Mataku mengerjap beberapa kali ketika merasakan sesuatu basah menimpa dahiku. Kuulurkan tanganku untuk menyentuh benda tersebut. Sebuah handuk kecil yang dilipat telah kutemukan.
Setelah mengedar ke segala penjuru ruangan, barulah aku menyadari bahwa aku berada di tempat asing. Kepingan kejadian semalam tiba-tiba menyerbu pikiranku. Aku kehujanan, hampir bunuh diri, dan diusir dari mobil oleh seseorang. Dan kini, di mana aku sekarang?
Sebuah gerakan tangan menyadarkanku bahwa di sana aku tidak sendiri. Ada seseorang yang tidur dengan menopangkan kepalanya di atas lengan yang diletakkan atas tempat tidur. Posisinya duduk di sebuah kursi kayu dengan kepala direbahkan di samping lenganku. Wajahnya terlihat kelelahan.
Kak Rey, apakah semalam dia menjagaku? Bukannya semalam dia mengusirku dengan keji?
Bibirku ingin membangunkannya, tetapi ada hal aneh yang saat ini sedang aku rasakan mengurungkan niatku untuk melakukannya. Mataku melebar, mendapati tubuhku telanjang dan hanya berbalut selimut tebal. Siapa yang melakukan ini? Apakah dia?
Belum selesai dengan rasa penasaranku, tiba-tiba lelaki itu terbangun. Buru-buru aku memejamkan mata. Aku tidak ingin berbicara dengannya. Kini, kurasakan tangannya mengambil handuk yang sudah dingin dari keningku, lalu mengganti dengan telapak tangannya.
"Syukurlah, demamnya sudah reda," ucapnya setelah merasakan suhu tubuh di keningku.
Suara dering telepon terdengar kemudian, hanya beberapa detik saja, tetapi sepertinya langsung diangkat olehnya.
"Rena, aku masih ada urusan. Kamu boleh keluar sesukamu. Aku belum bisa meninggalkan urusanku yang belum selesai." Kudengar dia menjawab telepon.
"Iya, aku akan segera pulang setelah selesai. Salam untuk Mama."
Suara itu berhenti. Aku masih pura-pura tidur dengan memejamkan mata, tetapi perkataan lelaki itu selanjutnya membuatku harus mengakhiri sandiwara ini.
"Bangunlah! Aku tahu kamu sudah sadar."
Kelopak mataku langsung terbuka. Mungkin, jika diperhatikan lebih jeli, wajahku sudah merona karena malu.
"Kalau aku mau tidur lagi, apa masalahmu?" Aku menatapnya tajam. Bagaimanapun aku masih kesal dan marah kepadanya. Namun, pandangannya yang mengarah kepadaku membuat diriku teringat bahwa tubuhku sedang telanjang. "Apa ... kamu melihatnya ... semalam?" tanyaku ragu kemudian.
Dia berpaling, membuang muka ke arah lain. Sepertinya tidak ingin membahas kejadian semalam. Jujur saja, aku tidak terima jika dia melihat tubuh polosku untuk kedua kalinya. Apalagi semalam hanya aku yang tidak sadar, tetapi dia dalam kondisi terjaga. Aku tidak yakin dia tidak melakukan apa-apa kepadaku.
"Di mana pakaianku? Aku ingin pergi. Aku harap kamu tidak mengambil kesempatan semalam." Aku bicara ketus, masih sakit hati dengan perlakuannya kemarin malam.
"Mau pergi ke mana? Bukannya kamu diusir dari rumah?" Dia berkata santai tanpa menoleh ke arahku.
"Bukan urusanmu."
"Sebaiknya makanlah dulu. Aku sudah menyiapkan makanan untukmu," ucapnya sedikit ramah kepadaku, tetapi tetap saja terdengar sebagai perintah.
"Aku tidak lapar." Sesaat setelah aku mengucapkan hal itu, perutku tiba-tiba berbunyi.
Sialan! Bahkan, perutku tidak bisa menjaga harga diriku.
Aku melihat segaris senyum samar terbit di bibir Kak Rey dari arah samping. Namun, buru-buru senyum tipis itu menghilang berganti dengan wajah dingin dan datar.
"Jika kamu tidak mau makan, aku bisa membuangnya." Dia beranjak pergi ke meja makan, tetapi secepat mungkin aku menahannya.
Benar-benar laki-laki tidak memiliki hati nurani.
"Tunggu!" Aku menelan ludah, bingung harus berkata apa. Aku tidak boleh terlihat lemah di hadapannya. "Mengapa semalam kamu menolongku? Bukankah lebih baik aku tiada, sehingga kamu dan Kak Rena bisa hidup bahagia tanpa gangguan?"
Terdengar helaan napas kasar dari bibir Kak Rey. Dia lalu duduk di kursi yang tadi ia gunakan tidur.
"Aku ingin kita menikah."
Aku membulatkan mata penuh. Gila! Aku rasa otaknya sudah bergeser jauh dari tempatnya. Bagaimana mungkin dia mau menikahiku dan Kak Rena? Kami adalah saudara. Aku juga tidak mau merebut suami Kak Rena. Aku benci jika harus ditakdirkan menjadi orang ketiga.
"Aku tidak mau."
"Aku bukan sedang menawarimu, tetapi memaksamu. Aku mencintai Rena. Kita menikah hanya sampai anak itu lahir. Atau jangan-jangan ... kamu diam-diam menyukaiku?"
Aku meliriknya tajam. Suka? Omong kosong. Aku bahkan sangat membencinya.
"Jangan bermimpi!"
"Bagus. Itu lebih baik. Setidaknya tiada alasan bagi kita untuk tetap bersama di kemudian hari. Aku hanya ingin menjagamu selama kehamilan anak itu. Tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu sama sekali. Kita akan bercerai setelah anak itu lahir. Aku akan merawatnya bersama Rena dan kamu bisa pergi setelah itu dengan bebas."
Ingin sekali kutampar wajah tampan, tetapi menyebalkan itu, memukulinya berkali-kali agar menggunakan otaknya dengan benar. Namun, aku tak sanggup melakukan apa-apa karena posisiku yang tidak berpakaian. Percuma dia dinobatkan lulusan terbaik Universitas luar negeri, tetapi otaknya hanya dijadikan ganjalan isi kepala serta tidak memiliki hati nurani.
"Aku bisa menghidupi diriku sendiri tanpa bantuanmu." Air mataku seketika itu juga menetes. Kesucianku memang sudah direnggut, tetapi tidak harga diriku.
"Alea, pikirkan masa depan anak itu. Jangan keras kepala! Aku tahu semua ini terjadi karena kesalahanku, tapi ... aku tidak mungkin menceraikan Rena." Dia menatapku dengan pandangan berbeda, tidak lagi tajam dan dingin. "Aku akan merawat dan menyayangi anak itu. Aku janji."
Aku diam. Perasaanku campur aduk. Sakit dan bimbang. Bagaimanapun aku adalah seorang ibu. Bagaimana mungkin tega memberikan buah hati yang telah dikandung dengan susah payah kepada orang lain meski dia kakakku sendiri. Apakah Kak Rey yakin jika Kak Rena akan menerima anak itu? Bagaimana jika Kak Rena justru membencinya?
Aku pasti akan menyesal seumur hidupku.
Hati kecilku mengatakan untuk menolak tawaran itu, tetapi aku sendiri tidak tahu apakah nanti aku sanggup menghidupi anakku, sementara saat ini aku sendiri belum memiliki tempat tinggal dan pekerjaan yang layak.
Air mataku tak bisa kubendung, terus-menerus mengalir tiada henti. Kak Rey masih menunggu jawaban dariku meski bibirku tetap diam membisu.
***
Kak Rey akhirnya pergi setelah lama menungguku berdiam diri. Dia meninggalkan banyak bungkusan pakaian baru yang entah didapat dari mana. Aku hanya bisa menatap tas berlogo butik berserakan di atas meja dengan tatapan nanar.
Ini adalah kamar hotel jenis presidentsuite room milik keluarga Paderson. Hanya orang tertentu yang memiliki kartu keanggotaan yang bisa menyewa ruangan mewah ini. Meskipun aku bekerja sebagai petugas kebersihan hotel bintang lima, tetapi kamar yang aku tempati terlihat lebih elegan dan mewah.
Sarapan pagi sudah disediakan oleh Kak Rey di meja makan. Hidangan lezat itu seketika menjadi perhatianku sekarang. Perutku mendadak lapar. Sepertinya bukan mendadak, tetapi rasa lapar sudah terasa sejak ada Kak Rey, dan saat ini rasa itu sudah tidak bisa ditahan lagi. Oh, ya, aku ingat. Semalam aku melupakan makan malam maupun makan siang. Pantas saja saat ini perutku berteriak minta segera diisi.
Selimut kubalutkan ke tubuhku. Seharusnya aku membersihkan diri terlebih dulu, bukan? Tetapi rasa lapar di perutku tak bisa dialihkan, sehingga hidung ini tak sanggup menahan godaan aroma harun makanan yang masih mengepul uap panas di atasnya.
Dengan melilitkan selimut, aku menuju meja makan. Ruangan kamar ini cukup luas, sangat luas kalau menurutku. Bahkan, letak meja makan tidak banyak memakan tempat. Aku duduk di salah satu kursi dengan menyeretnya lebih dekat ke meja. Setelah berdoa secepat dan sesingkat yang aku bisa, segera kusantap makanan itu dengan lahap.
Dari sekilas pandang saja aku bisa menerka jika makanan itu sangat enak dan lezat. Apalagi ini adalah hotel berbintang lima bertaraf internasional, pasti masakannya dikerjakan oleh koki profesional yang memiliki sertifikat Micheline star. Kak Rey memilihkan beef steak lengkap dengan saus dan sayurannya, kentang tumbuk, serta biji-bijian seperti kacang polong dan almond. Tidak lupa segelas susu hangat sebagai menu pelengkapnya.
Aku menikmatinya dengan rakus, seperti seorang kelaparan yang tidak makan berhari-hari. Di saat mulut ini mengunyah beef steak yang teksturnya lembut menggigit dengan baluran bumbu racikan yang pas, seseorang tiba-tiba masuk, menerobos ke dalam kamar.
"Maaf, aku ketinggalan sesuatu."
Seketika itu aku tersedak, terbatuk-batuk. Kak Rey, sialan! Pasti dia sengaja datang kembali untuk memastikan aku memakan sarapan ini atau tidak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
사랑해
mendingan pergi dari kehidupan rey dan urus anak sendiri pasti bisa
2024-01-09
0
Putikah Putikah
bodohnya engkau alea kalo sampe kamu menuruti keinginan rey..kamu yg akan sakit hati... kamu pasti bisa melalui ujian ini bersama anakmu tanpa bantuan rey
2023-09-07
0
bunga cinta
wakakaka
2023-06-14
0