Segala hal berkaitan dengan kejadian yang dialami seseorang selalu disangkut-pautkan dengan takdir. Padahal sesungguhnya manusia mampu menyusun takdirnya sendiri. Namun, begitu hal buruk terjadi, mengapa takdir yang harus dikambinghitamkan?
Ketika pagi menjelang, aku biasanya turun ke dapur untuk membantu Mbak Leli--asisten rumah tangga kami-- menyiapkan sarapan. Meski terkadang bantuanku tidak seberapa, hanya sekadar menyiapkan bahan dan memotong sayuran, tetapi aku selalu mengambil peran dalam memasak di dapur. Namun, pagi ini enggan kulakukan.
Mataku terlalu sembab untuk keluar kamar, mengingat semalam aku terlalu lama menangis. Aku sengaja turun untuk sarapan setelah semua hidangan tertata di atas meja. Bukan karena tidak mau membantu, melainkan karena aku berusaha menyamarkan mata sembabku dari keluargaku.
Kuturuni satu per satu anak tangga perlahan dan di sana semua orang sudah menunggu sambil berbincang. Ada satu yang menarik perhatianku. Kak Rey, dia kembali menatapku. Tatapannya masih sama: dingin dan datar. Aku merasa hari-hari berikutnya akan semakin sulit bagiku jika setiap hari harus berjumpa dengan lelaki itu. Aku hela napasku dalam, mencoba mengisi ulang ketegaran dalam hidupku.
Kak Rena mencolek lengan Kak Rey, dan saat itu juga tatapannya beralih dariku. Yang menarik adalah wajah dingin dan angkuh yang dipertunjukkan kepadaku berubah menjadi ramah dan penuh sayng setelah mengarah kepada Kak Rena.
Ada rasa ngilu di sudut hati ketika menyadari hal itu. Namun, aku juga merasa senang. Kak Rey ternyata benar-benar mencintai kakakku. Kak Rena menikah dengan orang yang tepat.
Aku memilih duduk di samping Mama setelah menyapa semua orang, berusaha menunjukkan bahwa semalam tidak terjadi apa-apa. Piring kubalik dengan posisi menghadap ke atas, lalu kuisi nasi dan lauk-pauk serta sayuran. Tampaknya pagi ini Mbak Leli masak lebih banyak menu dari hari biasanya, mungkin karena ada Kak Rey di sini sehingga sarapan pagi ini lebih spesial.
Setelah berdoa, kusuapkan satu sendok makanan ke mulut. Namun, belum sempat sendok itu sampai ke bibirku, Mama menyindirku.
"Rena kelelahan kemarin, tapi pagi tadi sudah sibuk menyiapkan sarapan sebanyak ini. Sementara kamu, kerjaannya hanya malas-malasan."
Sungguh, rasanya ingin kulempar sendok dan piring di depanku. Mama sengaja merendahkanku di depan Kak Rey, entah apa maksudnya. Padahal hanya pagi ini aku tidak membantu, tetapi Mama sudah menyalahkanku seolah aku anak yang tidak berguna. Berusaha sabar dan tetap tenang, aku memilih melanjutkan suapan itu ke mulutku.
Aku memilih abai akan perkataan Mama. Meski beliau menyindirku secara terang-terangan, tetapi aku tanggapi dengan tidak peduli.
Hening. Suasana menjadi kaku dan tidak mengenakkan. Bukan kehangatan keluarga yang terasa, melainkan rasa marah dan kebencian dalam lingkup satu ruangan.
"Kami akan berbulan madu dua hari lagi." Kak Rena membuka obrolan setelah menyapukan sapu tangan ke bibirnya. "Setelah itu kami pindah ke rumah baru," ucapnya dengan mata berbinar.
"Oh, ya. Secepat itu?" Terlihat raut kecewa di wajah Mama, tetapi perempuan Paruh baya itu tampak menyamarkan dengan senyuman. "Berapa lama kalian akan berbulan madu?"
"Sebulan. Ada beberapa negara yang ingin kami kunjungi. Iya, kan, Rey?"
Kak Rey hanya mengangguk. Tampaknya lelaki itu hanya bisa ramah dengan Kak Rena saja. Dia begitu dingin dan angkuh, beruntung saja bisa mendapatkan kakakku.
"Alea, bukannya kamu ingin membeli kimono asli. Kakak juga akan ke Jepang."
"Sungguh? Apakah aku bisa mendapatkan satu?" Setidaknya aku bisa mendapatkan keuntungan dari jalan-jalan mereka.
"Ya, tentu saja. Rey punya selera yang bagus soal fashion. Dia akan memilihkanmu dengan bahan terbaik."
"Aku sibuk." Kak Rey menyela. Sudah jelas dari sikap dan perkataannya, dia membenciku.
Senyum Kak Rena yang semula terpancar redup seketika. "Ayolah, Rey! Dia adikku satu-satunya," rengeknya dengan mengapit lengan Kak Rey manja.
Lelaki itu tersenyum tipis, senyum langka yang mungkin jarang dilihat orang. Tangannya secara lembut mengusap kepala Kak Rena. "Aku hanya mengantar. Kamu yang pilihkan," ucapnya dengan menatap lembut Kak Rena.
Entahlah, aku tidak bisa memalingkan wajahku dari obrolan sepasang pengantin baru itu. Mereka sangat serasi dan tampak bahagia dengan pernikahannya. Jika sudah begini, bagaimana mungkin aku tega merusak kebahagiaan Kak Rena?
Setelah Kak Rey dan Kak Rena berangkat ke kantor, Mama menyeretku ke dalam. Aku yang kebetulan masuk sif malam sebenarnya ingin keluar menemui Rindi, tetapi Mama sudah menahanku.
"Ada apa, sih, Ma?"
Wanita berpenampilan elegan itu melipat tangan di dada, menatapku dengan tatapan penuh tuduhan. "Apa yang kalian lakukan semalam?"
Sungguh, detik itu juga aku tak sanggup hanya untuk bicara. Mama ternyata tidak sebodoh itu, memercayai perkataan Kak Rey terkait pembalut wanita.
Mama adalah tipikal wanita cerdas dan tegas. Meski semalam Kak Rey berkata dengan santai, seolah memang tidak terjadi apa-apa di antara kami, tetapi raut ketakutanku tak bisa disembunyikan. Pantas saja Mama menaruh curiga kepadaku.
"Aku, ...." Bibirku tergagap, tidak bisa memilih jawaban.
"Apa?! Kau mau menggoda kakak iparmu?"
Aku menggeleng kuat. Bagaimana mungkin Mama bisa berpikir seperti itu? "Tidak, mana mungkin aku melakukan itu, Ma."
"Lalu?" Tatapan Mama begitu tajam. Terasa mencekikku yang memang tidak pandai berbohong. "Aku tahu Reynan adalah pria sempurna. Dia kaya raya, tampan, dan royal. Tapi, jangan sampai kau berpikir bisa merebutnya dari Rena. Mengerti?"
"Aku tidak mungkin berbuat itu, Ma. Aku menyayangi Kak Rena." Aku tidak menyangka Mama menghujaniku dengan tuduhan-tuduhan miring. Aku menggoda Kak Rey? Bahkan, dalam pikiran saja aku ingin menghilang dan tidak bertemu dengannya lagi.
"Mama ingin bukti, bukan hanya perkataan. Sejak kecil Rena selalu mengalah denganmu. Bahkan, kasih sayang Papa lebih banyak untukmu daripada Rena. Apakah kamu tega merusak kebahagiannya?"
Mama mengingatkanku pada Papa. Aku tiba-tiba merindukannya. Papa memang lebih perhatian kepadaku daripada Kak Rena, tetapi aku rasa karena kasihan kepadaku. Aku tidak terlalu pandai dalam pelajaran sehingga Mama selalu memarahiku, membanding-bandingkanku dengan Kak Rena. Dan saat itu, Papa selalu membelaku.
Aku menggeleng lagi. Dalam lubuk hati terdalam, tak secuilpun rasa ingin mengambil Kak Rey dari Kak Rena. Meskipun lelaki itu telah merenggut sesuatu yang paling berharga dalam diriku.
Mama menghela napas panjang. Tatapan matanya jelas menunjukkan kemarahan. "Mama ingin kamu segera menikah. Kamu kenal Erlangga, bukan? Menikahlah dengan dia."
Mataku membulat penuh. Erlangga? Dia adalah mantan Kak Rena. Setahuku, Mama tidak menyukainya karena dinilai status sosialnya yang rendah. Bagaimana mungkin aku bisa menikah dengan laki-laki yang sebenarnya masih memiliki rasa dengan Kak Rena?
"Aku bisa mencari pasanganku sendiri, Ma. Aku tidak mau menikah dengan dia."
Aku berlari ke kamar setelah itu, meninggalkan Mama yang masih meneriaki dan memarahiku, mengatakan bahwa aku anak yang tidak tahu diuntung dan tidak mengerti balas budi terhadap orang tua. Apakah aku sejahat itu? Mengapa Mama selalu memaksakan kehendaknya kepadaku? Bukankah aku anaknya juga?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Enung Samsiah
ini baca'annya kepanjangan, jdi serasa mendengarkan orang bercerita ,,,mmbosankan,,,,
2024-01-10
2
Juan Sastra
ggak ngeh,,katanya ibu tiri bearti rena juga kakak tiri dong..trus kenapa protes jika kasihnya ayahnya lebih ke alea kalau bukan papanya lalu siapa kan mamanya tiri..
2023-04-21
0
◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾
huh mama jahat banget
2023-04-18
0