Di ruang hampa yang kunamakan hati, aku berteriak. Begitu lelah jiwa dan raga setelah tubuh ini berontak meski pada akhirnya menyerah. Jika sudah begini, apakah seorang wanita akan tetap dipersalahkan?
Tubuh kekar itu mengeliat, membuatku terbebas barang sejenak. Aku berhenti bernapas, takut jika deru napasku membangunkan mata lelap di sampingku. Sedikit kudorong tubuh itu menjauh, memindahkan lengan yang sejak tadi mengurungku semalaman secara hati-hati.
Cahaya matahari mulai merangkak naik ke peraduan, mulai melakukan tugasnya untuk menyinari bumi. Sinarnya berpendar menyelusup di balik tirai-tirai yang tertutup sempurna, lalu menerobos masuk menerpa wajah sosok telanjang di sampingku.
Sejak semalam, aku kesulitan melihat wajah pria itu. Dan kali ini, aku bisa menatapnya dengan jelas siapa sosok yang telah tega menodaiku. Pria berkulit putih, berhidung mancung dengan rahang tegas membingkai wajah. Seharusnya aku terpana dengan wajah yang nyaris sempurna itu. Namun, tidak! Aku sangat membencinya. Kuamati lekat-lekat, mengingat setiap jengkal wajah itu dan kuharap tak akan lagi berjumpa dengannya.
Aku turun dari ranjang, memungut satu per satu pakaianku. Berharap lelaki yang kini masih terlelap di atas ranjang tak menyadari keberadaanku. Rasa takut mengimpitku. Waswas jika memang lelaki itu terbangun dan mulai memaksakan kehendaknya lagi kepadaku.
Rasa nyeri di bagian intiku tak bisa terelakkan. Perih dan sakit. Aku mendesis ringan sembari mengenakan pakaian dalam yang sebetulnya sudah tak layak digunakan. Pria itu telah menyobeknya tanpa belas kasihan. Hatiku kembali meringis melihat seragam kerjaku tak tertolong lagi. Mereka sudah koyak tak berbentuk dan tidak mungkin bisa aku kenakan.
Aku terduduk lemah, bingung harus berbuat apa. Tidak mungkin keluar dari ruangan ini tanpa mengenakan pakaian. Hingga mataku tertuju pada kaus putih polos teronggok di lantai. Segera aku merangkak ke sana, mengambil kaus yang kuyakini milik pria itu.
Jujur, aku jijik dengan apa pun yang berhubungan dengan pria itu. Pria yang bahkan tidak kutahu siapa namanya. Namun, situasi mengharuskanku mengenyahkan rasa jijik itu dan segera mengenakan kaus tersebut secepat mungkin.
Tertatih-tatih aku berjalan, menghampiri tuas pintu yang rasanya terlalu jauh. Peluh membanjiri dahi tak kuhiraukan. Aku terus melangkah meski terseok-seok, berusaha keluar dari ruangan yang penuh kubangan dosa.
...***...
Bukan rumah tujuanku kali ini. Setelah terbebas dari cengkeraman pria itu aku menuju kontrakan Rindi. Bagaimanapun aku berakhir seperti ini karena menggantikan tugas Rindi. Barulah aku sadar jika sebagai pelayan hotel ternyata rentan mendapat pelecehan dari para tamu.
Kuhentikan motorku tepat di pagar besi seukuran dada orang dewasa, lalu menghubungi Rindi yang hari ini masih mendapat jatah sif dua. Meskipun Rindi bekerja di restoran, tetapi sistem kerjanya dilakukan dua sif, sama seperti petugas hotel. Dan secara kebetulan Rindi selalu satu sif denganku.
Tak menunggu waktu lama, Rindi membuka pintu dengan tampilan berantakan. Sepertinya aku mengganggu waktu istirahatnya. Namun, aku tidak peduli.
Sedikit mengernyitkan kening, Rindi berjalan dan mulai membuka pagar rumah kontrakannya lebar. Aku yang sudah terbiasa datang dan menginap di rumahnya segera memasukkan motor matikku ke dalam sebelum akhirnya Rindi menutup pagar kembali.
"Alea, kamu tidak pulang? Bukannya hari ini pernikahan kakakmu?" Rindi akhirnya bersuara. Kerutan di keningnya terjawab sudah bahwa dia penasaran akan kedatanganku yang tiba-tiba.
Kubuka helm di kepala, memperlihatkan rambutku yang acak-acakan dengan mata dan wajah sembab menyedihkan. Rindi terkejut melihat penampilanku. Dia mengguncang tubuhku dengan kedua tangannya.
"Alea, apa yang terjadi denganmu?"
Aku tak bisa menjawab apa-apa. Jiwaku terasa hancur bersamaan remuknya raga yang sejak semalam berusaha keras mempertahankan kesucian. Kupeluk Rindi erat dan dibalas pelukan yang sama. Aku menangis dalam, menenggelamkan wajahku di bahu Rindi yang tubuhnya lebih mungil dariku. Aku terisak, tak kuat menahan beban ini sendiri.
"Ayo, masuk ke dalam! Tidak enak dilihat tetangga."
Aku mengangguk. Rindi menuntunku masuk ke kontrakan kecil yang terdiri dari tiga ruangan: ruang tamu, satu kamar tidur dengan kamar mandi dalam, dan dapur. Dia menyuruhku duduk di sofa single, sementara dirinya masuk ke dapur.
Tak berselang lama, Rindi datang dengan membawa segelas minuman dan duduk bersebelahan denganku.
"Minumlah!"
Aku menerimanya. Setelah berteriak semalaman memaki dan memohon pada pria asing itu, tenggorokanku terasa kering. Tak sempat meneguk setetes air sampai saat Rindi menawarkan kepadaku. Dia masih diam, bersabar menungguku sedikit tenang. Kuembuskan napas kasar, mencoba menetralkan emosional di dada yang terasa sakit dan tercekik setelah meletakkan kembali gelas itu di atas meja.
"Aku ... diperkosa."
Dari gerakan tangan kutahu jika Rindi sedang menutup mulutnya yang terbuka. Dia ikut syok mendengar apa yang telah aku alami. Dia memelukku, erat. Begitu erat sambil menangis.
"Pesanan makanan itu? Katakan, apa karena pesanan makanan itu?" Dia mengguncang tubuhku.
Aku mengangguk lemah. Tak bisa menyalahkan siapa-siapa. Bisa saja saat itu Rindilah yang menjadi korban perbuatan asusila itu seandainya dia tak memintaku menggantikannya. Namun, sepertinya Tuhan masih berbelas kasih padanya dengan mendatangkan sakit perut di waktu yang tepat. Sedangkan aku? Apakah ini takdir yang memang harus kujalani?
Permintamaafan secara bertubi-tubi keluar dari bibir Rindi. Aku hanya bisa menangis menanggapinya. Disesali pun percuma, kehormatanku tidak akan kembali.
"Ayo, kita bisa melapor polisi! Aku akan mengantarmu." Rindi tiba-tiba berdiri setelah mengusap air matanya. Jelas terlihat raut penyesalan serta rasa bersalah di wajahnya.
Aku menggeleng. Aku takut. Rasa trauma masih menghampiriku. Aku butuh ketenangan. Lirih aku mengatakan, "Bolehkah aku di sini sampai siang nanti? Aku harus menghadiri pernikahan kakakku."
Rindi diam membisu. Aku tahu dia kecewa akan keputusanku yang memilih tidak berbuat apa-apa, tetapi kemudian dia mengangguk setuju.
"Mandilah! Bersihkan tubuhmu, lalu beristirahat!"
...***...
Setelah berpamitan pada Rindi, aku memutuskan segera pulang. Aku yakin Mama pasti akan memarahiku karena terlambat pulang. Meskipun terkadang Mama selalu mencari-cari kesalanku agar bisa menimpahkan amarahnya kepadaku. Aku sudah terbiasa akan hal tersebut.
Sudah ramai orang kulihat ketika memasuki gerbang rumah. Jangan membayangkan rumahku adalah sebuah kontrakan kecil atau hunian sederhana mengingat aku bekerja hanya sebagai petugas kebersihan. Rumahku merupakan hunian mewah di kompleks perumahan elite. Itu adalah rumah peninggalan almarhum Papa.
Kami semula hidup bahagia, saling mengasihi dan menyayangi. Namun, semenjak Papa tiada sikap Mama berubah. Entah apa yang terjadi sehingga membuat hidupku berbanding seratus delapan puluh derajat dengan kakakku, Renata. Kak Rena bekerja di perusahaan Papa sebagai manager, sementara Mama menjabat sebagai direktur utama. Namun, aku tidak diperkenankan masuk ke perusahaan keluarga mengingat kemampuanku yang dianggap pas-pasan.
"Alea!"
Aku menoleh segera setelah memasukkan motor ke garasi. Di sana Mama menatapku dengan murka. Sudah biasa.
"Kakakmu jadi pengantin, kamu malah kelayapan."
"Maaf," jawabku tanpa berani membantah. Ya, itu memang salahku.
"Cepat bersiap-siap! Sebentar lagi kakakmu ijab kabul. Semua keluarga sudah hadir, tinggal kamu saja yang masih berantakan."
Aku mengangguk patuh. Segera pergi untuk bersiap diri. Meski sebenarnya peranku tidak terlalu penting, tetapi mungkin Mama ingin agar kami semua berkumpul menyaksikan hari bahagia anak sulungnya.
Seragam keluarga yang berupa kebaya warna peach dengan bawahan batik sudah kukenakan. Riasan tipis sebagai penunjang penampilan tak lupa kusapukan ke wajahku yang pucat. Rasa lelah dan kurang tidur karena terlalu banyak menangis membuat wajahku seperti orang yang sedang sakit. Beruntung ada lipstik yang bisa menyamarkan semuanya.
Aku turun dari kamar menuju ruang tamu yang sudah banyak orang duduk bersila di sana. Hari ini acara ijab kabul di rumah dan dilanjutkan pesta pernikahan di gedung keluarga suami Kak Rena.
Aku ikut duduk di sana, mengitar di tepi dengan Kak Rena dan calon suaminya yang akan melakukan janji suci. Meski dari arah belakang, kulihat mereka sepertinya pasangan serasi. Kak Rena sangat cantik dengan kebayanya, sementara calon suaminya berpostur tinggi tegap dan gagah.
Sampai setelah pengucapan janji suci itu diikrarkan, semua orang berteriak satu kata dengan lantang.
"Sah."
"Alhamdulillah." Penghulu mengucap syukur dan diikuti yang lain. Wajah semua orang tersenyum haru penuh kebahagiaan. Kulirik Mama yang menitikkan air mata penuh syukur. Aku senang melihatnya.
Apakah beliau juga akan bahagia ketika nanti aku menikah?
Tapi, apakah aku bisa menikah mengingat aku sudah tidak suci lagi?
Mataku memejam lemah, menyadari kebahagiaan yang diimpikan semua wanita tampak mustahil terjadi kepadaku. Kepalaku menunduk, seolah aku tak lagi patut berada di acara sakral ini. Hingga seseorang menepuk bahuku dan mengatakan sesuatu, membuatku tersadar dari lamunan.
"Dia Alea, adik bungsuku." Suara Kak Rena mengalihkan perhatianku. Namun, mataku tak langsung tertuju kepadanya, melainkan pada sosok pria yang sudah duduk di depanku dengan pakaian pengantin.
Tubuhku gemetar, raut wajahku mendadak pasi.
Ya, Tuhan, apa yang sudah Engkau rencanakan?
Pria itu, pria yang menikah dengan Kak Rena tak lain adalah lelaki biadap yang telah merenggut kesucianku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
사랑해
aku mulai tertarik dengan cerita nya
2024-01-09
1
Ibunya Fadil
bab pertama langsung suka, bab ke 2 langsung jatuh cinta... keren banget karyamu Thor
2023-07-04
2
Devi Handayani
waduuhhh😳😳😳😳😳
2023-04-28
0