Di malam penghujung akhir Oktober, setelah hampir sebulan kejadian memilukan terjadi, kehidupanku lebih tenang dari sebelumnya. Mama tidak lagi membahas masalah pernikahan denganku. Kak Rena dan Kak Rey masih belum pulang dari liburan berbulan madu.
Sesekali Kak Rena mengirimkan foto-foto mereka berdua di Whatsapp, dan mengunggahnya di laman sosial medianya. Ada beberapa destinasi wisata yang mereka abadikan dengan kamera.
Kak Rena berdiri di bawah bunga sakura yang sedang berbunga indah dengan payung berwarna senada, berpakaian khas wanita Jepang, tampak anggun dan menawan. Mereka juga menginap di salah satu hotel dengan pemandangan gunung Fuji yang tampak indah memanjakan mata.
Bukan hanya Jepang yang menjadi tempat tujuan mereka, tetapi beberapa negara lain yang ada di Eropa. Keduanya terlihat bahagia dan saling mencintai, terlihat jelas dari sorot mata yang saling temu pandang. Aku ikut senang melihatnya. Setidaknya pengorbananku dengan tidak membahas masalah pemerkosaan itu membuat Kak Rena bahagia.
Aku memasukkan smartphone ke dalam tas kembali setelah puas menjelajah laman sosial media Kak Rena. Malam ini adalah sif terakhirku dan akan berganti sif pagi setelah libur keesokan harinya. Aku bergegas menaiki motor matic untuk menuju ke tempat kerja.
Dinginnya malam tak membuatku lemah dan bermanja-manja. Meski keluargaku adalah keluarga berada, tetapi Mama tidak pernah menawarkan pekerjaan yang lebih baik untukku. Ijazah S1 tak membuatku cepat mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bakatku. Ya, tentu saja karena jumlah lulusan tiap tahun sangat banyak, tetapi lowongan pekerjaan tidak memadai dengan jumlah pencari kerja yang selalu bertambah banyak setiap tahunnya.
Mama mengatakan bahwa aku harus mandiri tanpa bergantung kepadanya. Tidak perlu menggunakan nama keluarga untuk mendapatkan kedudukan tinggi dan pekerjaan layak. Dia ingin aku bekerja sesuai kemampuanku.
Dan beginilah keterampilanku. Menjadi tenaga kebersihan di sebuah hotel berbintang. Dan itu pun atas rekomendasi Rindi yang saat itu kebetulan bertemu di sebuah toko kaset langgan kami.
Bulan Oktober adalah musim penghujan. Angin malam yang terasa dingin menggigilkan saraf-saraf dan aliran darahku. Biasanya tidak seperti ini. Aku bukanlah wanita lemah. Fisikku cukup kuat, bahkan saat pulang malam, aku sering kehujanan. Tak pernah sekali pun terserang demam maupun flu.
Namun, berbeda dengan beberapa malam ini. Aku jadi sering merasa pusing dan lelah. Sepertinya daya imunitasku menurun atau sedang tidak baik-baik saja.
Setelah memarkirkan motor di parkiran khusus karyawan, aku segera menuju ke tempat absensi sebelum berganti seragam di ruang ganti.
Perutku rasanya diaduk-aduk, ingin muntah dengan tubuh berkeringat dingin. Kusandarkan punggungku sejenak di dinding berlapis marmer hitam legam dengan semburat warna emas yang tampak elegan. Kupijat pangkal hidungku yang mendadak pening. Sepertinya aku masuk angin.
"Alea, kamu baik-baik saja, kan?"
Suara seseorang yang kebetulan berada di ruang ganti karyawan menegurku. Aku menggeleng. Wajahku pasti sudah sangat memucat.
"Kak, sepertinya aku masuk angin," kataku lemah. Aku sudah tidak tahan. Rasanya benar-benar tidak nyaman.
"Sudahlah, sebaiknya kamu istirahat. Nanti biar aku yang memberi tahu Manager."
Aku menanggapi dengan anggukan karena bahkan pada saat itu bibirku terlalu lemah untuk bersuara. Sebuah dudukan berbahan besi yang berada di ruang ganti kugunakan untuk mengistirahatkan tubuh ini sejenak. Setidaknya sampai rasa mual di perutku menghilang.
Kugapai smartphone yang ada di tas slempangku, menghubungi Rindi untuk memintanya mengantarkan segelas teh hangat kemari. Paling tidak minuman hangat bisa meredakan rasa mual yang saat ini mendera perutku.
Aku menunggu Rindi dengan menyandarkan kepala di dinding yang dingin. Sekitar lima menit kemudian, Rindi datang dengan segelas teh hangat di tangan kanannya. Perempuan itu segera membungkuk ke arahku, meletakkan gelas teh hangat di sampingku.
"Wajahmu pucat sekali." Dia tampak cemas mendapatiku lemah seperti ini. Aku hanya mengangguk mengiakan. Namun, hidungku tiba-tiba merasakan aroma aneh yang membuat perutku rasanya seperti diaduk-aduk.
Tanganku terangkat, menutup mulutku sendiri. "Rindi, parfum apa yang kamu pakai? Baunya sangat menyengat."
Aku tidak kuat. Segera kubangkit dari duduk, berdiri untuk melangkah menuju wastafel. Dan di sana, aku mulai mengeluarkan isi perutku secara brutal.
Rindi mendekatiku, tetapi segera kutahan menggunakan telapak tangan kananku yang terbuka lebar.
"Berhenti! Tetap di sana."
Rindi menurut. Aku kembali pada kegiatanku yang muntah-muntah tiada henti.
Aku lemas. Tubuhku merosot di lantai. Mataku berkunang-kunang.
Rindi datang membantuku berdiri. Kali ini, aku mencoba bernapas dari mulut, takut mual setelah mencium aroma parfum yang dikenakan Rindi. Didudukkan kembali tubuhku di atas kursi besi yang sebelumnya kutempati. Rindi menyodorkan teh hangat kepadaku.
"Minumlah! Wajahmu sangat pucat."
Aku menurut, menyesap minuman hangat yang dibawakan Rindi kepadaku. Perlahan, cairan keemasan itu mengalir hangat di tenggorokanku, lalu merasuk ke lambung. Rasanya sangat nyaman, sampai Rindi mengucapkan sesuatu hingga membuat aku tersedak.
"Alea, kamu tidak sedang ... hamil, bukan?"
Syok. Kusemburkan teh yang berada dalam mulutku. Aku tersedak dan terbatuk-batuk. Keterlaluan. Mengapa Rindi menduga jika aku hamil?
"Apa yang kamu bicarakan? Tentu saja aku tidak ha--" Mulutku terbuka. Aku baru teringat jika jadwal meinstruasiku seharusnya datang sekitar tanggal dua puluh bulan ini. Namun, sekarang sudah lebih satu minggu dari jadwal yang seharusnya. Aku tergagap. "Ha-mil? Tidak mungkin."
Aku memandang wajah Rindi dengan menggeleng. Aku tidak mungkin hamil, bukan? Aku tidak sanggup jika itu benar terjadi kepadaku.
"Apa kamu merasa lemas, letih, dan lesu belakangan ini?" Rindi kembali menanyaiku. Aku mengangguk lemah dengan menggigit bibir bawahku.
"Penciumanmu lebih sensitif?" Sekali lagi aku mengangguk.
"Terlambat datang bulan?" tanyanya lagi. Dan kini, aku menjawabnya dengan air mata yang tiba-tiba menetes, berderai di pipi.
"Rindi!" Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan.
Tidak, ini tidak boleh terjadi. Aku tidak bisa menerimanya. Tangisku pecah begitu saja. Rindi mendekapku, memelukku erat. Dia mengucap maaf kepadaku. Mungkin dia benar-benar merasa bersalah. Namun, aku tak memedulikannya. Aku hanya memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika benar ada janin yang sedang tumbuh di rahimku.
Bagaimana aku harus menghadapi ini semua? Bagaimana aku memberi tahu Mama?
Serangkaian pikiran menerjang dan mendera kepalaku. Amarah Mama yang sudah pasti aku dapatkan. Dan ...
Kak Rena, aku pasti akan mengecewakannya.
Ya, Tuhan, apa yang harus aku lakukan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Devi Handayani
duh kasian alea😥😥😥😥
2023-04-28
0
◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾
hm aku berharap si pencuri mahkota alea yang mual muntah
2023-04-25
0
Juan Sastra
kamu salah alea mereka tuh ggak pernah sayang sama kamu justru mereka senang melihatmu menderita...terlebih rena yg katamu kakakmu yg peduli dan menyanyangimu dia hanya pamer bahwa dia bisa lebih swgalanya dari kamu sementara kamu tidak lebih berharga dari pelayan atau babu..mereka bersenang senang dengan harta warisanmu..kamunya aja yg bodoh dan di bodohi
2023-04-21
0