Sejauh yang bisa saya rasakan bahkan tanpa bantuan monitor saya bisa merasakan adanya hawa yang sangat tidak mengenakan meski ini dikatakan saya berada di depan tempat yang sakral dan suci untuk sesuatu yang tidak murni itu masuk.
“Baiklah, mari kita masuk.”
Saya menyudahi pikiran saya dan apa yang saya rasakan. Mungkin berbeda dengan saya, ayah dan Yohan tidak merasakannya akibat mereka tidak memiliki sistem penilaian seperti saya. Memiliki ini saya seolah bisa menilai bahkan seluruh dunia pun mungkin.
Lalu kami masuk ke dalam Gereja Suci Lindon yang megah. Bahkan hanya dengan masuk ke dalam gerbang depan saja sudah besar dengan pintu dua sisi yang menjulang dan besar. Kami masuk ke dalam dan menuju resepsionis yang menjaga pintu depan.
“Apa ada yang bisa saya bantu?”
Dia terlihat seperti seorang Priest sama seperti ayah saya dengan seragam yang berbeda tentunya. Tapi, bisa sata rasakan aliran sihir di dalam wanita ini terasa lebih kental daripada ayah saya.
Lalu ayah saya mengambil untuk menjawab dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kantongnya. Itu adalah sebuah token miliknya yang dia gunakan di pos keamanan ketika kami masuk ke dalam ibu kota.
“Saya ingin mendaftarkan kedua putraku.”
Priest itu mengambil dan meneliti token tersebut. Dan kemudian dia terkejut dan eskpresinya menjadi kaku dan tiba-tiba dia menjadi gugup untuk mempersiapkan semua formulir yang di butuhkan oleh kami.
“I-ini tuan silahkan isi formulir tersebut.” dengan ramah namun masih gugup dia hanya mengakhiri kalimatnya dengan seruan ‘Haha’ pada kalimatnya. Saya merasa sedikit aneh dengan mengapa responnya begitu berubah drastis, namun saya kembali fokus kepada formulir dan mengisinya.
Beberapa menit berlalu. Saya dan Yohan telah menyelesaikan tiga lembar formulir kami. Masing-masing formulir bisa diketahui dengan jelas. Satu untuk identitas, kedua untuk ujian apa yang akan kami ikuti, seperti ingin menjadi Paladin atau seorang Priest atau mungkin bisa Saint jika tingkat kekuatan sucinya tinggi. Dan yang terakhir adalah atribut kami dan afinitas yang kami milikki.
Tetapi, tentu saja saya dan Yohan saling melirik ketika mengisi formulir terakhir. Kami tidak benar-benar mengisinya dengan jawaban jujur.
“Baiklah, saya sudah menerima formulir ini. Atas nama tuan Yohan, anda bisa mengikuti ujian yang akan diadakan 15 menit lagi di area pelatihan.”
Yohan mengangguk dan melihat ayah disana mereka hanya bertatapan dan terakhir hanya mengangguk yakin.
“Al, aku pergi. Semoga berhasil.”
“Kakak juga. Semoga berhasil dan hati-hati.”
Seperti mengantar kepergiannya saya hanya bisa melihat punggungnya yang tidak lebih lebar dari saya, namun itu terasa akan sangat jauh dan nantinya akan lebih lebar lagi, ketika saya mengalihkan pandangan darinya. Dia hanya tersenyum dengan keyakinan.
Mungkin karena itulah dia terpilih sebagai ‘Descendant of Diligent’ sebagai salah satu Job nya.
Saya disini hanya berharap dia bisa meraih mimpinya dengan menjadi seorang Paladin. Dengan kakak yang menjadi Paladin, maka saya juga akan berusaha yang terbaik. Agar keluarga kami bisa hidup lebih baik daripada ini.
“Lalu untuk tuan Alvius. Disini anda menulis ikut ujian sebagai seorang Priest, benar?”
Saya menoleh pada Priest ini ketika saya mengantar kepergian kakak saya hanya dengan mata saya yang mengejar punggungnya. Namun, sepertinya ada yang aneh, Priest ini terlihat seperti tidak percaya dengan apa yang saya tulis.
“Ya, itu benar. Apa ada masalah?”
“Ah, tidak. Hanya saja biasanya disini kebanyakan seorang yang mendaftar sebagai Priest adalah wanita, tentu ada pria dan itu jarang.” Priest ini melihat saya dan juga pada ayah seperti meremehkan dengan nada bicaranya. Saya tidak suka jika dia melihat kami dengan curiga dan keraguan yang tidak berdasar.
Baiklah, saya akan menunjukkan pada arogansi ini bagaimana saya bertindak merendahkan. “Tidak apa. Saya tidak peduli pada diskriminasi gender disini. Saya hanya ingin melihat apa saya memiliki peluang untuk bisa menjadi salah satunya itu saja.” saya hanya perlu melihatnya dengan tatapan meremehkan!
“Y-ya, baiklah. Silahkan pergi ke lobi dua dan ruangan ketiga. Disana adalah ruangan ujian tertulis dan akan dimulai 10 menit lagi. Semoga berhasil.” setelah itu dia melemparkan wajahnya ke arah lain karena takut melihat pada wajah kami, saya dan ayah.
Ayah di sebelah saya tadinya ingin bertindak pada ocehan Priest ini, namun karena saya maju dulu dia tidak jadi melakukannya. Ayah menepuk pundak saya dan saya melihat ke arahnya dengan senyum dan memegang tangannya di pundak saya.
“Ayah, doakan aku.”
“Semoga berhasil putraku. Kalian berdua adalah putra kebanggaan ayah. Jangan biarkan orang lain merendahkan kalian.”
“Iya, tentu ayah.” saya kemudian melepas tangan saya dan berjalan untuk pergi ke ruang ujian tertulis. Mendengar apa yang dikatakan ayah, saya hanya bisa menyeringai dan menatap ke depan dengan dinginnya.
Tentu saja ayah, saya tidak akan membiarkan orang lain meremehkan keluarga kita, bahkan jika itu iblis sekalipun!
***
Saya sudah mencapai ruangan ujian saya. Dari sini saya bisa melihat ada banyak sekali orang dari usia yang muda hingga yang sudah masuk usia pubertas mereka. Saya masih berdiri di sini dan mencari-cari tempat untuk duduk. Saya menemukan satu kursi di ujung dan saya berjalan menuju kesana.
Saya hanya berjalan menuju kursi tempat yang saya tuju. Tetapi, tatapan tidak menyenangkan datang dari orang-orang yang menatap saya, ini seolah seisi ruangan ini dipenuhi oleh mata kemunafikan alami. Dan saya duduk ketika mendapatkan kursi saya.
Berbeda dengan saya sepertinya Yohan sedang berada di lapangan untuk menunjukkan bakatnya. Ujian praktik terlihat lebih sulit bandingannya daripada ujian tertulis. Jika masih ada kesempatan saya ingin melihat Yohan praktik. Namun, apakah sempat?
Saya tidak tahu jika tidak mencobanya. Setelah ujian selesai saya akan mencarinya dan melihatnya.
“Lihat siapa yang kita temukan disini.”
Saya melirik ke samping dan melihat ada tiga anak yang mendatangi saya. Dari sudut saya, saya bisa melihat dari pakaian yang mereka kenakan, sepertinya mereka anak-anak kalangan bangsawan atau rakyat kaya. Itu tidak terlalu berbeda dari Korea selatan. Seperti antara anak politikus dan anak gubernur disatukan.
Heh, saya benci dengan pengaturan ini jadi abaikan saja mereka.
“Lihatlah anak ini mengabaikan kita. Hei, tidak bisakah kai dengar kita sedang berbicara denganmu.” karena kesal saya acuhkan salah satu dari mereka yaitu pemimpin mereka mencengkeram pundak saya. Saya kemudian menoleh ke arahnya dengan tatapan tajam dan merubah retina saya menjadi bulat besar mengerikan.
“Huh? Apa?”
Hanya dengan kata itu mereka sudah terlihat bergemetar tidak tenang. Tapi, sepertinya dengan itu saja masih belum cukup untuk membuatnya melepaskan tangannya. Saya bisa melihat bahwa sekitar saya sekarang mulai terpaku pada kami semua disini.
“Apa kau tidak tahu siapa aku? Aku adalah putra dari bangsawan—”
“Aku tidak peduli.” sebelum bisa meneruskan ucapannya saya menghentikannya dengan jawaban tudak tertarik, tidak tertarik sama sekali.
“Apa?”
“Apa kau tuli? Aku bilang aku tidak peduli kau anak siapa. Aku hanya ingin kau melepaskan tanganmu dariku, bajingan.” kemudian saya mencengkeram kembali pergelangan tangannya dan melemparkan tangannya ke udara. Itu menjengkelkan karena harus berurusan dengan orang seperti ini.
Menggunakan status kebangsawanan jelas tidak adil dan curang. Tidakkah disini ada hukum yang mengatakan bahwa diskriminasi status adalah hal buruk. Seperti yang dikatakan dewa kabur itu bahwa dunia ini memang tingkat SSS, dalam kegilaan tentu saja.
“Bajingan ini, kau—!” anak ini yang baru saja akan mengayunkan tinjunya ke arah saya karena tidak terima dengan perlakuan saya. Itu di hentikan dengan seorang Priest yang masuk ke dalam ruangan.
“Yang disana, apa yang kalian lakukan? Bahkan dihari ujian kalian akan melakukan kegaduhan. Jika tidak siap maka keluarlah dari ruangan ini atau duduk di tempat kalian segera.”
Saya dan pemimpin berandal ini saling menatap. Saya menatap dengan tidak tertarik sementara dia diliputi oleh kemarahan internal. Lalu dengan decikan lidahnya dia melepaskan saya dan pergi menuju kursinya.
“Baiklah mari kita mulai ujian tertulisnya. Ujian ini akan sulit, kami tidak melihat kalian secara status dan akan tetap menilai dari apa yang akan kalian kerjakan secara tulisan. Jadi jangan berharap perilaku pilih kasih atau hal apapun itu namanya.”
Priest yang menghentikan pertikaian saya dengan berandalan itu sepertinya adalah seorang penguji. Dia memakai kaca mata dan terlihat muda meski dia adalah seorang Priest. Tunggu, ayah juga muda meskipun dia Priest, apa semua Priest itu awet muda.
Saya seperti akan suka orang seperti Priest penguji ini. Dari tatapan yang tidak tertarik pada kami yang dari berbeda golongan dan status. Dimatanya tidak ada diskriminatif khusus dan hanya melihat kami jika kami memang layak, itu saja.
Dia berjalan berkeliling meja satu per satu dengan memberikan lembaran kertas ujian pada kami semua.
Lalu ketika dia berada di depan meja saya dia seperti diam-diam memperhatikan saya dengan mata tajamnya dan tidak meletakkan kertas ujian itu untuk beberapa detik, kemudian dia tetap melakukannya dan berjalan ke meja lainnya.
Apa itu semacam ancaman atau peringatan karena saya membuat keributan di hari ujian? Wah, menyeramkan.
“Baiklah, sekarang mulai ujiannya.”
Dan waktu dalam jam pasir yang dia bawa telah berputar dan turun. Ujian telah dimulai dan saya segera membalik kertas ujiannya dan melihat seluruh soalnya pelan-pelan dan serius mendalami semuanya.
Sementara saya serius Priest itu mengawasi tempat ujian dengan disiplin dan benar-benar tidak berpaling sedikitpun. Apakah takut jika ada yang mencontek atau berbuat curang?
Lalu saya tidak ada waktu untuk hal semacam itu dan melakukan tugas saya. Tidak, ini bukan hanya tugas saya. Monitor juga bagian dari tugas ini.
‘Monitor.’
[Jawaban dari soal nomor 1 adalah....]
Dengan kecerdasannya monitor membuka seluruh ingatan saya dimana saya telah mempelajari semua buku dan kitab tentang hal-hal kesucian dan semua materi dan teori tentang menjadi seorang Priest dan sebagainya.
[Jawaban dari soal nomor 4 adalah....]
Saya terus menulis jawaban saya dengan maksimal dan kecepatan yang bisa dikerjakan monitor dalam pikiran saya dan tangan saya yang menulis tanpa berhenti dan mengambil napas. Bahkan saya tidak ingat untuk berkedip bahkan sekali.
[Jawaban soal nomor 20 adalah...]
Tidak pernah berhenti. Saya tidak sesekali melihat ke arah jam pasir yang berjalan dan tidak peduli apakah waktunya masih banyak ataukah akan berakhir pada saat saya menulis jawaban saya di kertas ini.
[Jawaban soal nomor 40 adalah...]
Lalu lembar pertama yang diberikan pada saya telah saya selesaikan dengan tuntas dan segera saya menggantinya dengan lembaran berikutnya.
[Jawaban soal nomor 60 adalah materi....]
Lalu berikutnya...
[Jawaban soal nomor 85 adalah keganjilan....]
Sampai saya mengganti lembar ketiga dan lembar terakhir.
[Jawaban soal nomor 140 adalah teori....]
Hingga pada garis dan lanskap terakhir di bawah pena saya. Saya langsung sadar, jika saya sudah menyelesaikan semua soal dengan cepat.
Saya langsung melihat cepat ke arah jam pasir. Membuat saya tertawa kecut dan bergumam. “Haha... Waktunya masih banyak tersisa.”
Saya menyelesaikan hanya dalam kurang dari 10 menit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
abdillah musahwi
gimana nggak cepat selesai ada bekingannya😁
2024-09-26
1