Senja baru saja turun. Semburat sinarnya yang keperakan memantul sendu di ujung hijabku. Sepoi angin berembus mengusap dingin mukaku, seolah mewakili hati yang rasanya begitu sunyi.
Meskipun hari ini adalah hari pernikahanku, tetapi bukan bahagia yang kurasakan, melainkan kabut pekat yang seolah datang menghadang tepat di depan mataku. Tak selaras dengan bibirku yang melengkungkan senyum, karena pandanganku mendadak kabur dan berembun.
Pernikahanku dilaksanakan di sebuah masjid yang berada di pinggiran kota. Pernikahan yang terlihat sunyi karena tidak ada kehadiran keluarga satu pun. Saksi yang mengetahui pernikahan kami kebanyakan dari penduduk sekitar dan beberapa karyawan yang sengaja Kak Rey utus dari perusahaannya. Seorang wali hakim telah duduk bersila saling berhadapan bersama penghulu, dipisahkan sebuah meja kecil dengan Al-Quran di atasnya. Kami menunggu kehadiran Kak Rey.
Jemariku saling bertaut, sangat gugup dengan situasi seperti ini. Apakah Kak Rey akan datang mengingat semalam dia baru saja melakukan operasi pengangkatan peluru?
Walaupun pernikahan ini sangat sederhana tidak seperti perayaan pernikahan pada umumnya, tetap saja aku akan sangat terluka jika Kak Rey akhirnya tidak datang untuk melakukan prosesi ijab kabul yang sejak semalam ia minta. Bagaimanapun seorang mempelai wanita akan merasa sangat malu apabila pernikahan yang dilakukan sangat sederhana berakhir batal karena mempelai laki-laki tidak datang.
Hampir satu jam kami menunggu. Bisik-bisik tidak mengenakkan mulai terdengar di telingaku. Aku mencoba tetap sabar dan berdoa semoga mimpi buruk tidak berlanjut sampai mempermalukanku di hari pernikahanku sendiri.
"Kak Rey, kamu di mana?"
Aku mengirimkan pesan kepada Kak Rey, tetapi tampaknya pesan itu tidak dibaca olehnya. Aku juga menghubunginya, tetapi ponselnya ternyata tidak aktif.
Jangan sampai dia mengerjaiku dengan tidak menghadiri pernikahan ini. Aku tidak akan memaafkannya jika memang itu sampai terjadi. Jangan harap dia bisa melihat anaknya di kemudian hari apabila hari ini dia benar-benar berniat mempermalukanku.
Para undangan mulai tidak sabar. Ada yang sudah berdiri ingin meninggalkan tempat, ada juga yang berusaha bersabar dengan mengobrol meski bahan obrolannya tidak ramah didengar.
Mataku mulai berembun. Bibirku bergetar.
Kak Rey, mengapa kamu jahat sekali? Aku sudah menolak menikah denganmu, tetapi kamu justru memaksaku. Namun, apa yang kamu lakukan sekarang? Kamu telah merusak kepercayaanku.
Semua orang menatapku. Aku semakin menunduk, menyembunyikan air mata dan raut muka kecewaku. Tangan kuremas hanya untuk meluapkan kekesalan terhadap Kak Rey. Lelaki itu sudah sangat keterlaluan.
Hampir dua jam berlalu. Aku sudah tidak tahan lagi. Sudut mataku sudah meneteskan cairan jernih. Buru-buru aku menyekanya, menatap semua orang dengan menunjukkan wajah tegar. Aku tidak secengeng itu, menangisi lelaki yang tega melukai dan mengecewakanku.
Mereka semua memandangku dengan cemas terutama para karyawan Kak Rey. Aku tidak peduli. Semuanya telah berakhir. Tidak ada pernikahan hari ini.
Aku beranjak dari posisiku yang sebelumnya duduk bersila, membawa buket bunga yang sejak tadi kuletakkan di sebelahku.
Mereka tampak panik dan segera menghadangku, tetapi segera kutepis agar memberiku jalan. Hati ini merasakan sakit luar biasa di kala kebohongon dipertunjukkan dengan cara yang tidak manusiawi.
Mengapa Kak Rey setega itu?
Tiada yang berani menghalangiku. Aku sudah muak dengan drama ini. Mungkin Kak Rey menganggap semua ini hanya sebuah permainan. Sungguh, permainan yang dia maksudkan sama sekali tidak lucu.
Aku berusaha tegar di kala hati telah remuk dengan ketidakhadirannya. Berjalan melewati para tamu undangan untuk segera keluar dari rumah suci ini. Bodohnya aku yang dengan muda dipermainkan olehnya. Seharusnya aku sadar di kala dia mengatakan hanya mencintai Kak Rena. Mana mungkin seorang suami yang mencintai istrinya akan tega menikahi wanita lain, bukan? Tapi, aku justru percaya saja dengan segala ucapan yang terdengar tulus dari bibirnya.
"Bodoh, bodoh, bodoh!" Karena Kak Rey, aku berani mengumpat di area Masjid. Seharusnya dia tidak perlu memberiku pelajaran sampai seperti ini? Memang apa salahku kepadanya? Bukankah aku hanyalah korban. Dia begitu tega melakukan ini kepadaku.
Kak Rey, aku membencimu.
Aku menunduk mencari sepatu untuk kukenakan. Suara tamu undangan terdengar mencibir atas tindakanku. Sungguh, aku berusaha menulikan telinga agar ejekan-ejekan itu tidak membuatku kian terpuruk.
Sial! Mengapa memakai sepatu sulit sekali? Aku kesulitan memasang sepatu dengan mengaitkan tali pada gespernya karena tanganku begitu gemetar. Dadaku kian sesak, aku yakin semua mata tertuju padaku dengan berbagai macam perasangka.
Akhirnya dengan susah payah sepatu berhasil kukenakan. High heels itu tiba-tiba membuatku kesulitan berjalan. Lagi-lagi aku mengumpat di dalam tangisku yang tertahan. Mungkin aku seperti wanita gila yang sedang kabur di hari pernikahan.
Sejujurnya aku bingung akan ke mana. Pikiranku melayang dengan rasa bimbang melanda. Kembali ke hotel sama saja dengan mempermalukan diriku sendiri. Akan tetapi, aku tidak memiliki tempat lain untuk berpulang.
Aku harus menerima pengalaman yang memalukan ini dengan menguatkan hati. Tidak boleh sepenuhnya percaya dengan bujuk rayu laki-laki. Aku merutuki diriku sendiri.
Alea, mengapa kamu sangat bodoh?
Sampai ketika aku berhasil mencapai gerbang masjid, sebuah motor yang pengendaranya mengenakan jaket hijau dan helm hijau dengan logo perusahaan ojek onlie melintas, lalu berhenti tepat di depanku membuatku ikut menghentikan langkah. Seorang penumpang mengenakan stelan rapi turun dari atas motor sambil mengeluarkan pecahan ratusan ribu.
"Kembaliannya buat Bapak saja," ucapnya sambil melepaskan helm di kepalanya.
Sontak, seketika itu juga mataku membulat terkejut.
Kak Rey ... naik ojek?
"Terima kasih, Mas." Kudengar tukang ojek tadi mengucapkan terima kasih, lalu memutar motornya untuk segera pergi dari hadapanku.
Dan sekarang, pria yang sejak tadi ingin kumaki dan kumarahi malah tersenyum tanpa dosa melihatku.
"Mengapa di luar? Mau naik ojek?"
Astaga, dengarlah! Pertanyaannya sangat menjengkelkan.
"Bodoh, bodoh, bodoh!" Kutimpuk dia dengan buket bunga yang sejak tadi kubawa. Aku pukulkan kepadanya berkali-kali tiada henti. Aku kesal, aku kesal. Ya, Tuhan, mengapa punya calon suami menjengkelkan seperti ini?
Kak Rey hanya menghalangi pukulanku dengan lengan kirinya yang diangkat. Dia terlihat santai dengan sikapku yang rasanya sudah ingin membunuh orang. Aku ingin memukulinya lagi, kalau bisa melepas sepatu hak tinggiku dan menimpuknya berkali-kali sampai dia babak belur. Tapi, aku tidak tega. Dia tentu masih kesakitan, bukan? Semalam saja dia baru operasi, pasti rasa sakit itu belum sepenuhnya sembuh.
Setelah puas memukulinya dengan buket bunga hingga bunga indah itu berguguran di pavingan luar masjid, barulah aku berhenti.
"Mengapa berhenti? Siapa yang kamu bilang bodoh?" tanyanya dengan ekspresi yang masih sama ... menyebalkan.
"Aku yang bodoh!" jawabku kesal. Wajahku benar-benar tidak bisa dikondisikan. Tidak bisa tersenyum sama sekali apalagi menanggapi candaannya. Kak Rey tidak berusaha membujuk atau menghiburku, tetapi tanpa meminta izin dariku dia menarik lembut lenganku yang berbalut kebaya panjang, mengajakku masuk kembali ke dalam masjid.
"Jadi, Aku belum terlambat, bukan? Kita masih bisa menikah?" bisiknya di telingaku.
Aku hanya menurut saat lengan kekar Kak Rey menarikku dan menuntunku untuk memasuki rumah suci itu. Entahlah, di detik itu juga rasa kesal dan amarahku mereda, hilang entah ke mana. Segaris senyum tiba-tiba muncul di bibirku. Para undangan tampak tenang dengan duduk mengitar di setiap sudut ruangan. Aku dan Kak Rey berada di tengah-tengah di mana ada wali hakim dan penghulu yang siap menikahkan kami.
Dan hari ini, tepat di minggu kedua bulan November, aku dan Kak Rey resmi menjadi pasangan suami istri.
Aku menyambut uluran tangannya, mencium punggung tangan kekar itu dengan penuh ketakziman. Sudut mataku rasanya basah, berembun. Tidak menyangka jika acara sederhana ini ternyata begitu sakral dan mengharukan. Andai kedua orang tuaku hadir. Andai ada keluarga yang ikut meramaikan dan menyaksikan ini, begitu sempurnanya pernikahanku. Namun, aku sadar. Ini hanyalah pernikahan status, bukan pernikahan sesungguhnya yang diimpikan para wanita.
Dia mengecup keningku dengan mataku yang terkatup. Lalu, bibirnya membisikkan sesuatu. "Alea, terima kasih mau menikah denganku."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Gabriela Ony
seruu...yakin ku sih Rey cinta nya ke Alea
2023-12-10
0
kalyani
kk author terimakasih novelnya bagus buat penasaran..
2023-09-24
1
Wiek Soen
penasaran dg Ray
2023-05-25
0