"Kenapa datang ke sini tidak memberitahu terlebih dulu! Coba kalau tadi Nona Clarissa tak mengirimkan pesan bisa jadi kalian menunggu hingga sore hari!" tegur Sean kepada Imelda. Bukan karena merasa terganggu akan kedatangan Xena di perusahaan, hanya saja ia mencemaskan keadaan putrinya.
Xena sering kali rewel setiap kali mengantuk. Tak jarang gadis kecil itu mengamuk apabila tak segera tertidur. Seandainya saja tadi Clarissa tidak nekad mempersilakan masuk ke ruang CEO, mau istirahat di mana nona muda Anderson? Itulah yang menyebabkan Sean sedikit kesal terhadap Imelda.
"Maafkan saya, Tuan. Saya janji, lain kali tidak akan mengulanginya lagi." Imelda tertunduk di hadapan Sean, mengakui kelalaiannya.
Merasa kasihan melihat pengasuh sekaligus teman mainnya selama ini dimarahi oleh daddy-nya, Xena turut membela Imelda. "Daddy, jangan marahi Mbak Imelda lagi. Ini salahku. Tadi, aku yang meminta Mbak Imelda tidak memberitahu Daddy, karena ingin memberikan kejutan." Merajuk seraya bergelayut manja di lengan kekar Sean. Gadis kecil penyuka Taddy Bear mengerahkan kemampuannya agar pria berwajah blasteran itu berhenti memarahi Imelda.
"Daddy tidak memarahi Mbak Imelda, Sayang. Hanya sedang menegurnya saja."
"Iih ... sama saja, Daddy!" protes Xena. "Jika Daddy terus memarahi Mbak Imelda, lalu Mbak Imelda pergi seperti Mommy, siapa yang menemaniku main bersama Taddy?"
Seketika, tubuh Sean membeku mendengar perkataan dari putri kesayangannya. Sepasang mata hazel menatap warna iris yang sama dengannya. Selama ini tak menyangka kalau kehadiran Imelda begitu berarti bagi Xena.
Sean memejamkan mata singkat, berusaha mengendalikan diri agar tidak terus menerus meluapkan kekesalannya kepada Imelda. "Baiklah, Sayang. Daddy tidak akan memarahi Mbak Imelda lagi. Kamu puas sekarang, Nak?"
"Yeah! Thank you, Daddy. Aku sayang Daddy!" Mengalungkan kedua tangan di leher Sean sambil bergelayut manja. Gadis kecil itu tampak begitu bahagia.
Jam dinding sudah menunjukan pukul setengah lima sore waktu setempat. Seluruh karyawan perusahaan telah bersiap kembali ke rumah masing-masing. Sore itu, tidak biasanya hujan turun dengan begitu deras. Suara gemuruh petir sahut menyahut disertai kilatan cahaya berwarna terang di atas langit terus bermunculan.
Beruntungnya ketika jam pulang kantor tiba, kota Jakarta sudah tak lagi diguyur hujan. Hanya menyisakan genangan air di beberapa titik jalanan di ibu kota.
"Jadi, saat kamu menunggu Daddy di ruangan, Tante Clarissa menemanimu sambil mengerjakan pekerjaan kantor?"
Gadis kecil itu mengangguk. Poni di dahinya bergerak menggemaskan. "Benar! Selama aku menunggu, Tante Clarissa menemaniku di ruang kerja Daddy. Kami bermain, bercanda bersama. Pokoknya, hari ini aku senang sekali bisa bertemu dengan Tante Clarissa." Terlihat jelas pendar bahagia di bola mata hazel milik Xena.
Sedari tadi, Xena tak hentinya memuji sekretaris pribadi dari sang CEO. Bibir mungil itu terus mengoceh tanpa mengenal lelah. Setiap detik hanya nama Clarissa yang ia ingat.
Sean menoleh, mata hazelnya yang indah menatap bola mata jernih di sampingnya. Xena sangat bersemangat setiap kali membicarakan Clarissa. Mungkin saat ini sekretaris itu telah menjelma menjadi sosok idola bagi gadis kecil berusia lima tahun.
"Kapan-kapan, aku boleh 'kan main ke kantor lagi untuk bertemu Tante Clarissa?" tanya Xena seraya mengerjapkan mata penuh pengharapan. Gadis kecil itu terlihat begitu menggemaskan.
Sean menghela napas kasar, jika Xena sudah memasang wajah imut dan menggemaskan, bagaimana pria itu dapat menolak permintaan anaknya. Lantas, ia menjawab, "Boleh, tapi janji sebelum ke kantor bilang dulu karena Daddy tidak mau kejadian tadi terulang kembali."
"Siap, Daddy Bos!" seru Xena penuh semangat.
***
"Daddy, look over there!" Jari telunjuk Xena menunjuk ke arah seorang wanita yang tengah berdiri di pinggir jalan. Wanita itu mengenakan setelan kerja sama persis seperti yang dikenakan oleh Clarissa. "I think, she is Tante Clarissa."
Lantas, Sean mengikuti ke mana arah jari telunjuk Xena mengarah. Di depan sana, Clarissa sedang membungkukan setengah badannya ke dalam kap mesin mobil. Melihat satu unit mobil berhenti di bahu jalan di tengah jalanan sepi, ia yakin telah terjadi sesuatu menimpa wanita itu.
"Pak Lukman, tolong berhenti di depan sana!" pintanya pada sopir yang duduk di balik kemudi. "Sayang, kamu tunggu di sini saja. Daddy segera kembali!" ucapnya sebelum turun dari mobil.
"Aduh, ada apa lagi sih dengan mobil ini? Kenapa tiba-tiba saja dia mogok!" gerutu Clarissa. Mencoba mencari tahu kerusakan apa yang menimpa unit kendaraannya. Seingatnya, mobil yang dibelikan oleh Alvin dalam keadaan baik-baik saja. Dari mesin, ataupun spare part lainnya dalam keadaan normal. Namun, entah kenapa hari ini mobil miliknya mogok begitu saja.
"Apa yang terjadi? Kenapa mobilmu berhenti di tengah jalanan seperti ini?"
Clarissa terlonjak kaget kala mendengar suara bariton seseorang di belakang badannya. Nyaris saja kepalanya terantuk penutup kap mobil. Akan tetapi, satu tangan kekar dengan gerakan cepat sudah berada di atas sehingga sang wanita tidak perlu merasakan bagaimana sakitnya saat kepalanya menyentuh kap mesin mobil.
"Hati-hati!" seru Sean sambil berdiri di sebelah Clarissa.
Clarissa menoleh dan mendapati bos-nya sedang menatapnya dengan sorot mata penuh kecemasan. Berada dalam posisi sedekat ini, wanita itu bisa mencium aroma musk yang terkesan lembut dan manis begitu memanjakan indera prnciuman sang sekretaris menguar ke udara.
"Kamu terlalu ceroboh hingga tanpa sadar nyaris membuatmu celaka!" Sean kembali berkata tanpa merubah posisi tubuh. Masih setia mengulurkan tangan ke atas, menghalau agar kepala Clarissa tak membentur bagian penutup mesin mobil.
Tak ingin terlalu lama menatap mata hazel milik bos-nya, Clarissa mengalihkan pandangan ke sekitar. "Saya tidak akan berbuat ceroboh jika Tuan Sean tak datang secara tiba-tiba. Berjalan perlahan seperti seorang pencuri saja!" sindirnya.
Merasa usahanya tak dihargai, lantas Sean menarik kembali tangannya. Ia mundur beberapa langkah ke belakang memberi jarak agar tak berdekatan dengan Clarissa.
"Kenapa kamu ada di jalanan sepi ini? Bukankah seharusnya kamu sudah tiba di rumahmu satu jam lalu?"
"Mobil saya tiba-tiba saja mogok, Tuan. Padahal tadi pagi dalam keadaan baik-baik saja," tutur Clarissa.
"Sudah menelepon bengkel dan meminta montir datang ke sini?"
Dengan cepat Clarissa menggelengkan kepala. "Belum! Daya ponsel saya habis sehingga tak bisa meminta bantuan siapa pun."
Sean berdecak kesal. "Ck! Sebelum pulang kerja, kamu perhatikan dulu daya ponselmu. Jika berada di batas 20%, segera keluarkan charger-an mu agar terhindar dari hal-hal yang tak diinginkan seperti ini."
"Tadi saya terlalu sibuk menyisil pekerjaan yang Tuan sehingga tak sempat memeriksanya. Saat hendak mencari bengkel terpercaya, ponsel saya mati. Power bank pun tak dibawa."
"Sudahlah, biar saya panggilkan montir kepercayaan keluarga Anderson." Tanpa membuang waktu, Sean melakukan panggilan telepon dan meminta montir bengkel yang biasa dipercaya melakukan perawatan terhadap unit mobil milik keluarga Anderson untuk datang ke lokasi.
"Mereka akan tiba di sini sekitar tiga puluh menit." Sean menarik lengan jas yang dikenakan. Jarum panjang di arloji miliknya menunjukan pukul tujuh malam.
Pria itu mengedarkan pandangan ke sekitar. Jalanan cukup sepi, jarang ada kendaraan lalu lalang sebab jalanan ini merupakan jalan alternatif agar tak terjebak macet. Ditambah kota Jakarta yang diguyur hujan sejak sore hingga selepas maghrib membuat orang segan untuk keluar malam.
Merasa kasihan bila meninggalkan Clarissa seorang diri di tempat itu, ia berinisiatif memberikan tumpangan pada wanita itu. "Kamu naiklah ke dalam mobil, saya akan mengantarmu pulang."
Seulas senyum samar terukir di bibir sang sekretaris. Namun, ia segera merubah raut wajahnya secepat mungkin. "Tapi, Tuan, saya tidak enak hati jika merepotkan Anda," tolaknya halus. Akan tetapi, dalam hati berbunga-bunga karena satu langkah semakin dekat menuju kemenangan.
"Diamlah! Jangan banyak bicara! Cepat masuk, sebelum hari semakin gelap!" titahnya tanpa mau dibantah.
Clarissa mengangguk dan mengekori Sean di belakang. Kedua insan manusia itu masuk ke dalam sebuah mobil mewah berwarna silver.
"Pak Lukman, biarkan saya yang mengendarai mobil ini. Tugasmu adalah menjaga mobil Nona Clarissa hingga montir kepercayaan keluarga Anderson tiba ke sini. Sebelum mereka sampai, jangan pernah sekalipun kamu pergi dari tempat ini!" ujarnya dengan nada penuh penekanan.
Ucapan tegas, sikap dingin dan wajah datar membuat Lukman tak berani membantah. Walaupun hati kecil ingin sekali menolak, tetapi ia tak mau berurusan dengan tuan muda Anderson yang terkenal berdarah dingin dan tak segan membuat perhitungan kepada siapa pun.
"B-baik, Tuan Sean," ucap Lukman tergagap.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
🍭ͪ ͩ📴🍀⃟🐍
yeeeaaahhhhh s sean udah mulai ada rasa kali yaaaa... hm hm... pepet trus Clarissa
2022-09-23
2
Lydia
Lanjut Author.... terima kasih 🙂👍🏻
2022-09-23
1