Hujan turun dengan sangat deras, membasahi bumi diiringi oleh kilatan petir yang menyambar. Dua orang yang terjebak kehujanan dan tidak membawa jas hujan atau payung, keduanya terjebak di depan ruko kosong. Angin yang berhembus semakin menyejukkan kulit, Anya memeluk dirinya sendiri untuk menghangatkan tubuh.
"Astaga…kapan hujan ini akan reda?" lirih Anya yang melihat derasnya hujan dan suara kilatan petir memekakkan telinganya.
"Seperti cukup lama," sahut Denis yang sedang menggosok-gosokkan kedua telapak tangan dan segera menempelkannya di kedua sisi lehernya.
"Apa aku sedang bertanya padamu?" Anya menatap Denis dengan sinis, entah mengapa dia selalu saja ingin berperang dengan pria itu.
"Kenapa kamu selalu saja ketus begitu?" tanya Denis.
"Karena ini sudah satu bulan kamu menginap di rumahku, selama itu pula aku tidak bisa hidup berhemat. Kau selalu saja meminta ini dan itu membuat kepalaku pusing."
Denis hanya membalas dengan cengengesan saja, akhir-akhir ini dia banyak menuntut seperti ibu hamil yang mengidam. Keuangan dan kesulitan ekonomi membuat Anya hampir berteriak karena ulahnya yang meminjam hanya untuk keperluan perut saja.
"Aku sudah mencatat segalanya di buku catatan, kamu tidak akan bisa mengelak lagi. Setelah mendapatkan uang gaji pertamamu, kau boleh pergi dari rumahku. Tetangga selalu saja menggosip, mereka mengira kalau aku dan kau berperilaku tercelah."
"Jangan di dengar apa perkataan mereka."
"Tapi perkataan mereka membuat kupingku sakit, ku harap kau mengerti. Segera cari kontrakan atau kost, dimana kita berdua tidak dikira berperilaku menyimpang."
"Baiklah. Terima kasih karena kamu sudah menolongku, walaupun aku belum mengingat siapa diriku yang sebenarnya."
"Kamu tenang saja, aku tidak sekejam itu untuk mengusirmu. Hanya sebuah ancaman kecil saja, aku masih berbaik hati dan sudah berjanji pada diriku yang akan membantu mu memulihkan ingatan mu yang hilang, setelah kau kembali pada keluargamu barulah aku tenang." Terang Anya yang tersenyum karena berhasil membuat pria tampan itu tersenyum kecut padanya.
"Hah, apa kau yakin kalau aku akan mengingat segalanya? Ini sudah satu bulan lamanya tetapi aku belum mengingat satupun kejadian dan bahkan identitasku."
"Jangan berputus asa, aku akan berusaha untuk membantumu. Mungkin saja keluargamu tengah mencari keberadaanmu yang hilang."
Obrolan yang berkepanjangan tanpa sadar hujan telah berhenti dan sedikit reda, hanya rintik-rintik kecil yang membasahi permukaan. "Hujan sudah reda, bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan?" ide Anya yang bersemangat ingin mengganti pakaiannya yang basah akibat terciprat genangan air.
"Ini masih hujan."
"Sudah hampir dua jam kita terjebak disini, aku sangat lapar." Ungkap Anya sambil memegang perutnya yang kosong dan terasa melilit.
"Jadi kau lapar?" tanya Denis meyakinkan pendengarannya tidak salah, dengan cepat mendapatkan anggukan kepala dari Anya. "Hem, kau tunggu disini! Aku akan segera kembali."
"Denis! Kau mau kemana?" pekik Anya yang memanggil nama pria tampan itu yang telah menjauh, menerobos hujan rintik-rintik yang bisa saja membuat kondisi tidak fit di kala menerobosnya tanpa perlindungan. "Dia mau kemana? Bagaimana kalau dirinya sakit?" batinnya yang menjadi cemas, apalagi keuangannya yang sudah habis.
Beberapa saat kemudian, Denis datang dengan membawa dua gelas mie cup yang sudah diberi bumbu dan air hangat, segelas air mineral untuk penghilang rasa dahaga. "Maaf, aku hanya bisa mentraktirmu ini."
"Hem, tidak masalah. Mie cup itu cukup untuk mengganjal perut yang lapar, kenapa kau pergi menerobos rintik-rintik hujan? Bagaimana kalau kau sakit?"
"Kau mencemaskanku?" cercah Denis yang mendongakkan kepala sembari menatap lekat wajah gadis itu dengan senyuman khas miliknya.
"Karena aku tidak ingin mengeluarkan uang sepeserpun, aku cukup dirugikan." Jawab Anya yang menutupi kecemasannya, gengsi menjadi pemicu permasalahannya.
"Hem, baiklah. Anggap saja kalau aku percaya," Denis mengangguk-anggukan kepala, namun seketika itu pula dia bersin membuat Anya khawatir.
"Kamu demam?" ucap Anya setelah memeriksa suhu tubuh pria itu lewat cara kuno dengan menempelkan telapak tangan di dahi.
"Ini hanya demam biasa, kamu tidak perlu cemas."
"Tentu saja aku cemas, habiskan makananmu karena hujan sudah reda!"
"Baik, tuan putri."
Suhu tubuh Denis semakin tinggi, membuatnya begitu khawatir. Tidak ada cara lain selain menempelkan handuk kecil yang sebelumnya telah dibersihkan dengan air hangat untuk mengurangi suhu tubuh.
Sekarang mereka ada di rumah, Anya merawat pria itu sepanjang malam karena demam tinggi yang belum kunjung turun, apalagi dia tidak punya uang untuk membawa Denis ke dokter. "Ya Tuhan, demamnya sangat tinggi sekali!" monolognya yang terus mengompres dahi pria itu dan berharap suhu panas turun.
Di larut malam, tanpa lelah Anya mengompres dan membuatnya begitu mengantuk. Berusaha untuk menahannya, hingga rasa kantuk tak bisa di hindari lagi. Kini dirinya tertidur dalam posisi duduk dan kepala di sisi sofa berdekatan dengan wajah Denis.
Denis terbangun, merasakan panas di tubuhnya berangsur turun. Dia tersenyum saat melihat wajah Anya yang terlelap, segera menyingkap selimut dan menggendong gadis itu ke kamar, membaringkannya dengan penuh hati-hati.
Di pagi hari, Anya terbangun dan kondisinya berada di kamar, segera memeriksa tubuhnya yang masih lengkap dengan pakaian. Tapi dia merasakan sedikit kejanggalan saat tangan seseorang melingkar di pinggangnya, dengan cepat dia berbalik dan sangat terkejut melihat Denis yang tidur di sebelahnya.
"Jangan berteriak, aku tidak melakukan apapun padamu." Ucap Denis seakan mengerti tindakan Anya selanjutnya, tanpa berniat untuk membuka matanya.
"Kenapa kau ada disini?"
"Aku kasihan melihatmu yang tertidur seperti itu, dan menggendongmu ke sini. Saat aku pergi, tanganmu mencekal tanganku dan terjadilah seperti ini. Aku terpaksa tidur di sebelahmu walau ranjang ini sangatlah sempit dan tidak nyaman." Terang Denis yang perlahan membuka matanya, menatap Anya yang menjauh ke sudut ranjang. "Ck, sudah aku katakan. Aku tidak melakukan hal itu padamu, kalau tidak percaya kau bisa memeriksa keperawanan mu, itupun kalau kau perawan."
Spontan Anya menendang tubuh Denis hingga tersungkur di atas lantai dan terjatuh dengan cara tidak etis. "Sial, aku masih perawan!"
"Oh ya, aku ingin lihat."
"Jangan bodoh, aku hanya memperhatikan dan memberikan keperawananku hanya pada suamiku saja. Dan kau? Siapa kau memangnya?"
"Lupakan saja, aku lapar. Kau ingin makan nasi goreng buatanku?" tawar Denis yang bersemangat.
"Memang kau bisa?"
"Tentu saja."
Denis segera berjalan menuju dapur setelah mencuci wajah juga menggosok gigi, mulai berfokus memotong sayuran pelengkap dan juga bumbu yang akan digiling. Dia begitu bersemangat hingga tangannya terluka, membuat Anya datang menghampiri.
"Hah, kau ini selalu saja heboh."
"Aku terluka."
"Hanya luka kecil saja." Anya segera mengambil kain yang sudah di koyakkan dan membalutnya dengan begitu piawai.
"Apa tidak ada plester atau perban untuk ini?"
"Aku rakyat jelata, kau seperti orang kaya saja. Kenapa tidak sekalian menyebutkan dokter?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments