Donor darah

Anya sangat khawatir dengan kondisi yang dialami oleh Denis, timbul penyesalan di lubuk hatinya terdalam. Pria yang selalu dia ketuskan merupakan sang penyelamatnya tanpa menghiraukan nyawa.

"Denis, bangunlah! Aku berjanji tidak akan memarahimu lagi, tapi aku mohon untuk buka matamu." Desak Anya yang terus menggoyangkan tubuh pria yang sudah bergelimang darah. Tidak peduli mau sekeras apapun dia berusaha untuk membangunkan pria itu tak membuahkan hasil, Anya menelan rasa kekecewaan mendalam. 

Air mata menetes dengan derasnya, dimana dia tidak sanggup mendengar kabar buruk melihat dari kecelakaan yang membuat kepala pria yang pernah ditolongnya terluka cukup, terlihat dari kedua telapak tangannya menempel noda darah yang begitu kental dan terasa lengket. 

Anya melotot dan sangat terkejut saat melihat darah ada di mana-mana, dia merasa tabrak lari itu masih terjadi dan membuatnya sangat takut. "Denis, bukalah matamu! Bukankah selama ini aku memarahimu dalam setiap hal kecil saja? Ayo, marahi aku lagi dan aku akan diam tanpa melakukan perlawanan, sungguh." Janjinya seraya menarik sedikit kulit leher sebagai perjanjian yang dia lakukan.

Di rumah sakit, Anya terus mengawal kemana saja brankar itu berjalan. Mengikuti beberapa orang berbaju putih yang menangani Denis, hingga langkahnya terhenti di saat salah satu suster yang mencegah langkah kakinya. 

"Maaf, anda tidak bisa masuk ke dalam ruangan. Mohon menunggu di luar!" tegas suster yang ingin menutup pintu, namun langsung di cekal oleh Anya. 

"Suster, biarkan aku masuk kedalam dan berjanji tidak akan melakukan apapun. Aku mohon!" bujuk Anya sambil menyatukan kedua tangan dengan tatapan penuh harap bercampur dengan kesedihan.

"Maaf, kami tidak bisa melanggar prosedur yang telah ditetapkan oleh pihak rumah sakit. Jangan mengganggu pekerjaan kami!" tolak suster itu yang segera menutup kedua pintu, sementara Anya merasa kalau dirinya tidak berguna. 

"Biarkan aku masuk!" Anya pasrah dengan prosedur yang sudah ditetapkan oleh pihak rumah sakit, namun dia merasa dirinya harus menemani pria itu yang telah menyelamatkan nyawanya. 

Air mata terus terurai jatuh tanpa bisa dihentikan merasa kehilangan sesuatu yang ada di dalam hatinya, jangankan melihat mendengar kabar buruk saja dia tidak bisa dan berharap kalau itu tidak akan terjadi. 

Dia memutuskan untuk duduk di kursi tunggu menunggu berapa lama pun sampai dokter itu keluar dari dalam ruangan, hanya air mata yang menjadi temannya saat ini dan sesekali sesegukan. Dia merasa dirinya jatuh ke dalam lubang yang sangat gelap, bahkan tidak menyadari beberapa orang yang berlalu lalang di hadapannya. 

Sementara di dalam ruangan kondisi Denis cukup memprihatinkan, apalagi banyak darah yang keluar dengan terpaksa dokter harus melakukan transfusi darah. "Cepat carikan golongan darah AB!" titah sang dokter yang melirik suster sepersekian detik kemudian kembali menangani pasien. 

"Golongan AB di rumah sakit kosong, itu cukup sulit dicari karena termasuk langka, Dok."

"Segera cari golongan darah itu sebelum nyawa pasien tidak tertolong!" 

perintah dari dokter seraya dijalankan langsung oleh suster, keluar dengan tergesa-gesa dan mencari golongan darah AB. 

Anya yang sedang menundukkan kepala seakan mendapatkan amunisi di saat mendengar suara pintu yang berasal dari ruangan tempat tenis dirawat, Dia segera menghampiri suster. "Bagaimana kondisinya, Sus? Apa semuanya baik-baik saja?" 

"Untuk saat ini kami belum bisa memastikannya, apalagi pasien kekurangan banyak darah. Namun sayangnya golongan darah AB di rumah sakit tidak ada, saya permisi dulu!" jawab suster yang ingin berlalu pergi, tapi langkahnya terhenti di saat mendengar suara gadis itu.

"Ambil saja darah saya, Sus. Kebetulan golongan darah saya juga AB."

"Apa anda yakin?" 

"Tentu saja, dia telah berkorban untukku."

"Mari ikut saya untuk melakukan tes terlebih dahulu!" 

Anya segera menganggukkan kepala dan mengikuti wanita yang mengenakan baju putih itu, membawanya ke sebuah ruangan untuk mengecek darah apakah layak didonorkan atau tidak. Beruntung semua tes lolos dan dirinya bisa mendonorkan darahnya, sebenarnya dia takut akan jarum suntik tapi keadaan mendesak membuatnya tak berpikir dua kali. "Semoga saja dengan ini bisa disembuhkan," batinnya yang mengharapkan lebih.

Kedatangan Denis yang dulu dia pernah selamatkan begitu berpengaruh padanya, apalagi hari-hari yang terasa hampa dan juga sangat membosankan, kedatangan pria itu yang membuatnya sedikit berwarna. Anya juga mengingat bagaimana dirinya yang begitu rapuh, apalagi kejadian di masa lalu begitu membuatnya terpukul dan masih trauma. 

Tidak terasa air matanya mengalir melewati pelipis, kebersamaan yang saat itu mempunyai orang tua kandung dan juga lengkap begitu membuatnya sangat bahagia, namun hari-hari itu tidaklah bertahan lama dikala ayah dan ibunya bercerai di saat dia lulus sekolah menengah atas, begitu pahit kalau mengingat kejadian itu. 

Sekarang kedua orang tuanya telah mempunyai keluarga baru, ibu dan ayahnya juga pernah membujuknya untuk tinggal salah satu di antara mereka. Namun dia memutuskan untuk tinggal di rumah yang sederhana peninggalan dari neneknya, sudah beberapa tahun ini dia tidak lagi mendengar kabar dari keduanya, karena memang dia tidak ingin mendengarkan kabar itu. 

Perpisahan yang terjadi antara kedua orang tuanya akibat orang ketiga merusak keharmonisan keluarganya, dan berharap suatu hari nanti dia sukses dan membuktikan diri jika dia mampu untuk berdiri sendiri. "Kalian begitu kejam padaku, demi keegoisan masing-masing akulah yang menjadi korban di sini. Sekeras apapun kalian mencoba untuk membujukku, aku tidak akan ingin ikut ataupun memilih salah satu diantara kalian." Itulah kata terakhir yang pernah diucapkan kepada kedua orang tuanya, dia langsung memutuskan untuk pergi mencari pekerjaan setelah lulus sekolah menengah atas. 

Ijazah yang didapatkan hanya dari sekolah menengah atas tidaklah cukup untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, dia hanya bisa bekerja di swalayan, di cafe, maupun pekerjaan paruh waktu lainnya. Kehidupan yang serba kekurangan membuatnya mundur dengan keputusan yang sudah bulat, apalagi sang ibu pernah memergokinya bekerja di cafe dan mengajaknya untuk tinggal bersama. Anya menolak hal itu dengan kesombongan hatinya, akibat rasa terluka yang ditorehkan begitu dalam. 

Pendonoran darah telah selesai sekarang sang dokter mulai bekerja dan menangani pasien dengan sebaik mungkin, dengan keadaan yang lemas hanya tetap berjalan dan menunggu di luar ruangan, berharap kalau darahnya bisa menyembuhkan pria itu. 

Beberapa saat kemudian dokter segera keluar dari bangsal, dan menghampirinya sebagai perwakilan untuk pasien. "Apa anda keluarga pasien?" 

"Saya temannya, bagaimana kondisi Denis, Dok?" 

"Syukurlah kalau keadaan pasien telah melewati masa kritis, hanya menunggu kepulihan nya saja."

"Apa saya bisa menjenguknya sekarang?" tanya Anya, dengan cepat dokter itu menganggukkan kepala.

"Silahkan, saya pamit undur diri dulu." 

Anya segera masuk ke dalam ruangan dan melihat seorang pria yang terbaring lemah di atas brankar rumah sakit, memperhatikan raut wajah yang pucat dan belum sadarkan diri membuatnya sedikit khawatir. 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!