Saya merasa janggal ketika meninggalkan ayah dan Direktur berdua saja. Ekspresi dari Direktur tidak bagus dan sementara itu dia sangat ketakutan seperti ditimpa oleh sebuah teror yang mengerikan. Saya dan Yohan berjalan di koridor menuju tempat poster pengumuman di tempelkan.
Ini mendebarkan saya tidak yakin bisa tenang saat ini karena kaki saya saja sudah terasa lemas mengingat akan melihat hasilnya.
Yohan yang sedari tadi diam di sebelah saya memulai membuka mulutnya.
“Tingkah ayah dari tadi aneh. Seperti bukan ayah yang biasanya ketika dia berhadapan dengan wanita Direktur itu.”
Itu ada benarnya. Jika dia merasakan ada kecurigaan seperti ada rahasia di antara mereka, kami sebagai anak juga penasaran. Yohan yang berpikir keras di sebelah saya ingin menemukan sesuatu namun dia berakhir tidak mendapatkan apapun dan menghela napas.
“Bagaimana menurutmu Al?”
“Hm? Apanya?”
“Tentang tingkah Direktur saat memeriksa kita. Apa kau juga merasakan sesuatu saat itu, seperti ada sesuatu yang menyengat ketika Direktur menyentuhmu?”
Ah, tentang itu. Tidak bisa dipungkiri ini kesalahan monitor. Saya ingin bilang begitu dan meminta maaf. Tetapi situasi saya tidak mengizinkannya. Jadi saya diam-diam mengalihkan perhatian dan berpura-pura tidak mengetahui apapun.
“Mhm, entahlah. Itu berakhir dengan cepat jadi aku tidak terlalu tahu.”
“... Begitu.” akhirnya Yohan memaklumi ini dan menjadi diam lagi dan menyudahi pemikirannya dengan melihat ke depan.
Sudah berapa lama? Kami sudah ada di depan tempat pengumuman dipajang, sekarang suasana tidak seramai seperti pasar malam dan tidak ada orang di sekitar kami selain saya, Yohan, dan...
Saya memindai sekitar dan hanya itu, tetapi saya tidak menyangka akan salah menghitung. Tidak hanya ada saya, namun ada pria lain yang sedang melihat juga papan pengumuman, namun bukan bagian pengumuman hasil ujian melainkan penilaian dan Ranking.
Saya melihatnya, merasa aneh seperti saya pernah melihatnya entah dimana. Begitu saya ingat dengan jelas, ternyata pria itu adalah pria yang membantu saya menemukan jalan untuk menuju ke tempat praktik Yohan.
Ah! Dia melihat ke saya...
Saat itu tingkahnya menjadi aneh. Dia sedih ketika melihat Rankingnya dan saat dia menyadari keberadaan saya dia menjadi salah tingkah dan gugup. Saya menundukkan kepala saya padanya untuk bertingkah sopan, karena sepertinya dia senior di sini.
Tetapi, dia membuang muka begitu saja dan langsung pergi dari tempat ini dengan jalan cepat.
Saya tidak tahu apa yang terjadi. Tapi, entah kenapa saya merasa tersinggung dan benci tipe orang seperti itu. Seperti dia menjauh dari dunia masyarakat untuk bersosialisasi. Padahal aku sudah sopan.
Karena itu bukan urusan saya dan mungkin saya tidak akan bertemu dia lagi, saya mengabaikannya.
Yohan sudah melihat hasilnya terlebih dahulu, sementara saya ketinggalan karena fokus saya pada yang lain. Lalu tangan Yohan menarik kerah lengan saya kencang.
Itu mengagetkan dan saya berbicara. “Ada apa?”
Gerakan bibir Yohan gemetar. “L-Lihatlah!”
Dengan itu saya yang penasaran dengan apa yang dia tunjuk, saya juga melihat itu. Dengan menyipitkan mata dan dengan cermati saya memindai ratusan nama dari bawah ke atas di hasil ujian praktik. Terus dan terus ke atas namun saya tidak berhasil menemukannya.
Terakhir, retina saya naik hingga ke ujung dan berhasil menemukan apa yang saya inginkan. Itu nama Yohan!
— Peringkat 1 terbaik. Peserta No. 0344 Yohan Raven.
Saya segera melihat wajah Yohan, raut wajahnya terdistorsi dengan perasaan campur aduk.
Tidak, belum selesai. Saya dengan cepat juga memindai milik saya, hasil ujian tertulis menjadi Priest. Retina saya bergerak cepat dengan kegilaan, cepat, cepat dan cepat.
Setelah perjalanan panjang menelusuri hasil saya, saya menemukan nama saya juga. Saya menutup mulut saya dengan kedua tangan saya tidak terduga.
— Peringkat 1 terbaik. Peserta No. 0303 Alvius Raven.
Tangan saya mencari-cari tangan Yohan dan menggenggam erat tangannya. Kami saling bertatapan di sana dengan ekspresi kami yang sama-sama bercampur aduk dengan senyum senang dan sedih terharu. Kami hanya berteriak.
“Kita berhasil!!”
“Oh! Oh! Kita bisa!!!”
Kami melompat kegirangan dengan menggandeng tangan dan saling berpelukan satu sama lain di bawah kebahagian yang tidak ada duanya ini. Bagaimana tidak, kami berdua sama-sama berhasil pada langkah pertama kami.
Banyak orang di sekitar kami memperhatikan tingkah kocak dari dua bersaudara ini dan hanya bisa menduga-duga kebenaran tingkah aneh ini.
***
Kembali pada ruangan dimana Direktur dan Felix berada.
Dokdokdok!
Setelah itu Yohan dan saya kembali dalam keadaan sangat senang dan gembira yang tidak bisa di gambarkan lagi. Dan kami berpikir untuk segera memberitahukan pada ayah secepatnya. Sesaat setelah sampai kami langsung duduk di sofa, dengan semangat mengguncang tubuh ayah.
Yohan yang tidak bisa menahan lagi meletup seperti balon.
“Ayah, dengar! Aku dan Al lulus! Dan lagi kami berdua ada di posisi pertama!”
Saya mengangguk untuk itu seolah saya yang bangga dengan ucapan Yohan kepada ayah. Kemudian beberapa detik telah berlalu dan ayah disini tidak merespon. Yohan dan saya segera sadar dan berhenti merengek bahagia juga menghentikan senyum kami.
“Ayah?” Yohan bertanya-tanya. Mengapa dia membuat ekspresi dan raut wajah gelap seperti itu. Dia tidak pernah melihat ini sebelumnya.
“Putraku... Ada yang ingin ayah bicarakan.” mulutnya memang aktif, tetapi wajahnya seperti sangat kasual dan kedalaman yang tidak bisa di gambarkan dengan jelas. Saya langsung melepaskan tangan saya dan duduk sedikit bergeser darinya.
Yang pertama membuka mulut adalah saya.
“Ayah...” mendengar suara saya, ayah perlahan menoleh dan melihat saya, lalu tatapannya terbelalak lebar, dia kaget.
“Mengapa ayah terlihat tegang?” dia melihat saya seperti melihat monster, dia merinding. Saya tahu, dan saya tidak berhenti menatapnya lurus dan tajam dengan tatapan orang yang memikirkan hanya tentang kegilaan.
“Apa Direktur mengatakan sesuatu yang membuat ayah tersinggung?”
Tidak, bukan hanya itu. Dia masih tidak membuka mulutnya. Bahkan ketika saya menatap Direktur untuk memastikan, beliau juga tersentak dengan kejutan ketika melihat saya.
“Apa ada hal yang membuat ayah tidak senang?”
Itu pasti ada disini, disuatu tempat yang hanya ayah yang tahu kebenaran dan kenyataannya.
... Jika tidak, maka sejak kami tiba di ibu kota ayah tidak akan sewaspada ini bahkan tidak akan pernah.
“Katakan ayah, apa yang membuatmu tidak senang. Jika tempat ini menyiksamu secara mental maka...” saya menyeringai pada sudut lebar bibir saya dan menaikkan alis saya. “Aku dengan senang hati akan menghancurkan tempat ini demi membuatmu lega kembali.”
“Alvius!” dengan teriakkannya itu bisa saya mengerti. Dan, ah... Ternyata benar apa alasannya yang membuat dirinya seperti ini.
Suasana memang sedikit menegang, tidak, bukan hanya sedikit namun luar biasa tertekan dan berat untuk bernapas. Saya diam-diam melihat ayah saya, tepat pada matanya yang terlihat kesakitan. Mengapa mata hijaunya itu terlihat menderita seperti dunia ini berusaha menghancurkannya.
Itu membuat saya tidak senang dan memasang raut wajah tidak benar-benar tertarik.
“Cukup, jangan katakan hal seperti itu lagi.”
“Mengapa? Apa ayah tidak senang aku dan kakak lulus ujian? Jika begitu apa alasan ayah membawa kami ke ibu kota? Hanya jalan-jalan? Apa hanya ingin ‘Rasa tanggung jawab’, itu terpenuhi?”
Mata ayah yang melihatku bergetar mendengar jawaban saya yang terdengar absurd datang dari bibir anak kecil. Tapi, itu tidak salah, sebaliknya, kata-kata itu adalah pisau yang tak terhitung jumlahnya seolah di tancapkan di satu tempat pada tubuhnya.
Saya menghela napas resah dan kesal seperti ada uap mengambang di udara ketika saya mengeluarkan napas saya.
“Ayah selalu seperti ini ketika kita tiba di ibu kota. Aku ingin bertanya, tapi aku tidak ingin mengganggu ayah karena takut menyinggung nantinya. Tapi, apa? Sepertinya apa yang aku pikirkan selama ini benar.” saya diam-diam melihat Direktur disana dengan tidak senang.
“Hubungan ayah dan Direktur ketika kita disini. Jika ini benar... Ayah, jika ini tentang Ibu maka jangan katakan apapun.”
“Al, bagaimana...”
Saya beranjak dari sofa dan menafsirkan apa yang menjadi kekesalan saya selama ini, selama saya tiba di ibu kota tidak sedikitpun ada perubahan ketika kita pergi dari desa. Semua sama dan terus seperti itu.
Malahan menjadi lebih parah sejak tinggal di rumah baru kami. Aku selalu melihat ayah akan terbangun malam dan duduk sendirian di ruang tamu, merenung, berpikir keras, kemudian menangis sendiri.
“Sudah kuduga. Bahwa pergi ke ibu kota adalah pilihan terburuk. Bukan demi aku, bukan demi kakak Yohan, tetapi demi diri ayah sendiri.”
Ayah gemetar pada kata-kata saya. Dia ingin menjawab semua yang telah saya lontarkan padanya demi menemukan jawaban pada kesalahpahaman ini. Tapi dia tidak pernah bisa menemukannya. Dia semakin jatuh dalam keputusasaan.
“Alih-alih kata-kata ‘Demi anak-anak’. Sebaliknya, ini ‘Demi perasaan ayah’. Luka ayah terbuka lagi.”
“Al, itu... Dengarkan putraku...”
Saya berjalan ke arah pintu. Saya tidak tahan dengan ini, saya ingin pergi dan melerikan diri dari tempat ini, saya yakin saya bisa menemukan sesuatu yang bisa saya buktikan bahwa keberadaan saya bukan karena saya Alvius, namun karena saya hidup dan berhak menjalaninya.
“Al, kamu mau kemana?” Yohan, benar, dia kakak saya. Dia sedang bertanya, lalu saya menjawabnya tanpa berbalik.
“Kakak sebaiknya ada disisi ayah, aku akan pergi untuk menenangkan diri.”
Mungkin inilah yang terbaik. Ketika perasaan buruk di buang di tempat yang tepat tanpa harus terlibat pada penyebabnya. Saya sekarang terlalu emosional dan tidak bisa berpikir dengan jelas karena perasaan seolah dikhianati merasuk di dalam diri saya.
Jika seperti ini saya berhadapan dengan orang-orang ini, maka saya tidak yakin akan menahan diri.
Saya berbalik hanya untuk mengatakan kalimat terakhir yang selama ini ingin saya ucapkan.
“Padahal, kita sudah berjanji untuk menjadi kekuatan satu sama lain demi merubah kesedihan keluarga menjadi kebahagiaan tak terbatas. Apakah itu semua hanya omong kosong, ayah?”
Setelah itu saya benar-benar meninggalkan ruangan. Yohan berusaha menghentikan saya dengan keras memanggil nama saya, namun saya mengabaikannya. Ayah terpuruk disana dalam keadaan kepala yang ditekan kuat dengan tangannya. Direktur merasa tidak enak.
Dan saya, seorang anak usia 8 yang tidak mencerminkan usianya sama sekali. Mencoba mengartikan dunia, tempat saya hidup kembali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Rizhu
jangan kebanyakan drama nya daripada aksi nya
2022-10-15
0