Sekujur tubuh ini rasanya lemas, melihat darah yang mengucur deras di bagian dada Kak Rey? Aku berteriak ketika tubuh tegap itu merosot ke bawah, menahan rembesan darah dengan telapak tangan kanannya.
"Kak Rey!" Segera aku berhambur mendekat, mengangkat kepala lelaki yang sebelumnya membuat kesepakatan denganku, lalu meletakkan di atas pangkuan.
Matanya menatapku dengan sayu. Bibirnya melengkung halus membentuk senyuman. Baru kali ini kulihat Kak Rey tersenyum tulus kepadaku. Padahal sebelumnya, dia selalu bersikap dingin serta apatis.
Sementara Pak Tua berhasil dibekuk setelah satu pukulan di tengkuk membuatnya tidak sadar. Polisi meringkus gerombolan itu dan menggelandangnya keluar.
"Kita bawa ke rumah sakit." Rindi datang dengan menepuk bahuku. Aku tahu jika dia juga terpukul akan insiden itu, tak menyangka jika masalahnya akan melibatkan aku dan Kak Rey.
Aku mengangguk. Dua orang petugas kepolisian mendekatiku. Lalu, mereka menawarkan diri melarikan Kak Rey ke rumah sakit terdekat untuk segera ditangani.
"Kamu angkat kakinya, aku badannya. Mobil tidak bisa masuk sini. Kita harus keluar dengan berjalan kaki." Salah seorang petugas kepolisian berbicara dengan rekannya.
Tentu aku tahu. Jalan masuk ke rumah Rindi tidak bisa dilewati mobil. Hanya motor yang bisa masuk. Tapi, Kak Rey, pasti dia datang membawa mobil, bukan?
"Pak, saya ada motor. Lebih baik kita membawanya dengan menaiki motor. Paling tidak sampai ke jalan depan." Mataku mengedar ke bawah, mencari keberadaan kunci motor yang mungkin terjatuh di dalam rumah Rindi.
"Apa ini yang kamu cari?" Rindi mengulurkan kunci motor itu kepadaku. Segera kuterima dan memberikannya kepada polisi di depanku.
"Mari, saya bantu berdiri." Dengan lemas Kak Rey menopang tubuhnya. Dia masih sanggup berjalan meski wajahnya tampak pucat. Mungkin karena terlalu banyak darah yang keluar akibat luka di dadanya.
Rindi ingin membantu, tetapi segera kutahan.
"Sebaiknya kamu urus ibu dan adik-adikmu. Mereka membutuhkanmu." Kulirik kedua adik Rindi terlihat ketakutan dalam pelukan ibunya. Dari sekilas pandang saja aku bisa menyimpulkan jika ibu Rindi terkena struk ringan. Bibirnya tampak sedikit tidak normal. Mungkin juga saat ini beliau kesulitan berdiri karena sejak tadi hanya menangis sambil memeluk kedua buah hatinya yang masih kecil-kecil.
"Heem, terima kasih, Alea. Aku selalu membuatmu berada dalam masalah." Rindi berkata dengan menunjukkan raut wajah bersalah.
Aku hanya menggeleng pelan dan mencoba tersenyum, meski pada dasarnya hatiku masih begitu cemas akan kondisi Kak Rey.
Walaupun tertatih-tatih, akhirnya kami bisa sampai di depan teras rumah Rindi dengan seorang petugas polisi sudah menunggu naik di atas motor maticku. Kak Rey dibantu dengan seorang petugas kepolisian yang lain naik ke atas boncengan, lalu aku susul ikut naik di belakangnya. Tugasku memastikan jika Kak Rey tidak sampai terjatuh hingga kami mencapai jalan raya depan.
Tanganku memeluk tubuh kekar itu, menahannya agar tidak oleng saat motor maticku melaju. Kepala Kak Rey disandarkan ke bahu Pak Polisi, sementara tangannya menjuntai lemah ke bawah. Aku berusaha menjaga keseimbangan tubuh Kak Rey agar tidak miring karena jalanan yang kami lewati bergelombang.
Sampai di ujung jalan, dua mobil bak terbuka polisi menunggu. Satu mobil digunakan untuk mengangkut para komplotan Pak Tua yang masih dalam perjalanan keluar gang, sementara satunya digunakan untuk mengantar Kak Rey ke rumah sakit.
Pria itu menurut ketika tubuhnya dipapah menaiki mobil bak terbuka di bagian pungkur. Aku sengaja memosisikan diri duduk di belakangnya, takut jika tiba-tiba tubuhnya yang lemah tak sanggup menjaga keseimbangan. Wajahku masih basah akan air mata, sesenggukan kadang keluar dari bibirku tanpa kusadari. Sementara jaket hoodie yang kukenakan telah berubah warna menjadi kemerahan akibat terkena rembesan darah Kak Rey.
Mobil ini pun sudah melaju membelah keramaian jalanan yang tengah menunggu. Angin malam membiusku dari serentetean kejadian yang bahkan sampai saat ini masih belum sempat aku pahami. Aku mencari Rindi ke rumah orang tuanya, lalu melarikan diri dari kejaran preman-preman bertubuh besar dengan wajah garang menyeramkan. Kemudian, Kak Rey datang menyelamatkanku dan Rindi, meskipun berakhir terluka.
Aku menangis di belakangnya di mana tubuh Kak Rey bersandar lemah kepadaku. Wajahku tenggelam di punggungnya, menangis sepuasnya tanpa rasa malu.
Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan Kak Rey?
Bagaimana jika Kak Rey terlambat mendapatkan pertolongan?
Aku tidak akan memafkan diriku sendiri apabila Kak Rena sampai menjadi janda karena ulahku. Bagaimanapun juga Kak Rey berakhir terluka parah karena menolongku.
"Hei, mengapa kamu berisik sekali?" Suara lirih Kak Rey mengejutkanku. "Aku tidak bisa tidur mendengar suara tangismu yang seperti kuntilanak."
Lihatlah! Di saat kritis dia masih sempat menghinaku. Mengapa dia tidak diam saja, membiarkan rasa empatiku mengalir untuknya. "Aku tidak bersuara," kataku dengan nada bergetar, menyembunyikan isak tangis yang semula kukeluarkan tanpa menutup-nutupinya.
"Aku ingin tidur. Jangan membangunkanku!" Dia kembali berkata dengan suara yang teramat lirih. Aku yakin jika saat ini Kak Rey sedang berusaha menahan rasa sakit di tubuhnya.
Tapi, tidur? Jangan membangunkanku?
Mataku membulat penuh. Apakah maksud dengan ingin tidur dan tidak boleh dibangunakn? Apakah itu artinya Kak Rey akan ... tiada?
Tubuhku semakin gemetar, menggelengkan kepala kuat-kuat. "Kak Rey, jangan tidur! Kamu tidak boleh tidur! Kamu harus tetap terjaga!" teriakku diselingi tangis dengan tangan mengguncang tubuhnya.
"Kak Rey, bangunlah! Jangan tidur! Jangan menakut-nakutiku!" Aku terus-menerus mengganggunya. Aku tidak mau dia tiada. Aku akan menyesal seumur hidup karena membawanya pada jurang permasalahan yang aku sendiri tidak sanggup mengatasinya.
Aku menangis dengan histeris, memeluk tubuh lemah itu dengan kuat. Aku takut, benar-benar takut kehilangannya. Dia suami Kak Rena, tetapi juga ayah dari anak yang sedang kukandung.
"Kan sudah aku bilang. Aku mau tidur. Jangan berisik! Suaramu menyakiti gendang telingaku."
Aku sedikit lega mendengar suaranya lagi, tetapi aku tidak mau terlena. Kak Rey harus tetap sadar, setidaknya sampai di rumah sakit.
Aku terus mengajaknya bicara. Apa pun yang ada di kepalaku aku utarakan. Setidaknya dengan begitu Kak Rey tidak sempat memejamkan mata.
"Bodoh, jangan lupa dengan janjimu," katanya dengan suara yang teramat lemah.
"Janji? Janji apa?" Aku merasa tidak memiliki janji dengannya.
"Besok kita menikah. Kamu jangan pura-pura lupa."
Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Bahkan, kondisinya hampir mati pun, dia masih membahas tentang pernikahan. Aku ingin marah, tetapi juga ingin tertawa. Lelaki ini benar-benar membuat perasaanku campur aduk.
"Apakah kamu diam-diam mencintaiku sampai sangat ingin menikah denganku?" Meski kalimat itu terkesan terlalu percaya diri, tetapi aku tetap saja mengucapkannya.
"Tentu saja ... tidak. Aku hanya mencintai Rena."
Kalau seandainya dia tidak sedang sakit, mungkin mulutnya sudah aku sumpal saat ini juga. "Kamu menyebalkan, ya, ternyata," ucapku dengan bibir berkedut.
"Sebaiknya seperti ini. Aku akan menjadi lelaki paling menyebalkan yang pernah kau kenal."
Entahlah, seharusnya aku marah. Akan tetapi, aku justru ingin tertawa. Tanganku menyeka air mata yang sejak tadi menetes di pipi. Aku tidak tahu hubungan apa yang ke depannya aku jalani dengan Kak Rey. Aku hanya bisa menghadapi semuanya, membiarkan takdir yang akan menentukan jalan akhirnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Devi Handayani
kasian alea😭😭😭
2023-04-28
1
Diana
aaahh bisa2 aq bucin sama karya author satu ini 😍😍😍
2023-04-11
1
Starry💫
run alea...runnnnnnn
Jan mau di nikahin Ray.....
run...run....lupakan soal janji pokoke runnnn
2023-04-11
0