Kami sampai di rumah sakit terdekat sekitar dua puluh menit. Wajah Kak Rey benar-benar pucat. Bahkan, lelaki itu samar-samar hampir menutup matanya.
Sebuah brankar dikeluarkan dari ruang Unit Gawat Darurat, lalu para perawat membantu Kak Rey turun dari mobil polisi untuk berbaring di ranjang berjalan tersebut. Meskipun tubuhku gemetar dan syok dengan kejadian yang barusan terjadi, tetapi aku tetap ikut mengantar Kak Rey sampai di depan ruang operasi.
Aku duduk di sana, di mana kursi berbahan besi berjajar menyamping. Ragaku serta-merta kutumpahkan di kursi itu, menunggu dengan perasaan campur aduk. Bibirku tak henti-hentinya berdoa, memohon pada Yang Kuasa agar Kak Rey diberi keselamatan.
Aku ingin menghubungi Kak Rena, tetapi tiada nomor Kak Rena di ponsel baruku. Aku akhirnya memilih diam sambil menunggu, menatap waswas pintu ruang operasi yang masih tertutup dengan lampu emergency menyala merah di bagian atasnya.
Jangan ditanya bagaimana kondisiku sekarang. Benar-benar berantakan. Hoodie putihku penuh darah, rambut acak-acakan, serta wajah yang sudah kotor penuh dengan air mata. Aku tak peduli akan semua itu. Seolah keselamatan Kak Rey mengalihkan seluruh perhatianku.
Rasa gusar merambat hingga ke hati yang terdalam. Berharap lelaki yang kini sedang berjuang mempertahankan hidupnya itu selamat dari ajal yang sempat menghadang.
Teringat kembali saat dia memberiku pilihan, yaitu ketika aku memintanya untuk menyelamatkan Rindi. Lelaki itu berkata bahwa, dia mau menolong Rindi jika aku menyetujui menikah dengannya. Rasanya pilihan itu begitu sulit bagiku. Di satu sisi Rindi sedang dalam bahaya. Aku tahu betul bagaimana perasaaannya ketika dihadapkan pada sebuah ketidakberdayaan.
Beban berat dipikul Rindi, memiliki keluarga yang benar-benar membutuhkan bantuannya. Dia menjadi tulang punggung keluarga harus dihadapkan pada hal yang membuatnya tertekan. Dia tidak bisa berbuat apa-apa ketika pria tua itu ingin melecehkannya.
Namun, di sisi lain aku tidak mau menjadi orang ketiga bagi Kak Rena. Aku takut menyakiti hati kakakku. Meski aku harus menanggung keputusan untuk pergi dari kehidupan Kak Rey dengan membawa pergi calon anakku.
Akan tetapi, Kak Rey justru menawarkan pilihan yang sulit. Pilihan yang membuatku harus menyetujui permintaannya, mengalahkan segala prinsip dan ketegasanku untuk tidak masuk ke kehidupan pribadinya. Entah keputusanku benar atau salah, yang jelas setelah aku menyetujui menikah dengannya, dia berakhir di sini.
Walaupun aku mengajukan sebuah syarat kepadanya yang mana aku tidak mau dijauhkan dari anakku ke depannya, dia dengan senang hati menyetujui. Aku ragu ketika dia tanpa beban mengatakan tidak akan mengambil anak ini dariku jika aku tidak mengizinkannya.
Lantas, jika bukan karena anak, untuk apa dia bersikeras mau menikah denganku?
Kak Rey tidak menuntut sebuah kontak fisik denganku. Dia juga tidak meminta anak yang kukandung menjadi hak asuhnya. Apalagi dengan jelas dan gamblang lelaki itu mengatakan bahwa dirinya hanya mencintai Kak Rena.
Lalu, untuk apa semua ini dia lakukan?
Aku semakin bingung dengan cara Kak Rey berpikir. Dia begitu rumit dan sulit diterka. Bahkan, entah mengapa lelaki itu bisa berada dekat denganku setiap aku dilanda masalah.
Banyak pertanyaan yang membelenggu kepalaku terkait Kak Rey. Pria itu sangat misterius. Dia pelit bicara dan tidak mau mengatakan apa pun kepadaku. Aku semakin bingung dibuatnya.
Dan sekarang, aku berada di sini dalam sebuah dilema. Merasakan sebuah penyesalan berat karena telah membuat Kak Rey terluka.
Tanganku mengepal dengan saling terjalin, menggenggam kuat hingga memutih buku-buku jariku. Apabila terjadi hal buruk dengan Kak Rey, aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Mungkin aku belum bisa menoleransi perilaku bejatnya di malam ulang tahunku. Penggalan kejadian nista itu masih terbayang-bayang di kepalaku. Namun, aku tidak bisa membencinya setelah banyak hal yang dia lakukan untukku.
Kak Rey pun berkata jika malam itu dirinya berada dalam kondisi tidak sadar. Sebuah kecelakaan di mana cuma aku yang merasakan dan menyadari bagaimana sakitnya. Bagaikan mimpi buruk yang nyata, aku justru hamil meski hanya melakukannya sekali.
Mataku tertuju pada pintu yang masih tertutup di sana. Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Sudah satu jam lamanya mereka berada di ruangan itu, tetapi tiada kabar terkait perkembangan pengangkatan peluru di tubuh Kak Rey.
Detik jam berputar sangat cepat. Entah karena kondisi tubuhku yang lelah atau disebabkan begitu letihnya aku sehingga tanpa sengaja aku tertidur.
Sebuah tangan mengusap bahuku membuat rasa kantuk yang sempat menghampiriku lenyap sesaat. Kelopak mataku mengerjap cepat, menyadari bahwa aku masih berada di kursi tunggu ruang operasi. Mataku tertuju pada lampu emergency yang sudah padam, menandakan operasi sudah selesai dilakukan. Segera aku menoleh ke arah seseorang yang telah membangunkanku.
Dia adalah salah seorang petugas kepolisian yang turut membantu membawa Kak Rey ke rumah sakit.
"Nona, bisakah membantu kami memberi keterangan kejadian?" Pak polisi itu berkata kepadaku.
"Pak, apakah ... Kak Rey ... selamat?" Tidak mengindahkan pertanyaan Pak Polisi, aku justru menanyakan Kak Rey.
Segaris senyum tipis terlihat di wajah tegas itu. Dia mengangguk memberi isyarat. "Dia sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Apakah ada hubungan antara korban dengan Anda?"
Aku mengangguk ragu, lalu berkata, "Dia calon suamiku."
***
Ruang perawatan Kak Rey bukanlah ruang perawatan kelas atas. Dia dirawat di ruangan sederhana dengan seorang polisi berjaga di depan. Aku menunggunya dengan duduk di kursi plastik yang disediakan oleh pihak rumah sakit. Kak Rey masih tertidur dengan mata terkatup rapat.
Dalam posisi seperti ini, aku bisa melihat dengan jelas bentuk wajahnya. Aku tak menampik jika lelaki di depanku sangatlah tampan. Hidungnya mancung dengan rahang tegas membingkai wajah yang selalu terlihat dingin dan angkuh. Kulitnya putih cenderung kemerahan. Mungkin menurun dari ayahnya yang bukan asli warga lokal. Mata hazelnya tentu karena campuran bola mata biru milik sang ayah dengan hitam kecoklatan milik ibunya. Sebuah perpaduan yang sangat sempurna dimiliki oleh seorang laki-laki.
Aku menggeleng kuat-kuat. Bagaimana aku bisa mengagumi paras suami kakakku? Meskipun dia akan menikahiku, tapi bukan berarti aku bisa memilikinya. Dia tetaplah kakak iparku, suami Kak Rena.
Ada sedikit rasa nyeri menyelinap di relung hatiku terdalam menyadari itu semua. Namun, segera kutepis kuat-kuat rasa itu agar segera enyah dari sana. Aku menegaskan dengan sangat jelas bahwa hubungan kami ke depannya hanyalah sebuah status. Tidak lebih dari itu.
Terlalu terlena dengan lamunan, aku tak menyadari jika mata hazel itu telah terbuka tanpa sepengetahuanku. Aku masih termenung dengan pandangan kosong mengarah ke arahnya, tapi di detik itu juga suara serak miliknya mengejutkanku.
"Apa yang kamu lihat?"
"Eh, aku ...." Aku mendadak gelagapan. Bodohnya aku yang ketahuan terus memperhatikan wajah lelaki itu tanpa berkedip. Sialnya, aku bukanlah wanita yang pandai berbohong.
"Bisakah membantuku mengambil ponsel di saku celanaku?" Dia berkata dengan suara teramat lirih.
"Eh, apa? Saku ... celana?"
Jelas saja aku terkejut akan permintaannya. Bagaimana aku yang seorang wanita dengan lancang merogoh saku celananya?
"Tidak bisa, ya?" Dia terlihat kecewa. "Aku kesulitan menggapainya."
Tangan Kak Rey tertanam jarum infus, sementara tangan satunya berada pada satu balutan perban yang membungkus dadanya. Aku mengangguk mengerti setelah menghilangkan pikiran kotor yang tiba-tiba terbesit dalam kepalaku.
"Aku ... coba. Tolong, jangan salah paham!" Aku sengaja mengatakan hal itu sebelum membantu Kak Rey mengambil ponsel di saku celananya.
"Heem." Dia hanya mengedikkan bahu menanggapiku. Namun, sikapnya yang santai justru membuatku gugup.
Perlahan tanganku terulur, mengarah pada saku celana di sebelah kiri paha Kak Rey. Sedikit meneguk ludah, aku akhirnya bisa mendapatkan ponsel yang dimaksud. Segera kukeluarkan ponsel itu dan memberikannya kepada Kak Rey.
"Ini!" kataku setelah meletakkan ponsel itu di atas perut Kak Rey.
"Heem, terima kasih." Dia memandangku setelahnya. "Mengapa wajahmu merah?"
Rasanya saat itu juga aku ingin bersembunyi di bawah kolong brankar. Aku bahkan tidak bisa melakukan manipulasi akan perasaan.
"Bukan urusanmu."
Kak Rey tidak memperpanjang masalah. Aku memalingkan muka ketika dia menghubungi seseorang yang entah siapa. Aku tidak ingin mendengar percakapannya memilih berdiri dari kursi plastik untuk melihat-lihat ke arah luar jendela setelah menekan tombol emergency yang berada di atas ranjang Kak Rey agar dokter datang memeriksa kondisinya.
"Alea!" Dia memanggilku. Bertepatan dengan itu, seorang dokter pria bersneli putih dengan stetoskop melingkar di lehernya masuk ke dalam ruangan.
"Mengapa kamu ada di sini?" Pertanyaan Kak Rey membuatku terkejut.
"Hah?" Pertanyaan apa itu? Tentu saja aku di sini sebagai perwakilan keluarga, bertugas menjaganya.
"Seharusnya kamu kembali ke hotel. Wanita hamil dilarang berada di rumah sakit. Di sini rentan penyakit menular. Kamu harus segera pulang." Kak Rey menatap dokter yang baru saja masuk. "Dok, tolong periksa dia!"
"Tapi, ..." Dokter pria itu terlihat kebingungan.
"Dia sednag hamil. Lihat saja! Dia tidak mengenakan alas kaki. Aku yakin jika kakinya terluka."
Pandanganku menurun ke bawah di mana kedua kakiku menapak lantai rumah sakit. Bahkan, aku baru menyadari jika sejak tadi belum sempat mengenakan sepatuku kembali. Di sana dengan jelas terlihat kakiku lecet dan berdarah. Pantas saja sejak tadi kurasakan perih di bawah sana.
Tapi, ... Kak Rey, mengapa dia tahu semua hal yang bahkan aku tidak menyadarinya?
***
FYI. Novel ini menggunakan POV 1 Alea. (Point of View \= Sudut Pandang) orang pertama Alea. Jadi, apa yang ditulis adalah sesuai dengan perasaan dan sudut pandang Alea.
Thor, apa bedanya Pov 1 dengan novel-novelmu yang lain?
Novel sy yang lain dan novel yang bertebaran di Noveltoon lebih banyak menggunakan POV 3 yang mana semua karakter memiliki peran dalam menunjukkan perasaan. Sementara PoV 1, hanya karakter "aku" yang berwenang menunjukkan perasaan dan sudut pandang.
Ribet amat, Thor! Kenapa gak ganti-ganti aja, setelah PoV Alea, lalu PoV Rey, ganti lagi Pov Rena. Aku sering kok menemukan novel yang gonta-ganti Pov.
Sebenarnya tidak ada larangan jika ingin gonta-ganti PoV. Hanya saja dalam estetika sebuah karya tulis akan memengaruhi keunikan dan ciri khasnya..
Pov 1 memiliki ruang lingkup terbatas. Jadi, di sini pembaca akan menerka-nerka bagaimana perasaan Rey, apa yang dilakukan Rey maupun Rena, dll karena semuanya masih menjadi misteri. Jika saya memutuskan gonta-ganti PoV, maka misteri yang sudah susah payah diciptakan akan lenyap setelah dihadirkan PoV karakter lain.
Daripada gonta-ganti PoV seperti itu, mending saya balik ke stelan awal, yaitu menggunakan PoV 3 seperti biasanya.
Jadi, sampai kapan pun kami gak akan tahu perasan Rey dan apa yang dilakukan Rey selama ini?
Tentu plot akan berkembang, ya. Kita akan tahu apa yang Rey rasakan dan Rey lakukan jika dia sendiri yg mengatakan/mengakui kepada Alea. Atau bisa juga Alea mengetahui dari cerita orang lain tentang Rey.
Jika masih ada kesempatan, selepas "Ternoda sebelum Akad" tamat, saya akan lanjutkan dengan buku baru yang mengusung PoV Rey. Di sini akan mengupas tuntas, bagaimana bisa Rey sampai memerkosa Alea, bagaimana perasaan Rey setelah menemukan seragam Alea yang telah koyak beserta bercak darah di sprei hotel, dan apa saja yang Rey lakukan di belakang Alea sehingga ia selalu datang saat Alea di landa masalah.
Dah atuh, Thor! Jangan banyak cincong, lanjutken!
Okey, sampai di sini dulu.
Bye-bye...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Enung Samsiah
pantesan nggk lulus,,, ini bukannya baca novel tapi baca orang yg bercerita di novel,,membosankan,,,
2024-01-10
0
Martina Milala
semangat thor aku suka semua karya" mu. cara penyampaian cerita pada kami pembaca mudah di fahami.
2023-06-16
2
Devi Handayani
cap cus aku meluncur kesebelah thor.... makin seru dan kumplit penderitaannya🤭🤭🤭
2023-04-29
0