KESUCIAN hanyalah sebuah kata yang dianggap agung. Parahnya manusia sering mendewakan kata tersebut. Padahal, ada sesuatu yang lebih mulia dari itu, yakni hati yang bersih.
Berbagai tespek dengan berbagai jenis dan ukuran telah kucoba. Berharap semua hasilnya negatif, tapi tampaknya Tuhan berkehendak lain. Aku ... hamil.
Kuempaskan semua benda bergaris dua dari atas meja hingga berceceran di lantai. Aku ambruk, melipat kedua kaki, lalu menenggelamkan wajah di atas lutut.
Mengapa? Mengapa jadi begini?
Air mataku luruh tiada henti, seolah takdir sedang mencoba bercanda denganku. Di saat aku berdamai dengan keadaan, melupakan tragedi menyakitkan itu, namun takdir justru membuatku terjerat akan benang merah yang tiada habisnya.
Kak Rey, apakah aku perlu memberi tahunya? Tapi, bagaimana jika Kak Rena tahu?
Tidak! Aku tidak mungkin merusak rumah tangga Kak Rena yang baru saja dibangun. Kak Rena tidak bersalah. Dia tidak pantas mendapatkan kepahitan itu. Tapi, bagaimana denganku?
Aku menangis tersedu, meratapi nasib yang kujalani ke depannya. Aku takut Mama memarahiku akan insiden ini. Aku takut kemarahannya justru berimbas pada kehidupanku. Bagaimanapun juga hanya Kak Rena dan Mama keluargaku saat ini. Aku tidak memiliki keluarga lain selain mereka.
Sebuah ketukan di pintu mengejutkanku dan mengalihkan perhatianku.
"Alea, buka! Mama tahu kamu di dalam."
Segera kuseka air mata yang masih menetes, lalu mengusap mata basah menggunakan ujung pakaian yang kukenakan. Aku hela napas dalam-dalam sebelum akhirnya kuembuskan. Bagaimanapun juga isak tangisku tidak boleh sampai diketahui Mama.
Aku segera beranjak dari posisiku, melangkah menuju ke arah pintu untuk membukanya. Dan di sana sudah ada Mama yang berdiri sembari melipat tangan di dada.
"Alea, Rena kemungkinan akan pulang besok pagi. Setelah pulang, mungkin dia akan berkemas untuk pindahan. Mama ingin kamu bantu belanja bahan makanan yang hampir habis di kulkas. Mama akan masak banyak untuk menyambut Rena dan suaminya."
Apa, Kak Rena akan kembali? Tanpa sadar aku mengusap perutku sendiri, teringat akan anak yang kini sedang berusaha tumbuh di rahimku. Apakah aku harus memberitahunya?
"Alea!" Mama kembali menyadarkanku setelah beberapa waktu terbengong sendiri. Aku mengangguk mengiakan.
"Aku bersiap-siap dulu, ya, Ma." Tanpa menunggu persetujuan Mama, aku membalikkan badan. Aku segera menuju kamar mandi, membersihkan wajahku yang pastinya seperti orang bodoh, kotor karena terlalu banyak menangis.
Kupandangi bayangan diriku di cermin yang menempel di dinding atas wastafel. Tampak menyedihkan. Tiada gurat bahagia di sana. Aku berusaha tersenyum dengan menarik kedua sudut bibirku ke atas, tetapi tetap saja. Aku tidak bisa melakukannya.
Kuembuskan napas kasar setelah menyeka bulir air di wajah menggunakan handuk, lalu segera keluar dari kamar mandi untuk mengerjakan tugas dari Mama.
Namun, apa yang kulihat setelah pintu kamar mandi terbuka dengan aku berdiri tegak di sana, cukup membuatku tak sanggup menggerakkan anggota badan.
Mama berada dalam kamarku sedang memunguti tespek-tespek yang tercecer di lantai.
Aku kesulitan menelan ludah. Tubuhku gemetar dengan raut muka pucat pasi.
"Ma-ma!" Panggilku terbata. Dan saat itu juga Mama menatapku dengan pandangan tajam yang sulit diartikan.
"Apa ini, Alea?" Dia menyodorkan tespek-tespek dalam genggamannya kepadaku. Aku diam, tak sanggup mengucapkan sepatah kata. Hanya deraian air mata yang tiba-tiba jatuh membasahi pipi.
"Alea, apa maksud semua ini?" Mama melemparkan semua tespek itu tepat berhambur mengenai wajahku. Tespek berbahan keras itu tentu terasa sakit ketika mengenai wajahku. Namun, rasa sakit itu tak sebanding dengan kemarahan Mama yang sebentar lagi menggelegar kepasaku.
"Kamu hamil?" Dia melotot, menunjukkan kemarahan yang begitu besar. "Siapa yang menghamilimu?"
Aku menggeleng. Aku tak sanggup menjawab perkataannya. Aku takut apabila Mama mengetahui jika yang menghamiliku adalah Kak Rey, beliau akan semakin membenciku. Mama selalu mengatakan jangan mengganggu pernikahan Kak Rena, apalagi berniat mengambil Kak Rey dari Kak Rena. Namun, saat ini aku justru hamil anak Kak Rey.
Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Aku menunduk, tak berani menyentuh rasa sakit dan panas akibat tamparan yang Mama layangkan kepadaku. Hatiku sakit. Apakah semua ini salahku?
"Sudah Mama bilang, sebaiknya kamu menikah. Kalau sudah begini, adanya kamu mempermalukan nama baik keluarga ini. Coba lihat Rena! Dia cerdas, pintar, dan pandai mencari pasangan. Bukan murahan sepertimu yang bisa hamil tanpa seorang suami!"
"Ma!" Aku ingin membela diri, tetapi Mama enggan memberikanku kesempatan bicara.
"Jangan memanggilku Mama. Aku bukan lagi mamamu. Aku tidak memiliki anak tukang zina sepertimu."
Aku menggeleng kuat. Aku bukan tukang zina. Aku hanya diperkosa. Apakah seburuk itu pandangan orang lain terhadap korban perkosaan?
"Tidak, Ma. Aku tidak mungkin sengaja melakukan itu. Aku ... diperkosa malam itu." Tangisku pecah. Bibirku gemetar tak sanggup melanjutkan perkataan. Mama hanya diam setelah mendengar perkataanku. Tubuhnya mundur satu langkah menjauhiku.
"Kemasi barang-barangmu! Aku tidak sudi memiliki anak tukang bohong sepertimu. Keluar dari rumah ini, Alea!"
Aku menggeleng, berlutut di depan Mama, mengiba di bawah kaki wanita yang sangat kuhormati itu. "Ma, ampuni aku, Ma. Jangan usir aku! Ke mana aku harus pergi?"
Tangan Mama secara kasar mendorong tubuhku menjauh. Wajahnya menunjukkan muak serta jijik terhadapku. Seolah sedang menghindar dari sampah yang dianggap najis dan kotor.
Dia melangkah cepat menjauhiku, menuju lemari pakaianku. Diambilnya koper yang kuletakkan di atas lemari pakaian. Segera ia masukkan pakaianku ke dalam koper itu, memindahkannya dengan serampangan.
Aku mengiba, tak membiarkan Mama mengusirku. Papa selalu mengatakan bahwa keluarga ini harus tetap utuh, tidak boleh bercerai-berai selepas peninggalannya. Namun, sekarang aku dengan paksa harus keluar meninggalkan rumah ini.
Aku tergugu dalam tangis, pasrah ketika semua pakaianku telah berpindah dalam koper hitam besar itu. Dan bukan hanya itu, Mama ternyata begitu murka mendengar kehamilanku sampai-sampai tega berbuat hal yang sangat aku sayangkan.
Beliau mengambil surat-surat berhargaku, lalu merobeknya tepat di depanku. Aku ternganga. Ijazah S1 dan SMA-ku telah dihancurkan menjadi potongan-potongan kecil. Padahal aku belum sempat mendapatkan pekerjaan yang layak dengan ijazah itu, tetapi Mama sudah merusaknya.
Sobekan-sobekan itu dihamburkan tepat di wajahku yang sedang berlutut di depannya.
"Keluar! Aku tidak ingin melihatmu berada di rumah ini lagi," ucapnya sembari mendorong koper yang sudah penuh sesak dengan pakaianku.
Mataku memejam, beristighfar berkali-kali. Mama, sebegitu hinanya kah aku?
***
Kuseret koper itu keluar. Hatiku hancur dengan segala kesalahpahaman. Mengapa Mama tidak mau mendengar penjelasanku sedikit pun?
Aku ke kontrakan Rindi dengan mengendarai motor maticku. Namun, di sana kontrakam itu terkunci gerbangnya dari luar. Tampaknya Rindi sedang tidak ada di rumah mengingat dia juga libur kerja hari ini. Segera kuhububgi ponselnya, tapi sekali lagi aku harus menelan kekecewaan. Rindi sedang berada di rumah orang tuanya.
Sore itu ketika aku masih berada dalam kebimbangan, rintik hujan tiba-tiba turun membasahi kepalaku. Aku menengadah, melihat buliran-buliran air yang terjun bebas menerpa wajahku. Mataku memejam dengan buliran air bening keluar dari sudut mata, lalu menyaru bersama rintik hujan.
Mengapa takdir membawaku pada titik ini. Titik terberat akan sebuah ujian kehidupan. Tiada seorang pun yang membersamaiku, menemaniku ketika aku berada di posisi terendah, terhina.
Tuhan, tolong peluk aku!
Aku tak sanggup menjalani kehidupan seperti ini. Aku lelah, ya, Tuhan.
Aku tiba-tiba teringat Papa. Mengapa Papa pergi meninggalkanku? Mengapa tidak mengajakku?
Aku peluk diriku sendiri, menggigil akan derasnya hujan yang tiba-tiba semakin lebat. Aku tidak sempat berteduh di tengah hujan hanya mampu mengerjapkan mata yang terasa perih.
Entah ada bisikan dari mana. Ketika mataku tertuju pada jembatan yang berada di seberang jalan, kakiku tiba-tiba melangkah sendiri. Aku tergiring ke sana, berjalan tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri. Sayup-sayup kudengar teriakan seseorang yang mengumpat padaku. Telingaku seolah tuli. Aku tak sanggup mendengar apa pun secara jelas.
Di sana, ada sesuatu yang mendorongku naik ke atas pembatas jembatan di mana air sungai mengalir deras dan cukup curam. Tanganku merentang, menantang angin dan derasnya hujan yang jatuh merebak ke permukaan bumi. Ya, Tuhan, apakah ini akhir hidupku? Aku tidak sanggup menghadapi semua ini sendirian. Aku pasrahkan tubuh ini ke mana takdir akan membawaku.
Sampai ketika telapak kakiku tergelincir di sana, sayup-sayup kudengar seseorang memanggil namaku. Tubuhku melayang, merasakan seseorang yang tiba-tiba menarik tubuhku dari atas dan memelukku.
"Alea, apa yang kamu lakukan?"
Suara itu. Ya, suara itu tidak asing bagiku.
Kak Rey, kau kah itu?
...****************...
Makasih, ya, yg sudah meninggalkan jejaknya. Maaf tidak bs membalas satu per satu. Bukannya tidak mau, tetapi tidak bisa. Terima kasih atas dukungannya. Semoga betah baca sampai tamat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
bunga cinta
merinding
2023-06-14
0
iyel
kasihan bngt alea😭😭😭😭😭😭😭
2023-04-27
0
◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾
hm angel
2023-04-25
0