Terkadang manusia lupa bahwa setiap dari mereka memiliki sifat BINATANG. Mereka akan mengedepankan nàfsu dan syahwat hanya untuk memuaskan naluri zahirnya. Otak dangkal yang mereka miliki hanya disibukkan untuk bagaimana mencari cara mendapatkan kesenangan semata. Padahal PERILAKU BINATANG ternyata lebih terhormat dari apa yang telah mereka kerjakan.
"Berhenti! Apa yang kalian lakukan?!"
Aku berteriak lantang, membuat mereka para lelaki bertubuh tegap menoleh, juga pria tua yang sejak tadi berupaya memaksakan kehendaknya kepada Rindi.
"Alea!" Kudengar suara Rindi memanggilku lirih. Aku hanya bisa memandangnya dengan tatapan iba.
"Siapa kamu?"
Kini, aku melangkah mundur. Pria-pria itu datang mendekatiku.
"Jangan mendekat!" Mataku nyalang, menatap satu per satu orang-orang bertubuh besar itu. "Aku bilang jangan mendekat!"
Mereka menaggapi dengan tertawa mengejek, menatap penuh penghinaan dan remehan ke arahku. Aku beringsut mundur, semakin mundur hingga kakiku tertabrak meja kayu tepat di belakangku.
Lenguhan kecil tanpa sadar keluar dari bibirku. Aku sedikit meringis merasakan sakit pada tumit kakiku. Namun, rasa sakit itu segera kutepis mengingat banyak orang berbahaya yang sedang berada di sekelilingku.
Apakah aku harus kabur?
Tapi, bagaimana dengan Rindi dan keluarganya?
Aku bisa meminta tolong, bukan? Warga yang duduk-duduk di di pos ronda tadi pasti bisa menolongku. Aku melirik ke belakang, memastikam tiada orang yang berdiri di sana. Lelaki berkumis tebal maju mendekat, tetapi segera kutendang tepat mengenai alat kelaminnya.
"Aaaargghh, cewek sialaan!" Dia mengerang kesakitan. Aku tidak peduli. Segera aku bergegas lari untuk mencari pertolongan. Namun, langkah kakiku terhenti padahal belum mencapai ambang pintu. Ada yang menarik rambutku.
Aku meringis menahan sakit, terpaksa berhenti di tempat. Celaka, aku tidak bisa kabur dari tempat ini.
"Lepaskan dia! Jangan melukainya. Tuan, kumohon, lepaskan temanku! Dia tidak bersalah."
Kudengar Rindi memohon pada pria tua di depannya. Padahal dengan jelas lelaki itu tadi sempat melecehkannya. Rindi memohon agar aku dilepaskan saja.
Air mataku menetes. Aku justru menjadi beban Rindi. Harusnya aku datang menolong, tetapi malah memambah masalah.
"Sini, sini kamu!"
Mereka menggiringku masuk ke dalam. Aku hanya bisa menurut karena tarikan rambut di kepalaku semakin kuat. Aku berhenti setelah berada di depan Rindi yang sedang bersimpuh di bawah kaki lelaki tua itu.
Wajah tua itu sekarang menatapku. Entah mengapa, aku merasa tatapannya bukanlah tatapan biasa. Aku melihat penampilanku sendiri. Cukup tertutup karena jaket tebal masih terpakai di tubuhku, tetapi pandangan menjijikkan itu seolah tengah menelanjangiku.
"Kau tidak bilang jika malam ini ada wanita cantik datang ke rumahmu." Senyum kotor yang dipertunjukkannya membuat bulu kuduku merinding.
"Tuan, lepaskan dia! Aku tidak akan kabur lagi. Aku janji akan menikah dengan Tuan." Rindi mengiba, berlutut dengan memeluk kaki pria tua itu. Aku tak kuasa melihatnya. Sebegitu menyedihkannya kah kehidupan Rindi?
"Sayangnya aku berubah pikiran. Dia lebih cantik."
Mataku membulat penuh ketika dia semakin mendekatiku. Aku berontak dari cekalan pria-pria kekar yang tadi menggiringku. Kaki kutendang-tendangkan, berusaha menjauh dari manusia berakhlak binatang di ruangan ini.
"Jangan mendekat!" Aku berteriak lagi. Rindi menahan kaki pria tua itu yang hampir mendekatiku. Tubuhku gemetar. Trauma pemerkosaan yang dilakukan Kak Rey masih membekas di kepalaku. Dan kali ini, apakah kejadian itu terulang lagi?
Tidak, aku harus pergi! Aku harus kabur dan mencari pertolongan.
Di saat lelaki tua itu semakin mendekat, seseorang di belakangku melepaskan tarikannya pada rambutku. Aku terbebas sejenak, tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Pria tua di depanku justru berganti mencengkeram daguku.
Menjijikkan. Dia menatapku dengan pandangan memuakkan. Aku berusaha mundur, tetapi punggungku justru menabrak dada tubuh kekar di belakangku. Rindi semakin menangis, kepalanya menggeleng dan terus memohon.
Meski tubuhku gemetar, tetapi aku tidak akan membiarkan pria tua bangka yang tidak ingat umur ini menyentuhku. Segera kulayangkan tanganku untuk memukulnya. Namun, lagi-lagi ditahan oleh orang di belakangku.
"Mau main kasar, heem?"
"Bedebaah! Lepaskan, Pak Tua! Aku tidak sudi kau sentuh." Dia terkekeh, menunjukkan deretan gigi kuning hasil terlalu banyak mengisap tembakau dan sukses membuatku semakin jijik. Perutku sontak merasa mual. Aku ingin ... muntah.
Tanpa sengaja aku tak sanggup membendung gejolak di perutku. Aku memuntahkan isi perutku tepat di depan Pak tua itu dan sedikit menciprat ke pakaian serta wajahnya.
"Kurang ajar! Bocah tengik."
Aku mengusap bibirku dari bekas muntahan, lalu memandang wajah Pak Tua yang tampak meradang. Melihat lelaki yang berada di belakangku membantu Pak Tua membersihkan pakaiannya, segera kugunakan kesempatan itu untuk kabur.
"Hei, siapa saja, tangkap wanita itu!" Dia berteriak memerintah. Aku yang tidak berani menoleh, semakin mempercepat langkah untuk keluar dari rumah Rindi.
Segera kunaiki motor yang terparkir di depan halaman Rindi. Namun, aku tidak mendapati kunci motorku.
Sialan! Sepertinya kunci motorku terjatuh di dalam rumah Rindi. Tiada waktu untuk kembali, aku harus lari. Dua orang pria mengejarku ke tempat parkiran motor. Namun, segera aku turun dari sana. Dengan bertelanjang kaki karena tidak sempat memasang sepatu, aku berlari kencang ke tempat yang lebih terang. Pencahayaan jalan menuju ke rumah Rindi belum terpasang sehingga aku harus menajamkan mata dengan berbekal cahaya rembulan.
"Hei, jangan lari!" Suara teriakan itu semakin membuatku takut. Tubuhku gemetar, peluh di dahiku keluar lebih banyak. Angin malam yang berembus sama sekali tak banyak berimbas dengan keringat kepanikan yang keluar dari tubuhku.
Ya, Tuhan, tolong bantu aku!
Aku berteriak meminta tolong, berharap orang-orang yang ada di pos ronda di depan jalan tadi bisa mendengarku. Lokasi rumah Rindi memang terbilang agak jauh dari rumah-rumah penduduk lain. Aku harus berlari agar bisa meminta bantuan.
Dua orang berpostur besar itu semakin mendekat. Aku semakin gemetar. Aku takut tertangkap dan dijadikan pelampiasan oleh pria tua hidung belang yang tidak ingat umur itu. Bagaimana bisa tingkat keamanan di desa ini sangat rendah sehingga di saat ada orang berbuat buruk pada warganya tidak ada yang tahu. Sepertinya pos ronda hanya dijadikan tempat nongkrong warga sekitar, bukan sebagai pusat keamanan.
Kakiku perih merasakan kerikil-kerikil kecil yang menggelincirkan telapal kakiku. Aku menahan rasa sakit itu sambil terus berlari dan berteriak, berharap ada seseorang yang mendengar teriakanku dan mau menolong.
Celaka! Sebuah batu besar menghalangi langkahku. Aku terjungkal, merasakan sakit luar biasa di jari kakiku yang tersandung. Hampir saja aku terjerembab ke semak-semak, andai tidak ada seseorang yang tiba-tiba menangkap tubuhku.
"Jangan lari-lari! Ingat, kamu sedang hamil!"
Suara itu, suara itu membuatku menengadahkan wajah, menatap sosok yang telah menolongku nan hampir terjatuh.
"Kak Rey!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Fatimah Lamat
intersting
2023-10-23
1
bunga cinta
ooohhh
2023-06-14
1
◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾
kalau rey sampai menikahi alea dan bercerai dengan rena, lagu lama
2023-04-29
1