilemparnya bantal ke arah teman kostnya itu. "Curang ahh kamu, aturan aku dapat bagian royalti dong, kan sudah nyumbang ide."
"Iya, nanti akhir bulan deh ya, kalo royaltinya sudah cair, aku traktir kamu makan mie ayam Pak Kumis."
"Masa ide dari aku cuma dihargai dengan semangkok mie ayam sih? Lain kali, aku kasih hak paten deh, biar gak bisa dicopy sama kamu," gerutu Hanny.
Thalita semakin terpingkal melihat Hanny yang cemberut. Tampang sahabatnya itu menjadi sangat lucu, pipi menggelembung dan bibir maju beberapa senti.
"Ya kan kalau cuma ide tapi gak dieksekusi jadi karya kan jadi gak menghasilkan. Jadi cukuplah semangkok mie ayam. Aku lagi baik hati nih, Han. Aku tambahin segelas es jeruk dan sebungkus kerupuk."
"Dah ah, ******!!! Lain kali aku gak mau cerita biar gak dimanfaatin sama kamu," kata Hanny semakin ngambek.
Thalita hanya tertawa mendengar omongan Hanny. Dilemparkannya kembali bantal Hanny ke pemiliknya. Hanny menangkap bantalnya, kemudian tidur membelakangi Thalita.
"Han, aku lapar nih. Mau masak mie instan, kamu mau dimasakin juga gak?" tanya Thalita masih menghadap laptopnya.
Tak terdengar jawaban apapun dari Hanny, cuma terdengar suara napasnya yang teratur.
"Ahh, ternyata kamu udah molor ya, Han." Thalita tersenyum sambil memperbaiki selimut Hanny yang sedikit tersingkap di bagian kaki. Kemudian Thalita melangkah keluar kamar dengan hati - hati, tak ingin membuat Hanny terbangun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
harie insani putra
Genre yg mengsedihkan....hehehe...semnagat ya thorrrr
2022-09-27
2