"Clarissa, jangan lupa kamu serahkan hasil laporan rapat tadi kepada saya secepatnya. Saya tidak mau menunda pekerjaan yang seharusnya bisa dikerjakan saat ini juga!" titah Sean kepada Clarissa. Ia dan nona muda Smith baru saja keluar ruang rapat.
Hari pertama bekerja, CEO baru perusahaan Anderson Grup segera mengajak Clarissa untuk ikut terlibat dalam rencana peluncuran alat kesehatan khusus bagi lansia. Pria tampan itu tampil memukau meski baru pertama kali berhadapan langsung dengan beberapa karyawan yang terlibat dalam proyek baru perusahaan.
Wanita cantik dalam balutan blouse dan rok span warna hitam dengan tegas menjawab, "Baik, Tuan. Segera laksanakan. Satu jam dari sekarang, laporan itu sudah ada di atas meja Anda." Wajahnya begitu serius tanpa ada keraguan sedikit pun.
Ibrahim yang berdiri di samping Clarissa cukup terkejut mendengar jawaban rekan kerjanya. Bagaimana mungkin Clarissa menyelesaikan tugasnya hanya dalam kurun waktu satu jam, sementara untuk membuat laporan bisa membutuhkan waktu kurang lebih satu jam setengah bagi pegawai baru seperti wanita itu.
Ah ... rupanya Ibrahim belum tahu kemahiran Clarissa saat menyusun kata menjadi kalimat menggunakan sepuluh jemari lentiknya. Ketika bekerja, otak serta kedua tangan wanita itu bekerja dengan sinkron sehingga semua pekerjaan dapat selesai tepat waktu. Itulah kenapa David Anderson langsung menggunakan kekuasaannya karena tidak ingin pekerja handal seperti Clarissa dimiliki oleh perusahaan lain.
"Bagus. Saya tunggu secepatnya!" Tanpa berbicara lagi, Sean segera masuk ke dalam ruangannya meninggalkan Clarissa dan Ibrahim yang masih berdiri di depan pintu ruangan CEO.
Setelah kepergian Sean, Clarissa bergegas duduk di kursi kerjanya yang berada di depan pintu ruangan CEO. Ia segera menyalakan kembali layar monitor miliknya.
"Clarissa, kamu yakin dapat menyelesaikan laporan hasil rapat tadi dalam waktu satu jam saja?" tanya Ibrahim memastikan kembali apa yang didengar olehnya barusan bukanlah halusinasi pria itu.
Tanpa mengalihkan perhatian dari layar monitor, Clarissa berkata. "Yakin, Tuan. Seratus persen yakin, malah!" jawabnya santai. "Kenapa, Tuan Ibrahim tidak percaya kalau saya bisa menyelesaikan tugas dari Tuan Sean secepat itu?"
"Tuan pasti berpikir, mana mungkin anak baru seperti saya dapat mengikuti irama bekerja Tuan Sean yang selalu ingin menyelesaikan segala sesuatu tepat waktu. Begitu 'kan yang ada di dalam benak Anda?" cecar Clarissa seraya mengulum senyum di wajah.
Sontak, Ibrahim gelagapan mendengar ucapan Clarissa. Ia memang tak percaya jikalau wanita itu bisa mengerjakan tugas tepat waktu, namun apakah pantas kalau pria itu berkata jujur di hadapan sang sekretaris?
"B-bukan begitu maksud saya. Ehm ... anu ... i-itu ...." Lidah pria itu kelu, tak mampu berkata. Sumpah demi apa pun, ia tidak enak hati karena tertangkap basah tengah meragukan kemampuan rekan kerjanya itu.
Alih-alih merasa tersinggung, Clarissa malah terkekeh pelan. Tatapan mata masih fokus ke depan, jemari tangan begitu lincah menari di atas keyboard. Wajah wanita itu semakin terlihat cantik saat sedang fokus bekerja.
"Tuan Ibrahim tidak usah merasa bersalah karena pernah meragukan kemampuan saya. Saya bisa memakluminya kok." Clarissa melirik sekilas ke arah Ibrahim, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. "Saya juga tidak bisa memaksa orang lain untuk percayainya. Biarlah waktu yang 'kan membuktikannya sendiri."
Ibrahim hanya menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. Rasa sesal kembali menyelimuti diri. Merasa tidak enak hati karena sempat meragukan kemampuan rekan kerjanya, padahal di kemudian hari mereka berdua akan bekerjasama memberikan kinerja terbaik yang dimiliki untuk perusahaan. Namun, apabila terjadi masalah seperti ini, apakah mungkin mereka dapat bekerjasama dengan baik? Sedangkan dirinya sempat meragukan Clarissa.
***
Sementara itu, di kediaman Anderson, seorang gadis kecil berambut pirang kecoklatan tengah merengek minta dibelikan es krim sekembalinya mereka dari sekolah taman kanak-kanak. Padahal, Karin telah memberikan satu cup es krim rasa strawberi tetapi gadis kecil itu menginginkan lebih dari satu.
"Mama, aku ingin es krim lagi!" merengek di lengan Karin. "Es krim Strawberi, Ma!" Menggoyangkan lengan Karin seraya tubuhnya pun ikut bergoyang. Terus berusaha meski istri kedua Sean sudah melarangnya. Namun, memang dasarnya keras kepala, Xena tak mengindahkan larangan mama tirinya. Terus merengek, dan merajuk tanpa mengenal lelah.
Karin yang merasa kelelahan setelah enam jam lamanya menemani Xena di sekolah seketika menunjukan perubahan sikap terhadap anak tirinya itu. Wajah wanita itu merah padam, disertai dada kembang kempis dan deru napas memburu.
"Stop it, Xena!" bentak Karin. "Mama, 'kan sudah bilang padamu jangan merengek minta dibelikan es krim lagi! Kalau kamu sakit bagaimana?"
"Kamu sengaja ya melakukan itu agar Papa marah pada Mama, iya?" tuduh Karin dengan meninggikan nada suara hingga membuat Xena menangis kencang. Suara tangisan gadis kecil berusia lima tahun menggema memenuhi penjuru ruangan.
"Mama jahat! Mama jahat!" Xena menjatuhkan tubuhnya ke bawah. Ia terduduk di lantai dengan posisi kedua kaki lurus ke depan. Menggerakan kaki kanan dan kiri sambil menangis sesegukan.
Xena memang memiliki tabiat jelek apabila keinginannya tidak dipenuhi. Mungkin karena Sean serta kedua kakek neneknya terlalu memanjakan gadis kecil itu sehingga membuatnya menjadi anak yang sulit diatur dan keras kepala. Selain itu, ia pun sering mengalami tantrum secara tiba-tiba.
Kepala Karin rasanya mau pecah melihat tingkah laku anak dari suaminya. Selama lima tahun merasa tertekan karena ia harus menghadapi sikap Xena yang sering membuatnya naik pitam.
"Diam, Xena! Diam! Mama bilang, diam!" Wanita itu membungkukan sedikit badan sambil menyentuh kedua bahu anaknya.
Alih-alih terdiam, Xena semakin menangis kencang hingga seluruh pelayan di kediaman Anderson berhambur mendekati sumber suara. Imelda, sang baby sitter sedari tadi terdiam di tempat, tak berani mendekat apabila Karin sudah menunjukan sisi lainnya di hadapan semua orang.
"Tidak mau. Mama jahat!" ucap Xena di tengah suara isak tangisnya. "Aku akan bilang pada Papa kalau Mama jahat!"
Sontak, bola mata Karin melebar sempurna. Ia tak menduga jikalau Xena sekarang sudah berani mengancamnya. Entah dari mana anak itu mendapatkan keberanian, tetapi yang pasti, nyonya muda Anderson harus segera bertindak sebelum belangnya ketahuan oleh sang suami.
"Kamu! Beraninya kamu mengancam, Mama!" ujar Karin dengan mata melotot. Mengeratkan cengkraman di pundak Xena hingga membuat gadis kecil berambut pirang kecoklatan meringis kesakitan.
"Sakit, Ma!" rintih Xena merasakan kesakitan luar biasa pada kedua pundaknya.
"Biarin! Ini balasan karena kamu berani mengancam Mama!" Xena semakin terisak kala jemari lentik Karin terus menekan pundak gadis kecil itu.
Merasa tidak tega melihat kondisi Xena yang saat ini, Imelda segera melangkah secara perlahan mendekati majikannya.
Dengan sopan wanita muda itu berkata, "Nyonya, sudah hentikan! Jangan dimarahi lagi, kasihan, Nona Xena!"
Karin mendelik ke arah Imelda. Tak lupa, ia pun menghunuskan tatapan tajam kepada baby sitter Xena. "Kasihan katamu? Anak nakal ini sudah berani mengancamku! Apakah itu hal wajar dilakukan oleh anak seusianya, hem?"
"Tapi, Nyonya 'kan bisa menegurnya pelan-pelan tanpa harus membentak Nona Xena. Nona Xena akan mengerti jika Nyonya bicara baik-baik tanpa harus menggunakan kekerasan. Walaupun keras kepala, tetapi Nona Xena mudah diberitahu apabila ditegur baik-baik," papar Imelda mencoba mengingatkan Karin.
Karin mendengkus kesal karena merasa baby sitter Xena seolah sedang mengguruinya. Padahal, jenjang pendidikan, dan status, dirinyalah lebih tinggi dari Imelda.
"Kamu itu cuma baby sitter-nya Xena, tidak perlu mengajariku mana yang baik dan tidak. Kalau memang kamu merasa benar, seharusnya dapat mendidik dan mengajarkan Xena menjadi anak penurut bukan pembangkang seperti ini!" cibirnya seraya menatap sinis.
"Maafkan saya, Nyonya. Saya tidak bermaksud menceramahi Anda."
"Alasan! Kamu harusnya sadar diri, siapa kamu dan siapa saya. Kita bagaikan langit dan bumi, jauh berbeda sekali! Kamu itu cuma baby sitter, ingat itu!"
Di saat Karin masih ingin berucap, terdengar suara kendaraan roda empat memasuki halaman parkir kediaman Anderson. Istri kedua Sean tahu betul bahwa mobil di depan sana adalah milik tuan dan nyonya besar Anderson.
Lantas, ia berkata dengan nada penuh penekanan. "Anggap semua yang kalian lihat tidak pernah terjadi. Kunci mulut rapat-rapat dan gunakan kacamata kuda, seolah kalian buta dan tuli. Jika sampai aku mendengar teguran dari mertua serta suamiku, aku tidak segan-segan memberikan pelajaran kepada kalian semua. Mengerti?" Menatap mata seluruh pelayan di ruangan itu satu per satu. Mengancam mereka untuk tutup mulut.
"Mengerti, Nyonya!" sahut para pelayan hampir bersamaan.
Imelda tak bisa berkutik setelah mendengar perkataan Karin. Mulut wanita itu terkunci rapat, dengan kepala tertunduk ke bawah. Begitu pun dengan para pelayan yang bergeming sambil menyaksikan bagaimana Xena menangis kencang karena dimarahi oleh Karin. Mereka memilih diam daripada harus berurusan dengan Karin.
"Kamu, Xena. Jangan pernah beritahu Papa serta Grandma dan Grandpa kalau Mama memarahimu. Kalau sampai Papa marah kepada Mama, maka Mama akan kurung kamu di gudang! Biar kamu tidur ditemani kecoa," bisik Karin di telinga Xena. Menggunakan kelemahan gadis kecil itu agar menuruti perintahnya.
Dengan bibir gemetar, dan sisa keberanian yang ada, Xena menjawab. "Iya, Ma. Aku janji tidak akan memberitahu Papa dan juga Grandma dan Grandpa."
Seulas senyum penuh kepuasan di lukis di wajah Karin. "Good girl! Mama suka itu!" Mengusap puncak kepala Xena sambil berdiri tegak. "Sudah, cepat hapus air matamu sebelum kepergok Grandma dan Grandpa!"
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Iyusnia Muhtadin
Ih, ngeri ya lihat sikap Karin. Kok perilaku nya begitu. Katanya pendidikan dan status sosialnya tinggi. Tapi kenapa tidak berbanding lurus dengan perilakunya. Ingat Mba Karin, jangan suka merendahkan orang lain karena status dan pekerjaan, tanpa mereka baby sitter dan para ART, kamu akan sangat kerepotan dalam mengurus hidupmu. Derajat seseorang tidak bisa diukur dari kedudukan, status sosial, pendidikan. Ingat Mbak, di atas langit masih ada langit.
2022-09-15
3