Selang beberapa hari setelah tiba di Indonesia, Sean pergi ke perusahaan yang didirikan oleh sang papa. Pria bermata hazel, serta memiliki paras bagai Dewa Yunani melangkah masuk ke dalam gedung pencakar langit yang ada di kawasan Jakarta Pusat. Bangunan gedung megah dengan desain interior mewah menjadi ciri khas perusahaan tersebut. Segala furnitur di dalam kantor itu merupakan kualitas nomor satu di pasarnya.
Sesampainya di kantor, Sean disambut ramah oleh seorang pria yang tak lain adalah asisten David, bernama Ibrahim. Berpakaian rapi dengan setelan jas abu-abu tersenyum hangat ke arah putra tunggal pemilik perusahaan.
"Selamat pagi, Tuan Sean. Perkenalkan, nama saya Ibrahim Pasha. Saya diutus oleh Tuan David untuk menjadi asisten Anda selama menjabat sebagai CEO, menggantikan beliau. Ke depannya, saya harap kita dapat bekerjasama. Apabila ada hal yang dibutuhkan, jangan segan menghubungi saya," ucap Ibrahim seraya memperkenalkan diri di hadapan Sean. Pria berusia tiga puluh lima tahun itu, dipercaya dapat membantu segala urusan pekerjaan yang kelak dihadapi oleh anak semata wayangnya.
Dengan wajah datar dan suara dingin, Sean menjawab. "Terima kasih. Mohon bantuan dan kerjasamanya."
Sean sama sekali tidak tertarik untuk beramah tamah dengan pria yang diminta menjadi asistennya, ataupun seluruh karyawan di perusahaan milik sang papa. Meskipun begitu, ia tetap bersikap hormat dan selalu membalas sapaan orang yang kebetulan berpapasan dengannya. Memiliki sikap dingin, dan selalu memasang wajah datar, bukan berarti membuat pria itu berubah menjadi sosok pria sombong dan menganggap remeh orang lain, sebab David selalu mengajarkannya untuk tetap rendah hati dan menghormati orang lain.
"Baiklah kalau begitu, mari saya ajak Tuan Sean berkeliling sebelum mengikuti acara rapat bersama dewan direksi dan pemegang saham Anderson Grup." Ibrahim mempersilakan Sean berjalan terlebih dulu di depannya, setelah itu barulah dia melangkah mengikuti langkah kaki calon pemimpin baru perusahaan.
Menekan tombol angka tujuh, benda persegi terbuat dari besi membawa tubuh mereka menuju salah satu ruangan yang kelak dijadikan tempat kerja Sean. Di sana, pria blesteran Amerika Indonesia akan menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di atas kursi kebanggaan sambil memeriksa beberapa file perusahaan, membubuhkan tanda tangan di atas kertas bertinta hitam serta mengecek email masuk dan membalasnya satu per satu.
Sean mengikuti Ibrahim yang terus melangkah menyusuri lorong menuju ruang CEO. Sambil berjalan, ia mengamati setiap lukisan serta hiasan dinding yang kebanyakan merupakan pemandangan alam serta permainan warna warni segar yang memanjakan netra.
Mereka berbelok ke lorong sisi kanan, kemudian terus melangkah hingga tiba di ruangan paling ujung di dekat sebuah jendela besar. Bagian depan pintu bertuliskan 'ruangan CEO'.
"Tuan Sean, inilah ruangan yang akan Anda gunakan selama menjabat sebagai CEO perusahaan." Tangan Ibrahim membuka pintu kayu berwarna putih hingga terbuka lebar.
Ruangan itu cukup luas, berukuran 8×8 m2. Terdapat satu set meja kerja lengkap dengan kursi empuk serta layar monitor ukuran 23.8 inchi, tiga buah sofa single dan double di tengah ruangan, dua buah rak buku tinggi dengan berbagai koleksi buku bacaan yang sengaja disediakan untuk mengusir rasa suntuk kala jenuh menghadapi pekerjaan.
Tampak Sean menganggukan kepala, petanda puas karena ruangan itu didesain sesuai dengan keinginannya. Pria itu menyapukan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, memperhatikan setiap furnitur yang ada di dalam sana.
'Walaupun sudah lima tahun tak tinggal satu atap, tetapi Papa tetap tahu apa yang kusukai dan tidak kusukai,' batin Sean. Dalam hati merasa takjub karena David selalu ingat semua tentang dirinya.
Setelah puas mengajak Sean berkeliling ruangan, Ibrahim mengarahkan calon bos-nya itu menuju ruang rapat yang ada di lantai satu. Jarum panjang pada arloji mewah miliknya telah menunjukan pukul dua belas, sedangkan jarum pendek mengarah ke angka sepuluh. Menandakan bahwa rapat serah terima jabatan akan segera dimulai.
Selama berkeliling ruangan, tak jarang para karyawan perusahaan mencuri pandang pada calon bos baru mereka. Rasa kagum akan sosok pewaris tunggal Anderson Grup terpancar jelas di sorot mata beberapa pekerja yang kebetulan tanpa sengaja berpapasan di jalan.
"Pria tampan tadi, apakah putra dari Tuan David?" tanya salah satu pekerja wanita mengenakan setelan kerja berwarna merah marun. Ia bernama Mawar, pegawai baru di perusahaan itu. Jadi tidak heran jikalau wanita itu bertanya pada salah satu teman kerjanya.
"Benar. Pria itu bernama Tuan Sean. Dia sudah lima tahun tinggal di Amerika dan baru beberapa hari lalu kembali ke Indonesia," jawab pekerja wanita bernama Mila.
Mawar tampak menganggukan kepala. "Pantas saja aku tidak pernah melihatnya. Rupanya Tuan Sean lama tinggal di luar negeri."
Mila memicingkan mata, menatap penuh selidik ke arah rekan kerjanya. "Kenapa kamu menanyakan Bos baru kita? Jangan bilang kalau kamu menyimpan rasa kepada Tuan Sean!" tuduhnya.
Mawar terkekeh mendengar perkataan Mila. "Mila ... Mila ... aku ini wanita normal, yang langsung tertarik saat bertemu dengan pria tampan, gagah dan juga tajir. Namun, bukan berarti ingin memiliki pria itu. Aku cuma kagum, karena di usianya yang masih muda tetapi sudah bersedia terjun langsung mengurusi bisnis milik orang tuanya."
"Ketertarikanku terhadap Tuan Muda Anderson, tak membuatku hilang akal hingga menyusun rencana untuk menaklukan hati beliau. Cuma kagum loh, ya. Tidak lebih!" Mawar kembali menegaskan jikalau dirinya sama sekali tak berniat tebar pesona agar dilirik oleh Sean.
Mengembuskan napas panjang, merasa lega sebab rekan kerjanya tak ada niatan sama sekali untuk menjadi nyonya muda Anderson.
"Baguslah kalau kamu sadar. Jadi, aku tidak perlu capek-capek memberikan ceramah dadakan padamu! Aku bisa menyimpan energiku ini untuk mengerjakan pekerjaan lain," jawab Mila. Membawa tumpukan berkas dan menyapitkan di antara bagian dada dan lengan. "Sudah ah, aku mau ke ruangan Pak Sofyan dulu. Sebaiknya kamu pun melanjutkan kembali pekerjaanmu, sebelum kena tegur atasan."
Mawar mencebikkan bibir. "Iya, bawel!"
Sementara itu, Sean ditemani Ibrahim terus melangkah menuju ruangan. Tuan muda Anderson mempercepat langkahnya. Ia mengambil langkah panjang agar segera tiba di ruangan, sebab tak ingin membuat David serta pemegang saham perusahaan Anderson Grup menunggu terlalu lama.
"Sebentar lagi kita sampai di ruang rapat, Tuan," ucap Ibrahim ketika netranya melihat sebuah pintu paling ujung dekat tiang penyangga bangunan atau lebih sering disebut dengan cakar ayam.
Suara derap langkah menggema seirama dengan suara degup jantung Sean yang mulai tak beraturan. Entah kenapa, ia sedikit grogi menghadapi rapat pagi hari ini. Mungkin karena sudah lama tidak berbaur dengan para pekerja yang berasal dari dalam negeri, membuatnya sedikit kikuk karena harus membiasakan diri berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Sementara di luar negeri sana, ia terbiasa menggunakan bahasa Inggris bahkan saat berbicara dengan Xena sekalipun.
Terus melangkah hingga tanpa terasa tersisa dua meter lagi tiba di depan pintu Raflesia, tiba-tiba saja Sean tanpa sengaja menabrak seorang wanita yang kebetulan tengah membereskan lembaran kertas dari sebuah amplop coklat.
Brugh!
"Maaf!"
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
⚘️💙⚘️ Neng Gemoy ⚘️💙⚘️
kenapa ya, seorang CEO selalu digambarkan dingin .. berwajah datar ...
apa dgn menjadi seorang yg ramah ... smiling face ... itu akan menurunkan wibawa seorang pimpinan tertinggi ? 🤔
*beneran asli nanya ... 🙏
2023-02-11
0
🍭ͪ ͩ📴🍀⃟🐍
woaaahhhhh kalian blum tau rupanya... Sean udah punya rubah betina..😅😅
nah nah... itu kayaknya tabrakan ama ekhem... 😆
2022-09-13
1
Lydia
Lanjut Author... terima kasih 😀👍🏻
2022-09-12
1