Kejadian beberapa waktu lalu di restoran Jepang, menyisakan kebahagiaan yang mendalam di hati Clarissa. Setelah tiga bulan lamanya menjadi selingkuhan dari seorang pria yang menjabat sebagai wakil direktur rumah sakit, akhirnya ia terlepas dari jerat cinta sang kekasih. Kini, wanita pemilik mata almond dengan bulu mata lentik dapat menjalani kehidupannya seperti sedia kala.
Beberapa menit setelah kepergian Hendra dan istrinya, Clarissa memutuskan untuk tetap berada di restoran itu. Beruntungnya pelayan restoran sudah menyiapkan pakaian ganti untuk wanita itu sehingga ia dapat menikmati kembali semangkuk beef hot ramen kesukaannya dengan wajah sumringah. Terus mengulum senyum, sebab rencana yang disusun selama tiga bulan akhirnya berjalan sukses berkat bantuan Jack, salah satu orang kepercayaannya.
"Nyaris saja aku lupa!" gumamnya seraya menepuk kening dengan lembut. Lantas, Clarissa mengeluarkan telepon genggam milik dari dalam hand bag merk terkenal dengan harga ratusan juta rupiah.
[Mas Hendra, maafkan aku. Sepertinya hubungan di antara kita berakhir sampai di sini saja. Aku tidak mau disebut menjadi orang ketiga atas kandasnya rumah tanggamu dengan Nyonya Mirna. Oleh karena itu, aku memilih mundur daripada terus di-cap sebagai seorang pelakor.]
[Maafkan aku karena belum bisa menjadi kekasih yang baik selama kita menjalin kasih. Terima kasih banyak atas semua kebaikanmu kepadaku. Selamat tinggal.]
Setelah pesan itu berhasil dikirim, Clarissa langsung mencabut kartu teleponnya dan membuangnya ke tempat sampah. Ia selalu melakukan hal sama setiap kali berhasil menjalankan misinya.
Tepat pukul tujuh malam, Clarissa baru tiba di rumah. Seorang pelayan bergegas membukakan pintu dan menyambut nona muda Smith.
"Selamat malam, Nona Clarissa." Pelayan menundukan kepalanya, menyapa dan menyambut Clarissa penuh sopan dan ramah.
Clarissa tersenyum sambil membalas. "Selamat malam juga, Husna. Apakah Kak Devan sudah pulang?" tanyanya pada Husna, kepala pelayan. Ingin memastikan apakah kakak lelakinya itu sudah pulang ke rumah atau belum karena seusai kejadian di restoran, Clarissa tidak kembali ke kantor. Ia memilih memanjakan diri ke salah satu salon khusus wanita untuk melakukan perawatan full body, mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
Dengan lembut Husna menjawab, "Sudah, Nona. Saat ini Tuan Devan tengah menyantap makan malam bersama Tuan Besar."
Terdengar helaan napas kasar bersumber dari Clarissa. Setiap kali mendengar kata tuan besar, sorot mata tajam sang papa kembali muncul dalam memori ingatannya. Insting wanita itu kembali memberikan sinyal bahaya dan meminta nona muda Smith agar lebih waspada atas bahaya yang 'kan terjadi di depan mata.
"Ya sudah, tolong kamu bawakan paper bag di dalam bagasi mobilku. Di dalam sana ada setelan kerjaku yang terkena siraman air. Tolong cuci sampai bersih dan pastikan tidak ada aroma parfum si tua bangka tersisa di pakaianku."
Husna tersenyum lebar. "Baik, Nona. Akan saya laksanakan. Kepala pelayan menundukan kepalanya, mempersilakan Clarissa untuk masuk ke dalam rumah.
Clarissa melangkah masuk ke dalam rumah menuju ruang makan. Tampak Alvin tengah sibuk menyuapkan makanan ke dalam mulut. Sementara Devan, kakak Clarissa pun begitu khusyu menikmati hidangan yang ada di atas meja.
"Selamat malam semua," sapa Clarissa. Mengulum senyum lebar di wajah walau dalam hati ketar ketir, khawatir Alvin 'kan meluapkan emosi kepadanya karena tahu kalau hari ini ia kembali melancarkan aksi balas dendam kepada pria hidung belang.
Sontak, Alvin dan Devan menoleh ke sumber suara. Tuan besar Smith menghunuskan tatapan tajam ke arah Clarissa. Sedangkan tuan muda Smith hanya menggelengkan kepala melihat tingkah sang adik.
"Selalu buat masalah! Dasar anak nakal!" gumam Devan lirih disertai seringai mengejek ditujukan kepada Clarissa.
"Dari mana saja kamu, jam segini baru pulang? Papa sengaja memintamu membantu Devan mengurusi kantor cabang di Surabaya, tetapi malah keluyuran tidak jelas!" tegur Alvin dengan nada dingin. Pria paruh baya tetapi tetap terlihat gagah dan berwibawa di usianya yang semakin senja, menatap serius ke arah Clarissa.
Melihat tatapan dingin dan begitu tajam bagaikan seekor elang yang siap mencabik-cabik mangsanya, ia menelan saliva susah payah. Kalau sudah begini, artinya ia tengah berada dalam masalah besar dan bersiap menanti bom waktu dalam diri papa-nya meledak.
"Maafkan aku, Pa. Tadi aku pergi bertemu seseorang sekalian makan siang dengannya," jawab Clarissa lirih seraya menundukan wajah. Ia tak berani menatap wajah Alvin.
Alvin menghela napas dalam. Sejujurnya, ia masih ingin mengeluarkan isi hatinya kepada Clarissa. Namun, pria itu merasa saat ini bukan waktu yang tepat baginya mendebat putrinya ketika mereka tengah berhadapan dengan makanan di atas meja.
"Kita 'kan membahasnya lagi nanti setelah makan malam. Duduklah, dan nikmati makanan yang telah disiapkan oleh para pelayan." Dengan terpaksa Alvin membendung kemarahan dalam dirinya untuk sementara.
Saat ini, Alvin beserta Clarissa telah berada di dalam ruang kerja yang biasa digunakan oleh Devan untuk mengurusi pekerjaan kantor. Pendiri Smith Kontruksi duduk di kursi kebangaannya, Devan dan Clarissa duduk di seberang sang papa.
"Jelaskan pada Papa, apa yang kamu lakukan selama enam jam terakhir. Bukankah seharusnya kamu kembali ke kantor, mengurusi pekerjaan yang diserahkan oleh Kakak-mu?" Alvin mulai membuka percakapan. Nada suaranya begitu dingin dan sangat menakutkan.
Sebelum menjawab pertanyaan Alvin, Clarissa menarik napas dalam dan mengembuskan secara perlahan. "Seperti yang aku katakan tadi. Aku bertemu seseorang di sebuah restoran. Setelah itu memutuskan 'tuk tidak kembali ke kantor, karena aku ingin memanjakan diri setelah--"
"Setelah tiga bulan lamanya terperangkap dalam permainan yang kamu buat sendiri dan saat dirimu terbebas, kamu memilih bersenang-senang karena merasa rencanamu telah berhasil, begitu?" sergah Alvin cepat. Sudah tahu jawaban apa yang akan diucapkan oleh Clarissa.
Clarissa menggigit bibir bawahnya pelan. Meremas jemari lentik wanita itu guna mengurai rasa gugup di dalam diri. Seharusnya ia sudah terbiasa melihat sikap dingin Alvin karena sudah lima tahun lamanya tinggal bersama keluarga Smith wanita itu tahu betul bagaimana sikap dan karakteristik pria paruh baya itu.
"Benar, Pa," jawab Clarissa singkat.
"Mau sampai kapan kamu menekuni peranmu sebagai seorang pelakor? Apakah kamu tidak lelah, membalaskan dendammu pada para pria yang sama sekali tak ada kaitannya dengan masa lalumu?"
"Setiap tiga bulan sekali meminta Jack mencarikan target empuk untuk dijadikan sasaran. Kemudian kalian berdua menyusun strategi, lalu menjalankan rencana sesuai dengan yang telah disepakati bersama."
Pria paruh baya itu bangkit dari kursi kebangaannya, melangkah mendekati Clarissa dan berdiri di samping putrinya. "Kamu ... tidak takut jikalau salah satu dari korbanmu menyusun rencana untuk membalaskan dendam atas rasa sakit hati yang telah ditorehkan kepadanya?"
Refleks, Clarissa mendongakan kepala. Lantas, iris coklat wanita muda itu menatap lekat iris abu-abu milik sang papa. Wanita itu terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Alvin. Selama ini ia tak pernah berpikir kalau para korbannya akan membalas dendam karena sakit hati telah menjadi target balas dendam wanita itu.
Devan berdecak kesal. Lalu, ia ikut menimpali perkataan Alvin. "Pa, Clarissa ini mana mungkin kepikiran sejauh itu. Di dalam pikiran dia hanya ada satu yaitu, bagaimana melampiaskan kemarahannya pada pasangan suami istri yang bermain api di belakang pasangan masing-masing tanpa memikirkan akibat yang 'kan dia tuai di kemudian hari."
"Kak Devan!" seru Clarissa seraya mendelik ke arah kakaknya.
Alih-alih diam, pria berusia tiga puluh tahun itu kembali berkata. "Memang itu kenyataannya, Cla. Kamu memang pintar, tetapi persiapanmu tidak matang."
"Kakak!" Clarissa sudah bersiap melayangkan sebuah kepalan lembut ke lengan Devan, tetapi suara lantang bernada tinggi mengurungkan niatannya itu.
"Stop! Papa tidak ingin mendengar kalian berdua bertengkar! Sudah dewasa tetapi bersikap seperti anak-anak saja." Lantas, dua bersaudara yang duduk di atas kursi empuk terdiam. Suasana kembali hening, tak ada yang berani berucap.
Alvin kembali duduk ke kursi kebanggaannya, menopang dagu menggunakan kedua punggung tangan. "Papa sudah berdiskusi dengan Kakak-mu dan kami sepakat untuk memindahkanmu ke Jakarta. Besok lusa, kamu kembali ke Jakarta bersama Papa. Segala urusan pekerjaan akan diserahkan kepada Dahlia. Dia 'kan menggantikan jabatanmu sebagai sekretaris."
"Di Jakarta nanti, setidaknya kamu aman karena kota itu terlalu luas dan kemungkinan 'tuk dilacak oleh para mantan kekasihmu kemungkinannya sangat kecil. Selain itu, di sana kamu pun dapat melancarkan kembali misi balas dendammu, sebab--"
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
⚘️💙⚘️ Neng Gemoy ⚘️💙⚘️
sebab ....
orang yg dulu menyakiti dirimu ada di sana .....
2023-02-11
0
yanktie ino
eyang mampir memberi semangat
mawar merah terkirim untukmu
2022-09-13
2
Lydia
Lanjut Author.... terima kasih 😀👍🏻
2022-09-09
1