Ocha dan Alexius menjalani hidup selayaknya suami istri. Hidup mereka berjalan dengan langgeng. Mereka tetap hidup bersama, seatap, sekamar.
Sebagai istri yang baik, Ocha tak ingin mengungkit terlalu banyak perihal Adriana lagi. Ia memutuskan untuk tetap mencari sendiri. Dengan mengandalkan kemampuan yang dimilikinya sedikit, ia hanya perlu menggali dan mengingat lagi masa-masa dulu.
Ia tak ingin merepotkan suaminya. Ia merasa kasihan pada pria itu, masalahnya, pria itu sudah semakin sibuk. Jadi, Ocha tidak ingin menambah lagi beban pikiran pria-nya.
“Sedang memikirkan apa?” tanya pria itu tiba-tiba dengan sebuah pelukan hangat di pinggangnya.
Ocha mengelus tangan pria itu kemudian menumpukkan tangannya diatas punggung tangan suaminya.
“Sudah berapa lama pulang?”
“Baru sampai.” Jawabnya dengan mengecup bahu sang istri.
Ocha merasa geli namun kembali ia harus membiasakan. Ia merasa nyaman diperlakukan bak ratu oleh laki-laki baik seperti Alexius.
“Aku merindukanmu,”
“Sangat.”
Mendengar kalimat itu Ocha terkekeh lirih.
“Ada yang lucu?”
“Ucapanmu.” Balasnya sembari mengelus halus pipi Alexius.
“Aku serius. Apa kau tak merindukanku?”
“Bahkan, kita hanya berpisah selama tujuh jam. Itupun kita masih tinggal satu rumah dan masih bisa saling menatap juga memperhatikan satu sama lain.”
Alexius tertawa, “Benar juga.” Setujunya sembari mengecup lagi bahu Ocha.
Mereka terdiam kemudian dengan pikiran masing-masing.
****
Alexius bertekad, dia akan selalu ada untuk mendampingi Ocha serta mengasihi dan menyayangi Ocha sebagai pasangan hidupnya hingga, hanya mautlah yang dapat memisahkan.
“Makan dulu Sayang!” Seru Alexius.
Ya, sepertinya, ia akan merubah panggilannya untuk Ocha menjadi Sayang. Romantis bukan?
“A-apa? S-sayang? Barusan kau memanggil---”
“Ya, sayang. Itu hal baru yang akan aku awali untuk kisah kita ini. Agar kita, bisa menjadi pasangan yang awet untuk kedepannya. Kau tentu setuju bukan?”
Arocha dengan bodoh hanya mengangguk, “Lalu aku?” Katanya seraya menunjuk dirinya sendiri.
Alexius gemas, polosnya istrinya ini, “Kau apa?” Tanyanya dengan tangan lincah memindahkan piring yang sudah berisi makanan masakan dari pekerja rumahnya.
Arocha menggaruk kepalanya pelan, ia menjadi bingung sendiri, “Apa ya?”
Alexius terkekeh, “Loh, malah balik bertanya. Kau ini bagaimana sih?” Alexius merangkul bahu Ocha mempersilahkan sang istri untuk duduk di kursi setelah ia menarik kursi itu untuk ditempati.
“Kau bisa panggil aku sayang juga. Jadi, itu panggilan khusus untuk kita berdua. Romantis bukan?” tanyanya jahil. Arocha mengangguk, Alexius tersenyum puas dan gemas.
“Coba panggil aku dengan sayang.” Titah Alexius. Arocha menurut saja sebelum sadar.
“Sayang?” Panggilnya polos. Alexius terkekeh gemas.
“Iya sayang?” Jawabnya. Ocha segera tersadar. Kemudian ia menunduk malu memunculkan semburat merah di pipinya.
Ocha bergumam, “Apa yang barusan aku lakukan?”
Alexius mendengar lirih gumaman itu, ia tersenyum kecil, menggenggam tangan istrinya, “Tak apa. Aku suka kau panggil dengan panggilan itu. Biasakan ya?” Pintanya dengan mengecup punggung tangan kanan Ocha yang ia genggam.
“Emm, baiklah. Akan aku coba.” Jawab Ocha menuruti keinginan suaminya. Setelah berpikir, tidak ada salahnya memulai hal baru dengan cara baru pula. Ia berharap, ini awal yang baik untuk hubungan keduanya.
****
Ditinggal sendirian oleh Alexius di dalam rumah dan kamar sebesar ini membuat Ocha kesepian. Yang ia lakukan hanyalah mondar-mandir dan sibuk membaca novel. Ia sedang malas membuka ponselnya.
Rebahan, membaca novel, membaca buku, berguling di atas kasur, membereskan barang yang berantakan, sudah Ocha lakukan. Namun, kesepian tak hilang dalam diri Ocha.
Hingga dengan lesu dan lelah, ia memilih untuk duduk di atas ranjang mereka tidur. Merebahkan dirinya. Dan mengambil foto kecil yang berada di dalam dompet tersembunyinya.
Dimana di foto itu terdapat sepasang suami istri dan juga kedua anaknya. Anak kecil perempuan yang digendong oleh si pria itu adalah Ocha waktu kecil.
Ia mengelus lembut foto itu yang sudah lumayan lusuh, “Ayah, ibu, kakak, aku merindukanmu.” Ucapnya. Tak terasa, air mata kembali menetes.
Rasa dendam itu muncul perlahan, kembali seperti semula. Semua kata hanya ada Jika, seandainya..
Jika semua ini tak terjadi, ia takkan kehilangan.
Seandainya orang tuanya tak kecelakaan, ia akan selalu ada teman,
Jika Adriana dan orang tuanya tak berbuat ulah, ia takkan merasa salah,
Seandainya semua jelas dan ada bukti nyata, maka ia takkan terjebak dalam kebingungan,
Jika ia tak memendam rasa, maka semua dendam takkan ada.
Tapi sayangnya, kata 'jika dan seandainya' tak bisa berubah menjadi nyata dan mengabulkan yang ia mohonkan.
Lama merenung, Ocha mengantuk. Ia bergegas memasukkan lagi foto itu ke dalam dompet tersembunyinya. Kemudian menatap jam dinding, sebentar lagi suaminya pulang, tetapi ia sudah tak kuat untuk membuka matanya. Hingga ia memilih untuk kembali berbaring, menarik selimut serta memejamkan matanya.
****
Usapan halus di keningnya serta tetesan air yang jatuh mengenai matanya membuat ia bangun.
“Maaf, kau jadi terbangun sayang,”
Ocha tersipu, sungguh! Ia belum benar-benar bisa terbiasa.
“Saat aku pulang, kau tertidur sangat lelap, aku merasa bersalah karena membangunkanmu.” Kata Alexius. Ocha tersenyum kemudian ia bangkit merubah posisinya menjadi duduk bersandar.
Alexius mendekat serta merangkul mesra bahu Ocha.
“Tidak apa. Maafkan aku juga yang tertidur saat kau pulang kerja dan aku tak menyambut mu.”
“Tak apa. Bagaimana perasaanmu?” Tanya Alexius.
Ocha paham kemana arah pembicaraan mereka ini.
“Baik, tetapi sedikit resah.”
“Aku tahu, kau berusaha mencari bukti tentang Adriana sendiri tanpa bantuan ku. Mengapa kau lakukan itu sayang?”
Ocha mengerjap. Terkejut.
“A-aku tak ingin merepotkan dirimu.”
Alexius menggeleng, “Sungguh, aku tak merasa direpotkan. Maka dari itu, aku bertanya tentang perasaanmu. Apakah masih ada rasa cemas dan risau?”
Ocha terdiam. Tak mengangguk tak menggeleng.
“Apa kau merindukan orang tuamu lagi?”
Peka. Sangat peka Alexius itu. Hanya sekali melihat, ia bisa menilai.
Ocha tersenyum, menguselkan lebih dalam kepalanya pada ceruk leher Alexius, “Aku sedikit rindu pada mereka. Andai mereka masih ada, pasti mereka bahagia melihat putrinya hidup bahagia bersama seorang Alexius.” Kata Ocha.
Alexius terkekeh dengan mengusap rambut halus istrinya. Ia mendekap erat sang istri pada dadanya.
“Kau tak perlu khawatir. Sekalipun banyak ancaman, halangan dan godaan, aku pastikan, hatiku dan ragaku hanya milikmu.”
****
Terbangun lebih awal, Ocha memilih menatap sang suami. Entah apa sebabnya, rasa cemas kembali mendatanginya. Hatinya resah tak karuan, dan menatap wajah damai saat tertidur suaminya membuat rasa itu sedikit reda.
“Aku sangat bahagia bisa mengenal dan hidup bersamamu. Meski aku sempat menganggap hubungan kita hanyalah sebuah batu loncatan untuk ambisiku membalaskan rasa dendam ku pada Adriana. Namun sekarang, nyatanya, kau sudah tertanam dan namamu sudah tertata di dalam hatiku.” Gumam Ocha dengan mengulurkan telunjuknya mengusap dahi hingga dagu suaminya bergulir.
“Bahkan, rasa cemasku dengan mudah hilang saat menatap wajahmu. Kau memang obat untuk menenangkan rasa risauku.”
Tanpa Ocha sadari, kelopak mata Alexius perlahan terbuka. Ia mendengar gumaman sang istri.
“Akj akan memastikan, untuk terus menjadi obat di hidupmu. Aku menyayangimu.”
****
Hai!!! Dukungannya ya guys ya!!!
Terimakasih! :)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments