Malam pun tiba dan ada banyak perbedaan yang bisa di dapatkan dari Desa Avlon, dengan ibu kota disini. Yaitu pemandangannya.
Disinilah pria itu, seseorang yang telah membuat seluruh Priest di akademi heboh dan mengalami keributan internal demi dirinya yang identitasnya hanya diketahui oleh segelintir informasi saja.
Sekarang dia sedang melihat keluar jendela di rumah yang kini mereka tinggali. Rumah ini adalah peninggalan milik ayah dan ibu mereka dari zaman mereka masih menikah dan hidup di ibu kota.
Dia lalu tersenyum ketika melihat keluar jendela dan memandang ke arah bulan. Mengapa? Dia hanya senang dan bahagia bukan karena melihat bulan itu karena pesan yang mengambang di depan retinanya lah yang membuatnya seperti memenangkan lotre.
[Karena sinkronisasi anda dengan target Yohan Raven sangat tinggi. Skill milik target telah di salin dan bisa anda gunakan.]
Dia beberapa kali melihat itu terkadang dia cekikikan sendiri atau dengan tawa jahatnya, hingga monitor lelah menampilkan jendela pesan tersebut.
Bagaimana saya tidak senang jika saya bisa dengan mudah mendapatkan Skill milik Yohan. Dan sekarang itu menjadi bagian saya juga. Saya akui kemampuan Yohan masih belum matang dan mulai sekarang dia akan terus berkembang menjadi sangat hebat dan mengerikan.
Bahkan setelah monitor merekam kejadian dimana Yohan mengeluarkan Auranya yang dahsyat. Saya bangga untuknya.
Setelah Yohan memperlihatkan bahwa dia tidak ingin di remehkan pandangan orang padanya akan jelas berubah 180 derajat.
Demi itu juga kami berdua perlahan membuka jalan menuju kesuksesan kami masing-masing.
Ah, kesampingkan bahwa Yohan mungkin telah lulus. Tetapi dalam kasus saya sedikit berbeda, jadi saya tidak bisa memprediksi jika saya juga akan lulus.
[Apa anda ingin mengkalkulasikan keberhasilan anda?]
Tidak. Lebih baik menjadi kejutan. Jika monitor yang memberitahu pasti kemungkinannya seratus persen. Jadi saya menolak.
Kemudian saya melihat lagi ke arah luar jendela untuk beberapa saat dan meninggalkan senyuman. Setelah itu saya kembali ke tempat tidur saya dan mematikan lampu.
***
Di ruangan Felix.
Saat itu adalah hal yang tidak pernah dia bisa mengerti. Mengapa dia harus kehilangan satu-satunya orang yang dicintainya.
5 tahun yang lalu.
Itu adalah ketika Yohan masih berumur 5 tahun dan Alvius berumur 3 tahun dan masih sangat kecil.
Felix yang bekerja bersama dengan istrinya di Gereja Suci Lindon menitipkan kedua putranya pada pihak Gereja. Mengapa? Karena di hari itu mereka berdua harus melakukan ekspedisi ke timur karena di sana telah terjadi invasi besar-besar monster dan iblis setelah Dungeon Break terbuka.
Istrinya, yang bernama Alisia Raven adalah seorang Paladin terkuat yang dirumorkan tidak pernah kalah sekalipun dan orang yang memiliki julukan ‘War Goddess’.
“Itu sebenarnya adalah julukan yang saya tidak inginkan.” Alisia merasa malu ketika dia mengetahui rumor tentang dirinya sudah tersebar dengan julukannya yang aneh dan terasa menggelikan baginya. Dan dia mengadu pada Felix dengan menggemaskan.
“... Tidak apa. Lagipula apa yang dikatakan rumor itu benar adanya.” dengan begitu Felix juga senang menggodanya.
Lalu setelah itu mereka akan memperlihatkan kemesraannya bahkan di depan publik. Dan orang-orang disekitarnya termasuk teman dan anggota, mereka terkadang harus berpura-pura tidak tersiram oleh cahaya kemesraan mereka dan iri.
Saat itulah dimana mereka bisa bersama. Alisia tahu bahwa firasatnya tidak pernah salah dan memberitahu Felix ketika dia sedang memeluk suaminya.
“Hei, sayang. Jika ekspedisi ini berhasil aku akan segera keluar menjadi Paladin dan memberikan kesucianku pada Alvius. Anak itu sudah terlalu menderita.”
Mendengar istrinya berkata dengan penuh kekhawatiran seorang ibu, Felix memeluknya dengan erat seperti ingin memberinya ketenangan.
“Hush. Tentu kita berdua akan kembali. Dan jangan berpikir untuk keluar dari menjadi Paladin. Itu adalah impianmu bagaimana kamu bisa membuangnya begitu saja. Dan tentang Alvius biarkan aku yang melakukannya. Aku adalah Priest.”
Alisia tahu itu. Suaminya akan terus berusaha mencari cara demi dirinya dan juga kedua putranya. Dialah yang selalu berkorban. Tidak ada suami yang lebih baik dari dirinya. Alisia membenamkan kepalanya semakin ke dalam pelukan.
“Aku mencintaimu.” dia mengatakan itu dan lagi dengan raut wajah tersakiti.
“Aku juga mencintaimu. Jangan khawatirkan apa-apa.”
Setiap kali suaminya menenangkannya dia akan selalu ingin menangis. Itu karena memang suaminya adalah pria terbaik di dunia ini.
Alisia tahu, dia tidak akan mendapatkan pria seperti suaminya lagi. Lalu? Bahkan Felix rela kelelahan demi mengurus kedua anaknya selagi istrinya menjadi Paladin terkuat.
Bukannya Felix senang, atau tidak peduli dengan apa yang akan dilakukan Alisia. Dia ingin, dia selalu ingin menghentikan Alisia menjadi Paladin, dia ingin bahwa sebaiknya Alisia tidak menjadi Paladin dan membahayakan dirinya sendiri. Tapi, apa yang dia bisa?
Mereka berdua hanya jatuh cinta satu sama lain. Ketika status mereka berdua berbeda.
Kemudian waktu penghakiman pun dimulai. Dimana semua penderitaan yang dirasakan Felix menjadi keputusasaan yang mendalam dan menyakitkan.
Alisia yang berhasil membunuh komandan iblis dan menghentikan Dungeon Break telah mengorbankan nyawanya sendiri.
“Alisia! Alisia bertahanlah!” Felix panik dan ketakutan. Luka Alisia begitu dalam meskipun dia terbaring tidak berdaya di tanah. Perutnya tertembus dengan tanduk hitam besar.
Felix memompa seluruh kekuatan sucinya dan menyuntikannya kepada Alisia dengan putus asanya. Air mata yang mengalir tidak kunjung berhenti.
“Sayang...” Alisia memanggil dengan suara lemah, tangannya bergerak dan diraih oleh Felix. “Sayang...”
“Alisia!” Isakan tangis Felix semakin menjadi ketika dia menggenggam erat tangan pucat dan lemas istrinya.
“Hei... Jangan menangis... Wajah tampanmu jadi ketutupan.” Di situasi itu Alisia hanya bisa menjadi sosok yang kuat dan tetap tersenyum meskipun lemah hanya untuk satu pria yang dimilikinya.
Felix mencium tangan Alisia yang dia genggam dan menggelengkan kepalanya.
Tangan Alisia ingin berbalik menggenggam erat tangan milik pria yang selalu memeluknya itu. Tetapi dia sudah tidak punya banyak kekuatan.
Di tanah yang sudah penuh dengan mayat antara manusia dan monster iblis. Darah yang menjadi genangan dan pemandangan mengerikan dari medan pertempuran yang akhirnya telah berakhir.
Itu semua berkat wanita ini.
Bibir Alisia tersenyum tipis. Kemudian itu berubah sudut menjadi tertekuk ke bawah. Alisia menangis.
“Aku tidak mau mati...” ucapnya dengan tangisan di matanya yang sudah terlihat kabur. Dia melanjutkannya “Aku khawatir dengan kedua putra kita.”
Felix mengangguk namun dia tidak bisa mengatakan apapun lagi, dia tidak bisa memikirkan cara selain terus menerus menyembuhkan Alisia dengan energi sucinya. Dia terus mengutuk ketidakmampuannya dalam batinnya.
Alisia sangat sedih melihat suaminya begitu putus asa dan sangat fokus demi menyembuhkannya. Dan yang paling tahu dengan kondisinya adalah dirinya sendiri. Dia sudah tidak bisa kembali. Jika Felix mencabut tanduk besar itu dari perut Alisia maka tidak akan ada kemungkinan lagi.
“Sayang...” Alisia memanggil namun kali ini dia sudah membulatkan tekadnya dan menggerakan tangan yang digenggam Felix selama ini.
Lalu Alisia berbicara seolah bagaikan ini adalah riwayat terakhirnya.
“Kamu tahu, Yohan. Dia anak yang rajin dan tekun, dia selalu bermain dengan pedang kayu dan berkhayal ingin menjadi seperti diriku.”
Felix kemudian fokus melihat Alisia dengan mata yang sudah memerah dan hampir kering sebab tidak ada air mata yang tersisa.
“Lalu, Alvius...” hanya untuk menyebut nama putra keduanya itu terasa sangat berat dan Alisia kembali menangis.
“Dia tidak bisa keluar rumah dan terus di tempat tidur. Aku ingin dia bisa seperti Yohan dan memiliki mimpi. Aku ingin dia tidak kesakitan lagi.” dia menangis dan terus mengeluh dengan apa yang tidak bisa dia lakukan.
“Padahal aku berjanji untuk memberinya kesucianku demi kesembuhannya.”
Felix semakin mencengkeram kuat pelukan tangannya. Dia terus menggelengkan kepalanya dan ingin mengatakan jika semua ini bukan kesalahannya.
“Aku bukan ibu yang baik.” mendengar itu Felix langsung menyambar untuk menutup mulut Alisia dan menciumnya. Dia tahu ini mungkin adalah yang terakhir kalinya namun dia tidak ingin ini menjadi yang terakhir. Mereka dipenuhi air mata kembali.
“Kamu ibu yang luar biasa dan kamu adalah istri terbaik. Jangan salahkan dirimu sendiri. Aku... Aku...”
Ah... Kini Alisia tahu dan benar-benar yakin. Bahwa, dia sangat mencintai suaminya dan tidak salah memilih pria.
Alisia tersenyum puas dan kulit pucatnya semakin pasi. Dia kehilangan banyak darah dan sudah tidak bisa merasakan tubuhnya lagi. Jelas dia tahu, sebentar lagi dia akan meninggalkan pria tampan yang cengeng ini.
“Sayang... Tolong jaga kedua putra kita.”
Felix langsung segera menatap ke arah istrinya dahinya mengerut ke atas dan matanya terbelalak lebar. Bibirnya naik dan turun beberapa kali dan bergetar kuat.
Dan kemudian. “Aku mencintaimu.”
Dengan senyuman terakhir dari Alisia yang seolah berkata. ‘Terima kasih telah mencintaiku.’ mata Alisia telah sepenuhnya tertutup dan Felix sudah tidak bisa merasakan denyut dari tangan yang dia genggam.
Wanita yang dia paling cintai telah selamanya pergi meninggalkannya.
Felix menjerit dengan putus asanya.
“Tidak! Tidak! Tidak! Alisia! Alisiaaa!!!”
.....
...
..
Hujan turun pada hari ekspedisi selesai dan semua orang telah berduka bersama.
Misi telah selesai. Dungeon Break tingkat SS telah di hentikan dan tanah yang terkontaminasi kegelapan berhasil di pulihkan.
Ini semua berkat seorang Paladin yang berjasa dan mengorbankan dirinya sendiri demi keselamatan banyak orang.
Wanita yang dengan gagah berani maju ke medan perang dan memerangi iblis akan selalu di kenal namanya di monumen sejarah sebagai...
‘War Goddess, Alisia Raven’.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Nurul
'Kesucianku...' disini merujuk pada kekuatan yah, jangan salah kira😋
2022-12-17
4