“Kapan kamu mau mencari Estu ke kampung di balik gunung itu?” tanya Bu Desi pada Bagas yang sedang mengenakan sepatu kantornya.
“Hari ini Ma, bersama Banyu juga,” ucap Bagas, dia sebenarnya sudah putus asa.
“Pokoknya cari sampai ketemu, mau Estu masih hidup atau tidak, biar Mama tenang jika sudah jelas apa yang terjadi. Tapi Mama yakin dia masih hidup.”
“Iya, Ma, doakan saja,” ucap Bagas kemudian berpamitan untuk ke kantor.
Rencananya Bagas dengan Banyu, sore ini akan kembali ke Pulau Jawa, tepatnya ke daerah gunung yang mereka daki.
Saat kejadian tersebut keesokan harinya mereka mencari dengan tim SAR di area jatuhnya Estu dan disusuri hingga kemungkinan beberapa meter ke bawah. Namun, tidak ada jejak hilangnya Estu, baik itu baju yang tersangkut, jasad jika sudah meninggal atau tanda-tanda lain tidak ditemukan.
Hingga hari ketiga pencarian, Banyu dan Bagas memutuskan untuk pulang menceritakan keadaan kepada keluarga. Namun, orang tua Estu yakin bahwa dua masih bisa ditemukan. Makanya sebulan sekali Banyu dan Bagas selalu kembali ke daerah pegunungan tersebut untuk mencari Estu.
Hampir enam bulan ini, Bagas dan Banyu pulang pergi untuk mencari Estu, makanya mereka sebenarnya sudah lelah. Bukan lelah karena pulang pergi, tapi lelah belum menemukan titik cerah dan pesimis. Bisa saja Estu sudah dimakan binatang buas, karena ini sudah sangat lama dan tak ada jejak apa pun.
**#
Seperti biasa hari jumat Kinasih mencari kayu bakar bersama Deswita. Namun, saat baru beberapa jarak masuk ke hutan, Kinasih merasakan ada pergerakan yang tak biasa.
Kinasih, adalah penduduk asli di sana. Otomatis peka terhadap pergerakan yang asing, dia bisa membedakan mana pergerakan manusia dan hewan, pula pergerakan orang-orang penduduk asli dan bukan.
“Wi, tunggu deh, kayaknya ada orang lain di sini,” bisik Kinasih.
“Apa iya? Oh, itu ya?” tanya Deswita menunjuk ke pepohonan yang seperti bergerak-gerak, karena tersenggol banyak makhluk.
“Iya, kita sembunyi yuk!” ucap Kinasih.
Mereka berdua pun sembunyi, benar saja tak lama terlihat beberapa tim SAR yang menggunakan seragam dan beberapa orang lagi menggunakan pakaian bebas. Percakapan mereka memang tidak begitu dipahami oleh Kinasih. Namun, terdengar seperti mencari seseorang.
Kinasih langsung berpikir apakah mereka mencari Maruta? Ada rasa harus hati-hati pada diri Kinasih.
Setelah meyakini tim pencarian jauh dari area tempat Kinasih sembunyi, dia dan sahabatnya pun ke luar. Kinasih langsung mengajaknya pulang.
“Kita kan belum dapat banyak, Nas?” ucap Deswita.
“Tidak apa-apa, pulang aja. Gampang nanti kalau aku ke kota ngantar kue, bisa isi ulang gas,” ucap Kinasih dengan jalan terburu-buru.
**#
“Kamu sudah pulang?” tanya Maruta pada Kinasih, merasa heran.
“Iya,” ucap Kinasih singkat, sambil mengambil air minum lalu diteguknya.
“Kenapa? Sakit?” tanya Maruta menempelkan tangan pada kening Kinasih.
“Nggak apa-apa.”
“Kok kaya ketakutan gitu? Nemu hantu di hutan?”
“Enggak, tenang saja. Besok kalau kamu mau ke pasar, berangkat aja seperti biasa. Pesanan besok santai kok, tapi jangan lama-lama pulangnya,” ucap Kinasih yang langsung memegang pekerjaan lagi.
*##
Keesokan harinya saat pagi-pagi sekali jadwal Maruta ke pasar, Kinasih memberikan nasihat sebelum pergi.
“Mas, nanti jangan terlalu siang pulangnya, sampai jam delapan aja,” ucap Kinasih.
“Loh kok? Sayang loh dua jam lagi. Lumayan pembelinya,” respons Maruta.
“Nggak perlu, toh yang rame cuman subuh-subuh aja.”
“Kenapa? Kita harus konsisten loh dalam berjualan. Buka jam berapa, tutup jam berapa. Biar pelanggan kita tahu pasti. Siapa tahu ada pelanggan yang datang kesiangan, kan berharap kita masih buka, eh taunya udah tutup.”
“Udah, Mas, nurut aku aja.” Kinasih memaksa.
“Oke,” ucap Maruta menurut saja pada Kinasih, takut ngambek lagi.
Begitulah protektifnya Kinasih akhir-akhir ini, semenjak dia merasa curiga orang-orang yang menyisir hutan, tempat dia mencari kayu bakar. Hingga akhirnya Pak Karso memperhatikan gelagat Kinasih yang sepertinya semakin perhatian pada Maruta.
Pak Karso tidak tahu rasa gelisah dan ketakutannya Kinasih, jika sampai benar mereka adalah keluarga dari Maruta yang mencarinya.
“Nak, sini. Ayah mau bicara.” Pak Kardi ke dapur menghampiri Kinasih yang sedang membuat kue.
“Iya, Yah. Ada apa?” tanya Kinasih, dia tidak bisa melepas pekerjaannya karena banyak pesanan dan hanya dia yang mengerjakan dan dua temannya yang membantu, termasuk Deswita.
Pak Karso duduk di kursi dekat dengan Kinasih yang sedang mengolah kue, lalu berkata. “Apa kamu tidak ada niatan untuk berhubungan serius dengan Maruta?”
Kinasih yang tangannya sedang sibuk, langsung terdiam. Dia menatap ayahnya belum bisa mencerna dengan baik apa maksud dari ayahnya.
“Maksud Ayah, kalian sudah tinggal satu rumah selama enam bulan ini. Apa tidak sebaiknya diresmikan saja? Malu sama tetangga. Ayah sebagai ketua RT harusnya bisa lebih tegas untuk keamanan warga, termasuk keluarganya sendiri.”
“Maksud Ayah? Apa hubungan Kinasih dan Maruta? Terus diresmikan menikah?” tanya Kinasih memastikan maksud dari ayahnya.
“Iya, lagi pula di rumah kita tidak ada pria dewasa lagi selain Ayah. Ayah lihat akhir-akhir ini kamu sangat perhatian kepada Maruta. Apa tidak sebaiknya kalian menjalin ikatan yang lebih resmi?”
Kinasih terdiam, dia belum bisa menjawab pernyataan dari ayahnya. Namun Pak Karso terus bicara tentang karakter Maruta yang bisa menyesuaikan cukup bertanggung jawab dan santun.
Pak Karso tidak menyangka bahwa adanya Maruta akan membawa perubahan baik pada keluarganya, makanya dia ingin sekali menganggap Maruta sebagai bagian dari keluarganya, yaitu jalan satu-satunya adalah menikahkan dengan Kinasih .
Alasan Pak Karso berani berkata seperti itu pada Kinasih, juga karena melihat kedekatan mereka bukan akhir-akhir ini saja. Sudah sejak lama, seorang ayah melihat gelagat Kinasih dan Maruta.
Namun, lebih jelas lagi akhir-akhir ini Kinasih seperti bertindak pada suaminya, peduli terhadap aktivitas dan keadaan Maruta. Begitu pun dengan Maruta yang terlihat selalu mengalah pada Kinasih, karena tidak ingin di antara mereka ada pertengkaran.
Kinasih selama ini tidak menunjukkan rasa sukanya, karena takut saat Maruta pulih ingatannya, ternyata Kinasih dilupakan. Cepat atau lambat Maruta harus kembali pada kehidupan sebelumnya. Hal itu yang selalu membayangi Kinasih, bahkan saat beberapa gadis tetangganya berusaha mencari perhatian Maruta, Kinasih merasa kesal dan tak rela. Apalagi kalau Maruta pergi kembali ke keluarganya. Tidak dapat dibayangkan bagaimana nasibnya.
“Kita bahas nanti aja, Yah. Belum tentu Maruta juga setuju,” jawab Kinasih.
“Berarti kamu setuju dong?” tanya Pak Karso, meyakinkan.
“Bukan gitu juga, Yah. Kalau Kinasih ikut yang terbaik aja. Memang benar kita harus memperhatikan tetangga, jangan sampai ada nada-nada miring, tapi Kinasih juga tidak ingin menjadi alasan untuk Maruta menerima Kinasih dengan terpaksa.”
“Maksudnya terpaksa? Jika Maruta tidak mau, ya jangan kita lanjutkan.”
“Yah, Maruta itu pada dasarnya kita yang nolong, takutnya saat dia menerima apa yang Ayah sarankan, karena terpaksa untuk balas budi. Kinasih nggak mau hanya karena menghindari obrolan tetangga, Kinasih mengorbankan masa depan untuk menikah dengan seseorang bukan atas karena dasar suka. Begitu pun dengan Maruta terpaksa menerima Kinasih karena balas budi.”
“Baiklah, bisa Ayah terima penjelasan kamu. Nanti suatu saat Ayah bakal bicara kepada Maruta.”
“Bicara apa Yah? Jangan tentang pernikahan. Nanti dia jadi terpancing perasaannya merasa merepotkan keluarga kita, lalu dengan terpaksa mengiyakan dan menyetujui rencana Ayah,” cegah Kinasih merasa takut ayahnya berlebihan.
“Tidak, tenang saja. Ayah hanya akan mancing membahas rencana dia ke depannya. Dia juga sudah dewasa Kinasih, pasti berpikir, tidak mungkin akan terus bersama keluarga yang tidak ada ikatan darah sama sekali.
Sedangkan di dekatnya ada seorang gadis yang harus dijaga nama baiknya dari lingkungan. Tenang saja, Ayah tidak akan bicara sejelas ini seperti ke kamu. Kita lihat, Apa respons Maruta.”
“Terserah Ayah deh, asal jangan ngobrolin pernikahan.” Kinasih meyakinkan lagi.
Setelah ayahnya membahas tentang hubungan serius Kinasih dan Maruta, dari sana Kinasih terus merasa was-was. Ditambah tim pencarian yang sudah sampai ke Kampung Malikan, ditambah lagi sang ayah yang membahas pernikahan. Semakin berat antara melepaskan atau mengikat lebih erat, karena perasaan Kinasih semakin hari semakin tumbuh untuk memiliki Maruta dan tak ingin kehilangan.
**#
Sudah beberapa hari Maruta mengikuti apa kata Kinasih, dia pulang sebelum pukul sembilan, kemudian melanjutkan menunggu tokonya sambil beristirahat dan mengerjakan pesanan-pesanan untuk diantar.
Kinasih yang juga ada di toko bersama Maruta, dia melihat beberapa mobil melintas di depan rumahnya. Dadanya menjadi dag dig dug entah kenapa rasa takut itu selalu muncul, ketika melihat orang asing yang masuk ke desanya.
“Kenapa? Ada mobil kok, kamu bengong gitu? Pengen punya mobil?” tanya Maruta bernada bercanda, dia tidak mengerti perasaan Kinasih sesungguhnya.
“Enggak, Mas, siapa juga yang mau punya mobil. Perawatannya mahal.”
“Lah, itu kamu ngeliatin mobil lewat sampai segitunya.”
“Aku cuman pengen tau aja, kayaknya ada orang kota yang masuk ke kampung kita,” ucap Kinasih.
“Biarinlah, mungkin sanak saudara tetangga dari kota.”
Kinasih coba yakinkan dirinya apa yang dikatakan Maruta benar. Mungkin saja memang itu keluarga tetangga mereka dari kota yang berkunjung.
*##
Hari berikutnya Kinasih gelisah karena pukul sembilan pagi Maruta belum juga pulang, ditunggu sampai beberapa menit belum juga pulang. Kinasih menyusulnya ke pasar dengan sepeda yang ia miliki.
Kinasih sampai pasar pun dia tidak menemukan Maruta. Lalu bertanya kepada teman-temannya di pasar, katanya sudah pulang satu jam yang lalu, berarti Maruta pulang tepat waktu sebenarnya. Namun belum sampai ke rumah. Ke mana dia?
Kinasih kembali pulang, tapi selama perjalanan dia menoleh kanan kiri siapa tahu menemukan Maruta, mungkin sedang mengobrol sama tetangga lain atau ada perlu di tempat siapa, hingga sampai rumah dia tidak menemukan jejak Maruta. Namun dilihat dari sendal yang sudah ada di teras rumah, Kinasih yakin Maruta sudah pulang.
Tanpa menstandarkan sepedanya dengan baik, Kinasih masuk langsung mencari Maruta.
“Mas Maruta?” Kinasih mencari ke kamar, ke dapur tidak ada, dia langsung ke belakang ke kolam ikan.
Benar saja, Maruta di sana sedang membuka beberapa kue basi yang tidak laku, untuk diberikan pada ikan-ikan. Karena memang selama ini kue yang tidak laku selalu untuk makanan ikan, biar tidak Mundzir.
“Mas, dicariin juga. Dari mana sih?” tanya Kinasih bernada kesal.
“Hei, kenapa pulang-pulang marah?” Maruta masih bernada tenang. Malah suka dengan Kinasih yang sedang kesal.
“Aku nggak marah, cuman kesel aja. Ditungguin dari tadi, kan aku bilang kalau pulang jangan lewat jam sembilan,” oceh Kinasih, hal ini membuat Maruta merasa aneh, tidak biasanya Kinasih marah sampai ngomel seperti itu.
“Aku tadi merasa ingin pergi ke hutan itu, entah mengapa aku tertarik ingin melihat suasananya.”
“Apalagi ke sana, Mas jangan dulu ke mana-mana, bahaya.” Kinasih makin sewot, pipinya mengembung saking kesalnya pada pria yang selama ini terus dikhawatirkannya.
“Maksudnya bahaya?” Maruta bingung ke mana arah bicara Kinasih. Dia kini berdiri berhadapan dengan Kinasih.
“Iya, maksudku bahaya itu, nanti aku nyari ke mana-mana, sedangkan Mas ke sana. Aku jadi bingung, kan bahaya, Aku kesel pokoknya.”
Maruta sedikit tertawa menyimak ocehan Kinasih. Merasa lucu, wanita yang tingginya hampir sama dengan dirinya, tak jelas bicara apa. Yang Maruta simak, Kinasih seperti khawatir berlebih, was-was.
“Oh, jadi kalau kamu kesal bakal bahaya nanti? Aku jadi korban kemarahan kamu gitu?” tanya Maruta, malah seakan meledek Kinasih.
“Ya, gak gitu juga. Aku khawatir aja. Jadi aku kerjanya nggak tenang,” lirih Kinasih mulai memelan suaranya.
Maruta tersenyum penuh arti melihat gerakan Kinasih yang uring-uringan tidak jelas di depannya.
“Ih, malah ketawa. Orang lagi kesel juga,” ucap Kinasih memukul dada Maruta, kesal lagi.
“Hehe, habisnya kamu lucu marah-marahnya. Dulu aja aku pulang mau dzuhur, kamu nggak kenapa-napa, tapi sekarang kayak nungguin suaminya aja. Nah, sekarang aku udah pulang. Ada apa? Kangen ya?” Maruta makin meledek Kinasih.
“Emang orang khawatir nggak boleh? Kesel deh. Ih, kesel! Orang ngomong, ditanggapinya nggak serius.” Kinasih makin gemas malah dianggap bercandaan.
Maruta meraih tangan Kinasih menghentikan pukulannya. Namun, genggaman tangan Maruta tidak dilepaskan saat Kinasih berhenti memukulnya.
“Diam, tenang ... tarik napas. Coba lihat aku. Jangan membuang muka gitu,” ucap Maruta lembut, sambil membetulkan wajah Kinasih yang tidak berani menatap karena malu.
Maruta menyentuh dagu Kinasih, lalu diarahkan pada wajahnya agar lurus menatap dirinya.
“Seandainya kamu tahu, aku pun sedang kesal,” ucap Maruta, lirih dengan tatapan teduh.
Kinasih langsung menatap Maruta. Dia mencari jawaban pada sorot matanya.
“K-kesal kenapa?” tanya Kinasih agak terbata, tak kuasa melawan tatapan Estu.
“Kamu ingin tahu kesal kenapa?” tangan Maruta.
Kinasih menggeleng karena memang dia benar-benar tidak tahu, tatapannya sudah terkunci pada manik mata Maruta. Mereka saling pandang dan menyelami menikmati masing-masing rasa, mencari sebuah jawaban di antara mereka.
“Aku kesal karena hati ini tidak bisa tenang dan tidak bisa memutuskan. Apa rasanya ini? Sakit saat menolak bahwa kamu tidak mungkin aku miliki. Namun, senang rasanya saat aku yakin bisa memilikimu karena kita sangat dekat.
Akan tetapi, terpatahkan lagi dengan keadaanku yang tidak jelas identitas. Lalu hatiku merasa utuh lagi saat kamu selalu memberikan perhatian. Di situ aku sangat kesal, setiap hari mencari arah yang tepat untuk pilihan hatiku. Jadi, aku harus merasa senang atau sakit dengan kedekatan kita?”
“Kedekatan kita? Mak—” Ucapan Kinasih terpotong.
Maksud Maruta menghentikan ucapan Kinasih, dia tahu bahwa Kinasih masih kebingungan dengan apa yang diucapkannya.
“Aku mencintaimu, Kinasih. Aku ingin menjadi bagian dari hidupmu secara utuh. Aku memberanikan diri menyatakan perasaan ini di tengah takut kehilangan, di tengah krisis kepercayaan, di tengah bahagia sudah bisa bersamamu dalam waktu selama ini. Dan aku siap menerima apa pun atas jawabanmu.”
“Jadi, Mas—” Lagi-lagi Maruta menghentikan pertanyaan Kinasih.
Jari telunjuk Maruta disimpan di depan bibir Kinasih.
“Jika perkataanku yang panjang masih membuatmu bingung, maka akan aku persingkat,” lirih Maruta, kini mendekatkan wajahnya pada telinga Kinasih.
“Kinasih, malaikatku. Makhluk Tuhan yang ada di depanmu ini, yang tidak jelas identitasnya, sangat mencintaimu dan ingin menjalani hubungan lebih serius. Jika kau mengizinkan.”
Suasana di pinggir kolam itu hening, hanya terdengar gemericik ikan berebut kue-kue yang tadi Maruta lemparkan. Kinasih belum sanggup melepas tatapannya dari bola mata yang juga terus menatapnya lekat.
Tangan Kinasih yang berada dalam genggaman Maruta, pun masih di depan dada bekas pukulan kekesalan.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments