Tiga hari berturut-turut, kang Kasan datang ke rumah Jamal. Dia mendesak Umi, Ami nya Jamal, supaya menerima tawarannya yang kemarin dia ajukan.
Yaitu mengajak Umi untuk menikah dengannya.
Jamal sebenarnya tidak terlalu terkesan dengan cara kang Kasan. Tapi karena mereka sudah lama bertetangga dengan baik, Jamal pun hanya menyerahkan keputusan tersebut pada Ami nya.
"Jamal terserah Ami pak Dhe. Kan yang menjalani pernikahan itu Ami."
Kang Kasan, yang biasa di panggil pak Dhe oleh Jamal, mendesak supaya Jamal bicara dengan Ami nya. Meminta Jamal untuk mempengaruhi Umi, agar menerima lamarannya.
"Ck! Kamu kan anak satu-satunya. Pasti Ami mu itu nurutin kemauan Kamu Mal," ujar kang Kasan mendesak lagi.
"Hemmm... tapi Ami pernah bilang, jika dia tidak mau menikah lagi pak Dhe. Apa itu sama dengan sebuah janji?" tanya Jamal, meminta penjelasan dari kang Kasan.
"Itu kan dulu. Waktu ayah mu baru saja meninggal dunia. Sekarang udah lama kan?" Kang Kasan justru membuat Jamal jadi bingung. Karena setahu dia, sebuah janji haruslah ditepati.
"Ayo lah Mal... bilang sama Ami Kamu ya!" Kang Kasan, kembali mendesak Jamal.
Tapi Jamal tetap kekeh. Untuk tidak ikut campur dalam keputusan yang akan diambil oleh Ami nya.
Jawaban dan sikap Jamal ini, membuat kang Kasan kecewa. Dia pun akhirnya pamit pulang, tanpa berpamitan pada Umi.
"Ya sudah. Aku pulang dulu!"
"Gak nunggu Ami pak Dhe?" tanya Jamal mengingatkan.
"Gak!" ketus kang Kasan, sambil berlalu.
Jamal hanya menggelengkan kepalanya, melihat tingkah laku bapaknya Hendra.
"Oh iya, Hendra apa sudah kembali ke kota ya? Tapi, biasanya dia akan pamit ke sini. Jika mau kembali ke kota. Ini belum ada datang. Pasti belum pergi dia," gumam Jamal, yang sedang memikirkan anaknya kang Kasan.
Temannya yang kemarin sudah bersandiwara dengan Lina. Untuk mengacaukan pikiran dan perasaannya.
"Hhh... sudahlah. Aku juga tidak mau memperkeruh suasana. Biarkan jodoh kapan datangnya. Masa iya Aku gak punya jodoh? Sedangkan sandal jepit ini aja ada pasangannya."
"Hehehe..."
Jamal terkekeh sendiri, saat sadar dengan tingkahnya tidak biasa. Dia pun akhirnya mengelengkan kepalanya beberapa kali, membuang pikirannya sendiri tetang Hendra dan juga Lina.
"Mal, Jamal!"
"Ya Ami!"
Dari dalam rumah, Umi memanggil anaknya.
"Ada apa Ami?" tanya Jamal, begitu dua tiba di hadapan Ami nya.
"Itu lho. Tadi Ami kan udah petik semua jeruk yang sudah mateng. Ini sebaiknya di jual ke mana?" tanya Umi, memperlihatkan satu keranjang belanjaan, yang biasa dia gunakan untuk pergi belanja di pasar. Penuh dengan buah jeruk yang segar.
"Emhhh... kita nitip ke warung-warung saya dulu Ami. Kan ini tidak terlalu banyak. Besok-besok, jika ada banyak, biar bakul buah yang datang memanennya."
Umi pun mengangguk setuju dengan usulan Jamal. Sekarang, dia akan pergi untuk menitipkan jeruk-jeruk tersebut ke warung-warung yang ada di desa G.
Desa tempat tinggalnya ini, juga tidak ada yang mempunyai pohon jeruk. Baru dia saja yang punya.
Dan kebetulan, pohon jeruk nya juga berbuah lebat.
Jamal dan Ami, sudah mencoba memakan buah jeruk tersebut. Beberapa tetangga, juga sudah diberi.
Kata mereka, buahnya manis dan segar.
Sama seperti buah pada umumnya di pasar. Bedanya, jeruk nya Jamal tidak ada bijinya. Sehingga lebih mudah untuk dinikmati anak kecil, yang biasanya tidak suka buah dengan adanya biji di dalamnya.
"Biar Jamal bantu Ami," kata Jamal, yang mengangkat keranjang berisi jeruk.
Umi hanya mengangguk saja. Membiarkan anaknya itu melakukan pekerjaan yang diinginkan. Karena membantu dirinya, untuk menitipkan jeruk-jeruk tersebut ke warung-warung.
*****
Dua jam kemudian, di saat Jamal pulang bersama dengan Ami nya.
"Jamal! Ini apa yang terjadi Mal?" Umi panik, karena melihat keadaan rumah nya dengan pintu terbuka lebar.
Dia ingat betul, pada saat pergi bersama dengan Jamal tadi, pintu rumah sudah dia kunci dengan baik dan benar.
Tapi sekarang, pintu rumah sudah terbuka. Beberapa barang di rumah, juga tampak berserakan. Persis seperti rumah yang sedang di obrak-abrik.
"Kita periksa Ami. Jika tidak ada yang hilang, kita diam saja. Tapi jika ada sesuatu yang hilang, baru kita lapor pada pak RT."
Umi mengangguk mengiyakan perkataan anaknya. Dia berjalan menuju ke kamarnya sendiri, memeriksa keadaan di dalamnya. Karena sudah menjadi kebiasaannya selama ini, jika menyimpan uang atau barang-barang berharga lainnya di dalam kamar.
"Mal! Jamal!"
Terdengar suara Umi yang panik saat memanggil nama anaknya.
"Ada apa Ami? Apa ada yang hilang?"
Dengan cepat, Jamal menyusul Ami nya ke dalam kamar. Dia juga ingin tahu, apa yang terjadi di dalam kamar Ami nya.
Jamal melihat keadaan kamar Ami nya yang berantakan juga. Bahkan, pakaian di dalam lemari juga berhamburan keluar. Sedangkan kasur Ami nya, juga tergulung dengan sembarangan.
"Ini perampokan, pencurian atau apa Ami?"
"Masa terang benderang begini masuk ke dalam rumah orang tanpa ada rada takut?"
Pertanyaan demi pertanyaan muncul di dalam hatinya Jamal. Dia mengajukan pertanyaan kepada Ami nya. Yang tentu saja, tidak bisa dijawab oleh Ami nya juga.
"Coba periksa surat tanah dan sawah Ami. Masih ada gak di tempatnya!"
Umi mengambil sesuatu dari bawah lemari pakaian. Kotak besi yang tampak berdebu, masih utuh dan tidak ada jejak terjamah oleh siapapun.
"Alhamdulillah... Aman Mal."
Sekarang, Jamal dan Umi memiliki prasangka, jika orang yang masuk ke dalam rumah nya ini mengincar surat-surat berharga tersebut.
Tapi karena tidak menemukannya, akhirnya orang itu mencarinya dengan emosi. Sehingga mengamuk apa saja yang dia temukan.
"Untungnya orang jahat itu gak tau keberadaan kotak besi ini ya Mal. Kalau sampai dia mencurinya, bisa kita yang rugi. Huhfff..." Umi membuang nafas lega, karena surat tanah dan sawah masih akan dan tidak dicuri orang.
"Kok bisa kita rugi Ami? kan dia gak mungkin jual, karena gak ada pihak kita sebagai orang yang punya nama di surat-surat tersebut."
"Bisa saja surat-surat berharga ini di gadaikan Jamal. Jika jatuh tempo, pihak pegadaian akan menagih ke rumah kita. Meskipun bukan kita yang mengadaikan, mau tidak mau kita harus menembusnya. Karena jika tidak, tanah dan sawah akan dilelang oleh pihak pegadaian."
"Kita gak punya bukti untuk menyangkalnya. Karena surat-surat tersebut nyatanya ada pada pihak pegadaian. Rugi kan kita?"
Mendengar penjelasan yang diberikan oleh Ami nya, Jamal menganggukkan kepala. Sekarang dia mengerti, kenapa Ami nya itu menyimpan semua surat-surat tersebut dengan baik dan aman.
"Kita ini tidak punya siapa-siapa. Tidak punya apa-apa. Jadi, harus berhati-hati sendiri untuk keselamatan hidup kita Jamal."
Jamal kembali menganggukkan kepalanya, paham dengan apa yang dikatakan oleh Ami nya.
Dan sekarang, mereka berdua mulai membereskan semua kekacauan yang terjadi di rumah mereka ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Deki Marsoni
👍👍👍👍👍👍👍
2024-04-08
0
Yoni Hartati
kayanya kerjaan bapa nya hendra
2023-04-25
1
lina
si kasan itu yg obrak abrik kamar ami
2022-10-16
4