Di sebuah warung kopi,
Ada tiga bapak-bapak yang sedang bersantai, berbincang ngalor ngidul tak tentu arah, sambil menikmati kopi yang mereka pesan. Di tambah dengan gorengan yang tersedia di piring.
Di antara mereka bertiga, salah satunya adalah kang Wahid.
"Sekarang Jamal benar-benar sudah berubah ya. Dia sudah kaya, melebihi kang Kasan yang dulu!"
Perbincangan mereka akhirnya merembet ke arah Jamal. Yang sekarang ini memang sudah banyak berubah, baik secara materi maupun penampilannya.
"Ya begitulah roda kehidupan ini kang," sahut kang Wahid memaklumi kondisi Jamal yang sekarang.
"Iya-iya. Gak nyangka lho dengan perubahan Jamal. Padahal, dia itu kan gak pergi kerja ke kota. Sama seperti yang dilakukan oleh beberapa pemuda di desa G ini. Termasuk di Hendra itu kan, anaknya kang Kasan."
"Iya. Jamal gak pergi ke kota, karena dilarang Umi. Ami nya Jamal gak mau, anaknya itu kerja jauh-jauh. Mungkin ini karena Jamal patuh dan berbakti pada Umi. Jadi, diberikan kesuksesan dari Tuhan."
Mereka bertiga, di tambah pemilik warung kopi, menganggukkan kepalanya. Mengiyakan perkataan dari orang yang memberikan pandangannya tentang perubahannya Jamal.
"Tapi, kenapa Jamal gak kawin-mawin juga? Padahal udah sukses. Gak mungkin ada gadis yang menolaknya kan?"
"Wah, iya juga ya. Kenapa dia gak kawin-mawin?'
"Mungkin belum nemu yang cocok," tebak salah satu dari mereka.
"Kalau dia belum punya calon, coba tak ajak kenalan dengan ponakan ku. Baru lulus SMA."
Salah satu dari mereka, justru punya rencana untuk menjodohkan Jamal dengan keponakannya.
"Wah, lha iku! Coba aja, siapa tau cocok."
"Atau anakmu kang Wahid?"
"Wah, lha anakku aja masih SMP. Kasian lah, masih kecil!"
"Hahaha... siapa tahu, Kamu pengen punya mantu sukses kayak Jamal itu!"
"Ya kalau pengen ya pengen. Tapi gak lah, biar anakku belajar dulu. Nek emang jodoh, gak akan ke mana juga."
Pembicaraan mereka akhirnya merembet juga ke kang Kasan, yang kondisi kesehatan dan mentalnya jadi ikut terganggu. Karena tekanan demi tekanan hidupnya yang seperti tidak ada habisnya.
Bahkan, semua sawah dan kebun milik kang Kasan, sudah habis di jual. Tinggal rumah saja, yang dia tempati itu yang tertinggal.
"Gara-gara salah asuh itu si Sholeh, malah menghancurkan kehidupan bapaknya. Dan si Hendra, juga jarang pulang. Padahal dengar-dengar mau kawin dia, dengan cewek kota. Tapi gak tau juga sih, asal usul ceweknya itu dari daerah mana."
"Iya juga ya. Di kota itu, banyak pendatang juga. Kita gak tahu dari mana mereka berasal. Bagaimana keadaan keluarganya juga."
"Itu, jika keluarga ceweknya Hendra tau keadaan bapaknya, apa masih mau menikah dengan Hendra?"
"Ehemmm!"
Deheman yang jelas jika disengaja, membuat ketiga laki-laki tersebut terdiam. Karena orang yang baru saja datang dan berdehem tadi adalah kang Kasan.
"Wes, gak usah membicarakan tentang keluargaku. Aku juga gak mau seperti ini. Semua ini nasib. Aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Semua sudah Aku usahakan. Tapi nyatanya, Sholeh tidak bisa disembuhkan dengan cepat."
Yang kain hanya bisa menunduk. Di saat mendengar perkataan kang Kasan yang terdengar putus asa.
"Aku ya menyesal juga, karena dulu sudah menghina Jamal. Jika dia tidak bisa mengubah nasibnya, kalau gak pergi ke kota kayak Hendra."
"Nyatanya, justru Jamal yang sukses di desanya sendiri sebagai petani. Sedangkan anakku, di Hendra, entah bagaimana keadaannya di sana."
Kang Kasan mengatakan isi hatinya dengan tatapan kosong.
Dia menyesali semua perbuatan dan perkataan yang dulu dia ucapkan.
*****
Di rumah Jamal.
Pak RT datang untuk transaksi yang akan dia lakukan bersama dengan Jamal. Terkait dengan kebun yang dua jual.
Kebun itu terletak di depan rumah Jamal sendiri, yang rencananya akan dijadikannya sebagai kebun jeruk juga.
"Jadi ini surat-surat tanahnya. Ini hak milik lho Mal, Umi. Bukan tanah desa. Hehehe..."
"Ah, pak RT ini ada-ada saja. Jika pak RT mau jual tanah desa, apa mau masuk penjara?" tanya Umi, yang memang seumuran dengan pak RT.
Tak butuh waktu lama, transaksi diselesaikan oleh Jamal. Dengan mentransfer sejumlah uang yang disepakati bersama, untuk harga kebun tersebut.
"Ini uangnya sudah Saya kirimkan ke no rekening pak RT. Ini buktinya nanti Saya kirim ke WA. Biar semuanya juga jelas."
"Wah, makasih lho Mal. Ini Kamu mau beli dengan harga yang cocok. Aku bisa tenang, karena Kamu juga bisa memanfaatkan kebun tersebut nantinya."
Pak RT mengatakan semua itu karena, selama ini kebun miliknya hanya ditanami singkong dan pisang seadanya. Tidak terawat dengan baik, karena dua dan istrinya juga banyak kesibukan yang harus mereka kerjakan.
"Iya Pak, sama-sama."
"Nanti, selain untuk kebun jeruk, akan Jamal gunakan juga untuk pengolahan sari jeruk. Biar diproses sebagai minuman gitu lho Pak. Jan aman, gak perlu terbuang karena busuk akibat lama gak dibeli orang."
Mendengar penjelasan yang diberikan oleh Jamal, pak RT semakin kagum dengan anak muda di depannya ini.
Padahal dulunya, Jamal itu adalah anak yang kurang pintar, pemalu dan pendiam.
Tapi kini, ide-ide yang tidak biasa, bisa dia rencanakan begitu bagusnya. Tidak hanya sekedar untuk menjadi petani biasa, sama seperti warga desa lainnya.
"Bagus itu Mal. Siapa tau, usahamu itu akan berkembang menjadi sebuah pabrik minuman yang terkenal suatu hari nanti."
"Aamiin..."
"Aamiin..."
Jamal dan Umi, mengamini perkataan yang diucapkan oleh pak RT. Untuk rencana Jamal kedepannya nanti.
"Ya sudah ya, Aku tak pulang dulu. Urusan ini sudah selesai. Jika ada sesuatu yang terjadi, Kamu bisa meminta tolong padaku Mal, jangan sungkan."
"Iya pak RT. Terima kasih," ucap Jamal, sambil menyalami tangan pak RT yang pamit pulang.
Beberapa saat kemudian.
"Assalamualaikum..."
"Mas Jamal, Mas! Mas Jamal!"
Indah, adiknya Lina tergesa-gesa di saat baru saja turun dari atas motor.
Wajahnya tampak gugup dan cemas.
"Waallaikumsalam..."
Jamal dan Umi, menjawab salam yang diucapkan oleh Indah.
"Lho, ini Indah kan?" tanya Umi, yang tidak bisa mengenali Indah dengan jelas. Karena memang jarang bertemu.
"Iya Ami," jawab Indah dengan menyalami tangan Umi.
"Ada apa, kok seperti terburu-buru?" tanya Umi lagi, karena memang Indah sedang terburu-buru.
"Itu Ami, mas Jamal. Emhhh... Mbak Lina, Mbak Lina..."
Jamal mengerutkan keningnya, mendengar perkataan Indah yang terputus-putus. Sehingga tidak jelas dalam menyampaikan sesuatu tentang Lina.
Dia memang tidak bertanya apapun sedari tadi. Karena dia sudah bertekad untuk melupakan Lina dari hatinya.
"Mbak Lina, Mbak Lina kecelakaan."
"Lho, kok ke sini Kamu kasih kabar? Bukannya ke rumah, kasih tau ibu sama bapakmu?"
Umi bertanya dengan heran, mendengar jawaban yang diberikan oleh Indah tentang kondisi Lina.
"Ibu sama bapak sudah ada di rumah sakit. Nungguin Mbak Lina. Tapi, dalam keadaan tidak sadar, mbak Lina menyebut nama Mas Jamal terus Ami!"
Deg!
Jamal pun merasa tidak nyaman dengan keadaan hatinya sendiri, saat mendengar berita tentang keadaan Lina
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Growned
Tidak bisa membohongi perasaan
2022-12-09
2
Nurul
Astaga, lu juga jangan ikut jantungan mal
2022-10-19
2
Nurul
Papan catur nya ketinggalan itu😁
2022-10-19
0