Malam itu, hujan tiba-tiba jatuh merebak ke permukaan tanah. Kamar hotel yang kutempati memiliki balkon di bagian belakangnya. Kuulurkan tangan ke sana, menggapai bulir-bulir air yang menciprat ke wajah.
Dari rintik hujan aku belajar keteguhan. Ia selalu jatuh berkali-kali, tetapi tak pernah sedikit pun menyalahkan takdir. Dia tetap menjalankan perannya, memberi pasokan air demi kemaslahatan makhluk bumi.
Di bawah sana, kulihat induk burung sedang berteduh di bawah rimbunnya dedaunan. Ada anak-anak yang ia lindungi dengan sayapnya dari derasnya rintik hujan. Sarang itu dibuat dengan tingkat keamanan rendah, tetapi ia terus berjuang melindungi sang buah hati meski harus merasakan gigil dinginnya hujan malam.
Angin itu mengayunkan ranting-ranting pohon, bergerak ke kanan dan ke kiri. Pasti guncangan yang dirasakan induk burung sangatlah hebat. Dia terlihat tak gentar, tetap memeluk anak-anaknya yang masih kecil.
Tanpa terasa air mataku luruh membasahi pipi. Mungkin, aku berada di posisi yang sama. Dengan segala keterbatasan yang kumiliki, aku harus melindungi anakku, darah dagingku.
Kuelus perutku yang masih datar, dan seketika itu juga rasa hangat menyelimuti. Aku merasakan sebuah rasa sayang yang tiba-tiba menyelusup, melingkupi. Aku menyayangi anakku.
Angin malam terasa semakin dingin. Tanganku menyilang mengusap kedua lenganku. Aku memilih masuk ke kamar dan menutup kembali pintu balkon.
Koper yang sebelumnya kutinggalkan ternyata sudah dikirimkan Kak Rey beserta kunci motor milikku. Hanya ponselku yang hilang di antara hujan deras itu. Mungkin, aku tanpa sengaja menjatuhkannya di sungai saat itu. Kak Rey menggantinya dengan ponsel yang baru. Di sana sudah tertera nomor pribadinya andai aku memerlukan bantuannya. Dan kini, aku kembali pada kenyataan bahwa aku bukan siapa-siapa. Aku berada di sini hanya karena campur tangan Kak Rey. Tapi, jika bukan karena Kak Rey, mungkin aku masih bisa tinggal di rumah dan hidup tenang.
Kak Rey, mengapa harus aku yang bertemu denganmu?
...***...
Pagi ini aku bersiap diri untuk lanjut bekerja. Sif pagi menjadi awal lembaran baruku. Aku tidak melihat Kak Rey setelah lelaki itu mengirimkan barang-barangku yang tertinggal. Aku tidak peduli. Lebih baik dia tidak muncul di hadapanku saat ini.
Tinggal di presidentsuite room hotel bintang lima bertaraf internasional, tetapi bekerja sebagai petugas kebersihan dengan berangkat membawa motor matic sederhana. Mungkin hanya aku yang bisa begini.
Aku menggelengkan kepala menyadari jungkir baliknya kehidupanku. Segera kunyalakan mesin motor dan bergegas berangkat mencari nafkah.
Setelah memarkirkan motor di tempat parkir karyawan, aku segera masuk ke tempat kerja. Tidak ada yang terlalu istimewa, tetapi hanya ini yang bisa kulakukan.
"Alea, sudah baikan?" Kak Saci, rekan satu sifku menepuk bahuku pelan. Aku menjawabnya dengan senyuman.
"Sudah lebih baik."
"Baguslah." Dia meletakkan tas di salah satu loker pribadinya. Aku pun bersiap-siap dengan seragam kerjaku. "Oh, ya, aku dengar Rindi mengajukan resign hari ini. Dia mau ke mana?"
Seketika itu juga aku menghentikan kegiatanku, menatap Kak Saci yang bicara sambil menyisir rambutnya. "Rindi? Risign?" tanyaku memastikan.
Mengapa dia tidak mengabariku? Apa yang sebenarnya terjadi?
Aku lupa jika ponselku hilang. Aku pun tidak tinggal di rumah Mama lagi. Mendadak rasa cemas menggelayutiku. Apa yang terjadi dengan Rindi?
Aku memutuskan ke kontrakannya nanti malam sepulang bekerja.
...***...
Rumah kontrakan Rindi masih terkunci dari luar. Apakah Rindi belum pulang sejak pergi dua hari yang lalu?
Perasaanku kian cemas mengingat Rindi selalu bicara banyak hal denganku jika ada masalah. Tidak mungkin, bukan, dia memutuskan resign secepat itu. Yang aku tahu, dia memiliki dua orang adik yang harus dinafkahi dan ibu yang sakit-sakitan. Terkadang aku membantunya dengan memberikan sebagian gajiku ketika keuangannya sedang terpuruk. Aku tidak masalah akan hal itu. Aku tidak memiliki tanggungan dan gajiku lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari.
Aku mencoba menghubungi nomor telepon Rindi setelah berupaya mengingat-ingatnya. Beberapa kali kucoba ternyata salah sambung. Aku memang tidak terlalu menghafal nomor telepon perorangan. Itu semua karena sudah aku simpan di ponsel lamaku.
Akhirnya aku menyerah. Namun, aku masih mengingat jelas alamat rumah orang tua Rindi yang lokasinya di luar kota. Apakah aku harus menyusul ke rumahnya?
Aku embuskan napas kasar, sedikit menggaruk-garuk rambut. Namun, akhirnya kuputuskan untuk mencari Rindi ke rumah orang tuanya.
Hanya berbekal motor matic dan jaket hoodie berbahan fleace, aku pergi ke rumah orang tua Rindi yang berada di luar kota. Perasaanku cemas mengingat ada banyak hal yang pasti saat ini sedang Rindi lewati. Aku biasa berkeluh kesah dengan gadis itu. Kami lebih mirip saudara daripada hanya sekadar sahabat.
Angin sore itu kuterobos dengan melajukan motor matic ini secepat yang kubisa. Beberapa kali aku melongok ke arah spion, merasakan ada yang sedang membuntutiku. Entahlah, aku mengenyahkan perasaan tidak enak itu segera mungkin. Di pikiranku hanya ingin bertemu Rindi, menanyakan alasannya yang mendadak keluar dari kerjaan. Kami sudah biasa bersama. Aku tidak bisa jika harus kehilangan sahabat satu-satunya.
Hampir dua jam perjalanan, akhirnya aku berhasil memasuki sebuah desa di mana Rindi tinggal. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, setidaknya tidak terlalu malam untuk bertamu. Mungkin, nanti aku bisa menginap barang semalam dan peegi sebelum subuh.
Aku belum pernah ke sini. Hanya berbekal alamat rumah yang Rindi katakan kepadaku di waktu lalu. Aku bertanya ke beberapa penduduk sekitar yang kebetulan sedang berjaga di pos ronda.
"Rindi anaknya Bu Salamah?" Aku mengangguk ragu. Aku lupa menanyakan nama ibu Rindi. "Yang besok akan menikah dengan Kakek Sugi?"
Jantungku tiba-tiba berdetak kencang. Menikah? Dengan kakek-kakek?
Ya, ampun, Rindi? Apa yang sedang terjadi denganmu?
"Di mana rumahnya, Pak? Saya temannya."
Pria paruh baya yang mengenakan peci miring dengan sarung digantungkan di bahu itu mengulurkan tangannya, menunjuk sebuah rumah di ujung sana yang berdinding biru muda. Aku mengangguk mengerti dan mengucapkan terima kasih banyak kepada bapak itu sebelum akhirnya pamit undur diri.
Motor matic kunyalakan, segera bergegas menuju rumah Rindi. Setelah menepikan dan memarkirkan motor, aku melangkah ke halaman rumah yang ditunjukkan oleh bapak tadi.
Rumah model zaman dulu yang belum sempat direnovasi adalah penilaian pertamaku melihat kondisi rumah Rindi. Rumah Rindi jaraknya agak jauh dari tetangga. Banyak lahan kosong yang belum difungsikan di sisi kiri dan kanan rumah itu. Entah milik siapa, yang pasti bukan milik Rindi karena yang kutahu Rindi hanya memiliki rumah peninggalan kakek-neneknya.
Sepasang pintu rumah tidak tertutup dan lampu ruang tamu terang benderang menunjukkan bahwa si pemilik rumah belum tidur. Aku melepaskan sepatu, menaiki teras rumah Rindi sambil mengucaplan salam. Namun, ketika mulut ini terbuka dan belum sempat mengeluarkan suara, terdengar teriakan dari dalam.
Jelas saja hal itu membuatku terkejut. Mungkin ini adalah keburukanku karena bertindak atas dasar naluri tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Aku menerobos masuk ke dalam, dan saat itu juga aku dipertunjukkan pemandangan yang menyesakkan jiwa.
Rindi terkurung, disaksikan oleh beberapa pria bertubuh kekar yang menonton pertunjukan biadap itu. Sementara ibu dan dua orang adik Rindi menangis dengan saling memeluk.
Di sana dengan mata kepalaku sendiri, Rindi dilecehkan oleh pria tua yang lebih pantas menjadi ayahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Eva Susanti
adeh kok gini muter2
2023-08-30
0
bunga cinta
astaghfirullah ada yg lebih kejam
2023-06-14
0
◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾
rindi 😢
2023-04-29
0