Astia, Ellena dan Laven berada di penginapan.
Mereka semua mencemaskan seorang laki-laki sedang terbaring di tempat tidur.
Ellena berusaha menyembuhkan dengan sekuat tenaga, dia berusaha memaksimalkan sihir penyembuhannya dengan sisa mana yang ia punya.
Pendarahan hebat yang sedang dialami Yuuki, tapi Ellena berusaha sebaik mungkin.
Ia berusaha mengembalikan posisi tulang kaki yang telah patah, lalu memperbaikinya dengan sihir penyembuhan.
"Ellena apa yang harus kubantu? Aku sangat resah karena tidak bisa apa-apa..."
Astia sangat kecewa dengan dirinya sendiri. Tidak bisa melindungi orang yang paling dia sayangi, dia hanya muak atas ketidak berdayaannya. Karena itu Astia mencoba menawarkan bantuan.
"Yah kalau kau bisa tolong beli beberapa perban dan sebuah gips."
"Baiklah akan kuusahakan!" Astia bangun saat menunggu Yuuki, dan berjalan keluar.
"Tunggu Astia, kau yakin akan keluar di situasi yang kacau ini."
Astia diberhentikan oleh Laven secara tiba-tiba.
Diluar penginapan yang sedang mereka tempati, sedang dalam kekacauan karena sebuah pembantaian di dalam arena sehingga keributan tidak dapat dihindari.
"Tapi, aku tidak bisa membiarkan..."
Keresahan terus menumpuk di dalam diri Astia, dia tidak bisa berdiam diri dan terus menunggu Yuuki yang sedang menderita. Itu akan terus menyakiti hati dan mental Astia.
"Tenanglah Astia. Kau tidak terlalu mengenal tempat ini bukan? Kalau begitu aku saja yang akan pergi."
"Kau yakin? Padahal lukamu cukup parah. Kalau dibilang begitu Sebenarnya aku lumayan mengerti tempat ini sih."
Astia mencoba menutupi perasaan hancurnya dengan perilakunya yang kikuk.
Namun, karena Astia juga pernah tinggal di kota ini meskipun tidak lama, dan ketika bersama Yuuki malam itu, mereka juga menelusuri jalan dan tempat di ibukota ini.
"Astia lihatlah dirimu! Selama Ryuuji sedang menyiapkan serangan magis, kau itu selalu menjadi pertahanan dan penyerang garis depan kami. Banyak luka ditubuhmu, kenapa kau tidak menyadarinya? Kau itu selalu berusaha keras untuknya! Hargai dirimu sendiri! Jadi tolong untuk beristirahat kali ini saja."
Karena perkataan tegas Laven, Astia tidak bisa berkata apa-apa. Tapi didalam hatinya, ia mengatakan kalau keberadaannya selama ini karena Yuuki, tanpanya ia tidak bisa hidup. Jadi Astia hanya tidak ingin kehilangan Yuuki meskipun nyawanya yang menjadi taruhannya.
"Y-ya baiklah kalau begitu."
"Oh ya, kusarankan sebaiknya kalian pergi dari kota ini sekarang. Ini untuk lebih aman. Oke? Akan kutunggu kalian satu kilometer dari gerbang ibukota. Dah!"
"Hey!"
Seketika Laven yang sedang terluka langsung meninggalkan tempat itu.
"Jadi bagaimana sekarang, Astia?"
Sambil mengusap air mata yang tersisa di matanya, Astia mengatakan "Ayo kita pergi."
Astia berusaha mengembalikan semangatnya, dia tidak boleh terus bersedih, karena selama Yuuki tidak ada, dia yang harus mengambil alih pimpinan.
"Baiklah."
Mereka membereskan barang-barang yang perlu mereka bawa, tidak terkecuali barang bawaan Yuuki. Mereka berdua saling membantu untuk menggendong Yuuki yang masih pingsan, menuju gerbang keluar kota.
Keadaan ibukota sedang kacau. Banyak dari mereka yang mengevakuasikan diri dari tempat ini, pintu dan jendela ditutup rapat-rapat. Mereka yang berhasil melarikan diri dari arena menjadi buruan para iblis, karena para iblis itu menganggap bahwa saksi tidak boleh dibiarkan hidup. Orang yang membantu saksi juga mereka bunuh. Jadi banyak pembantaian di segala tempat. Ini adalah hari yang terberat bagi penduduk Ibukota Kekaisaran Engrayn
"Ellena, dimana Gorou?"
"Dia menunggu kita di luar gerbang kota, saat ini dia terluka, tapi setidaknya ada yang menunggu kita. Ayo cepat, keadaan kota ini sedang kacau. Aku harap gerbang kotanya tidak ditututup."
"Kenapa?" Tanya Astia.
"Kemungkinan orang-orang penting di ibukota ini tidak ingin para penduduknya pergi karena sebuah kekacauan, jadi mereka akan menutup gerbang."
"Itu gawat."
"Ya, itulah yang kukhawatirkan."
Lalu mereka bergegas hingga mencapai gerbang keluar kota, tapi keadaannya sudah menjadi dugaan terburuk Ellena.
"Kita terlambat."
Gerbang keluar sudah ditutup. Orang-orang berusaha keluar dengan membawa keluarga mereka atau orang lainnya ingin keluar dari tempat ini, mereka berteriak seperti "Keluarkan kami dari tempat ini!" dan "Buka gerbangnya!" tapi tidak ada jawaban dari keluhan mereka semua.
Padahal mereka tidak salah karena berusaha menyelamatkan diri mereka sendiri, tapi orang yang lebih berkuasa tidak ingin mereka melarikan diri hanya karena keegoisan mereka.
Orang-orang itu berusaha mendobrak gerbangnya tapi karena terlalu tebal jadi tidak ada yang bisa merobohkannya.
"Bagaimana Laven melarikan diri dari situasi ini? Apa dia sudah pergi sebelum gerbang ini ditutup?"
"Tidak, kupikir tidak begitu."
"Jadi?"
"Dia pergi lewat jalan lain..."
Jalur rahasia itu... dia pasti lewat situ.
Astia sudah menduga itu dari awal.
"Apa? Apa kita bisa melewati jalan itu?"
"Kupikir untuk sekarang sudah tidak bisa. Sudah terlambat untuk melaluinya, kita harus berjalan ke timur lalu melewati arena itu lagi... itu sangat jauh. Lagipula kalau kita ke sana kita tidak dapat menghindari bertemu para iblis itu."
"Begitu ya, baiklah kau benar. Jadi kita harus bagaimana?"
Apa yang harus kulakukan? Yang kupikirkan hanya mendobrak gerbang itu dengan paksa, tapi...
Astia tidak menemukan ide untuk keluar dari tempat itu. Tapi ketika dia melihat tas yang sedang ia bawa...
"Tas ini..."
"Tas apa itu?"
"Sebenarnya ini adalah tas Laven yang sedang disita Tuan Yuuki. Laven menyimpan peralatannya di tas ini. Aku ingin tahu apa ada barang yang berguna..."
Lalu Astia membuka tasnya.
Dia menemukan benda yang bisa meledakkan cahaya, tapi itu tidak berguna di siang hari ini. Astia langsung mengeliminasi benda itu.
Lalu Astia mengeluarkan benda yang agak kasar berbentuk bola.
"Apa ini?" Astia bertanya kepada Ellena.
"I-Itu bom asap...! Sepertinya itu akan berguna untuk membubarkan orang-orang itu!"
"Itu berarti kita benar-benar akan hancurkan gerbang itu?"
"Bukan kita, tapi kau."
"A-aku?!!" Astia terkejut, dia tidak berpikir akan mengatasi akan mengatasi masalah ini..
"Tentu saja! Manaku sudah hampir tidak tersisa dan juga aku tidak punya kekuatan yang seperti itu."
"Hah! Kau itu Sorcerer tahu!! ... Yasudah aku tidak perlu menambah masalah."
Mungkin Ellena juga mempunyai alasan lain sehingga dia tidak bisa melakukannya, tapi Astia sudah tidak memikirkannya.
Sekarang waktunya bagaimana cara Astia menghancurkan gerbang yang cukup kuat itu.
Astia memiliki elemen air, tapi dia berpikir kalau serangan dengan elemen sepertinya tidak akan terlalu berefek pada gerbang yang terbuat dari sejenis logam itu.
Yang Astia butuhkan adalah serangan yang dapat menghancurkan, bukan, setidaknya dia dapat menjebolkan gerbang itu meskipun dia sedang tidak diuntungkan.
"Hmm... aku butuh 'tekanan' yang sangat kuat."
Ya, itulah jawabannya.
Astia membutuhkan elemen airnya menjadi lebih kuat dengan tekanan yang dahsyat. Seperti tekanan air di lautan terdalam.
Astia sudah mendapatkan jawabannya. Dia mengarahkan tangannya ke gerbang. Dia akan konsetrasi membuat serangannya.
"Ellena, tolong lemparkan bom asap itu untukku."
"Hehh~ aku juga? Aku lagi kerepotan menggendong Yuuki lho."
"Tolong."
"Yah baiklah kalau kau memaksa... Iyahhh!"
Ellena melempar beberapa bom asap ke arah kerumunan yang menempel depan gerbang keluar itu.
Bom asap itu menyentuh tanah, meledak, lalu dengan cepat menyebarkan asap dimana-mana yang menghalangi pandangan.
Kemudian, dengan berantakan orang-orang itu, terengah-engah, menjauh dari tempat itu dengan cepat.
Karena itu Astia kembali fokus pada serangannya.
Gumpalan air muncul, terus muncul, gumpalan air itu membesar seperti mau meledak.
"Lagi, lagi! lebih kuat lagi!"
Air yang telah dikumpulkan Astia membengkak. Semakin lama air itu semakin gelap. Menjadi biru yang sangat gelap. Sehingga cahaya matahari tidak dapat menembus air itu. Ada bayangan gelap dibawah air itu. Itu menunjukkan betapa kuatnya serangan itu.
Lalu...
"Tembak!!"
Dengan kecepatan penuh, gumpalan besar air itu melesat dengan ganas.
Mereka menabrak gerbang tebal itu, menembusnya, menghilangkan gerbang keluar itu seutuhnya.
Ini adalah serangan yang merusak. Bila serangan itu mengenai manusia, sudah dipastikan mereka pasti akan hancur. Bukan karena kecepatannya, tapi menyentuhnya saja akan menghancurkan bagian dari tubuh itu.
Setelah Astia sudah tidak bisa mengendalikannya, gumpalan besar air itu menghilang diterpa oleh hambatan udara.
"Ayo!"
Katika Astia membuat serangan tadi, para penjaga gerbang yang melihat serangan itu lari terbirit-birit, mereka tahu kalau mereka akan mati kalau mengenai serangan itu.
Dan akhirnya mereka berhasil melarikan diri dari kota itu.
****
Beberapa ratus meter dari gerbang utama kota, Gorou sedang memulihkan diri dengan sihirnya, dia adalah ahlinya.
Selagi dia memulihkan diri di dalam kereta kuda, Gorou masih menunggu kedatangan mereka bertiga.
Lama sekali mereka.
"Suara apa tadi, aku harap mereka baik-baik saja. Aduh duh duh...! sakit sekali."
Gorou masih merasakan sensasi serangan tadi. Punggungnya merasakan terbakar yang disebabkan oleh iblis di kastil tadi, jadi dia membutuhkan sedikit pertolongan karena agak sedikit susah meraih punggungnya sendiri.
Beberapa menit kemudian...
"Ooi Gorou! Itu kau?"
Dari kejauhan, Gorou mendengar suara di belakangnya.
"Ah itu mereka...Kenapa kalian lama— Eh kenapa Yuuki?"
"Bicaranya nanti saja! Kita harus cepat-cepat pergi... Beberapa ratus meter lagi ada yang menunggu kami di sana."
"Ehh siapa? Lalu bagaimana dengan lukaku? aku kesulitan."
"Cepatlah, Yuuki lebih penting saat ini!"
"Iya iya."
Mereka menaiki kereta kudanya, lalu pergi menuju ke tempat yang dijanjikan Laven.
"Astia, bantu aku, pangku kepalanya."
"B-baik!"
Ellena kembali membuat sihir penyembuhan. Kerusakan di kaki Yuuki belum sepenuhnya diperbaiki. Dia harus konsentrasi dengan sihirnya.
"Ellena, sebenarnya apa yang terjadi?"
"Biar, aku yang jelaskan."
Astia menganggap Ellena butuh konsentrasi untuk melakukan penyembuhan, jadi untuk menjelaskan situasinya dia yang berinisiatif untuk menjelaskan semuanya pada Gorou.
"Hmm aku sangat menyayangkan adiknya diculik. Aku rasa iblis yang menculiknya adalah iblis yang sama yang melukaiku. Mereka memang bukan tandingan kami semua, tapi ketangguhan Yuuki memang sangat mengangumkan, dia dapat menahan dua iblis tingkat tinggi sekalipun."
"Tapi sebagai gantinya Tuan Yuuki..." Tapi Astia masih tidak menerima itu semua.
"Kau sedih karena kau mempunyai orang yang kau sayangi kan. Tapi seharusnya kau harus senang, senyumlah! Tertawalah! Karena kau mempunyai orang yang melindungimu meskipun dia tahu nyawanya menjadi taruhannya."
"Tapi bukan itu yang kumau... kalau aku terus lemah dan tidak bisa apa-apa, aku hanya menjadi beban bagi Tuan Yuuki. Saat itu, aku hanya bisa melihat Tuan Yuuki dari belakang, melihat punggung teguhnya saat dia membuat serangan, merasa kagum karenanya, tapi aku tidak berbuat apa-apa. Padahal aku hanya ingin berjalan di sampingnya, bertarung di sampingnya."
"Begitu ya. Aku mengerti perasaanmu."
Ketika orang terdekatnya bertarung bertaruh nyawa, tapi Astia hanya bisa melihatnya dari kejauhan dan tidak bisa apa-apa. Itu sangat menyakitkan bagi Astia.
Itulah yang Gorou pikirkan tentang Astia. Gorou sudah menganggap dirinya sendiri sebagai mentor untuk Astia, tapi dia juga tidak bisa berbuat lebih untuknya.
Ini adalah pertarungan yang harus dilewati oleh Astia sendiri.
"Hey Ellena apa di sini saja?"
"Ya, kita tunggu sini."
Kereta kuda mereka berhenti beberapa saat untuk menunggu seseorang.
"Kenapa dia tidak muncul?"
"Kau menunggu siapa?" Seseorang mengatakan itu.
"AHH!!"
Ellena sangat terkejut karena kehadiran seseorang tanpa disadari.
"Laven seharusnya kau tidak boleh mengagetkan Ellena, dia tidak tahu trikmu itu."
"Ahahaha kau benar Astia. Mungkin yang bisa menyadarinya cuman Ryuuji doang kan."
"Ah~ itu tidak baik untuk jantungku. Kau itu mengganggu Yuuki tahu! Ngomong-ngomong mana barangnya?"
"Ah ya ini barangnya. Ambil saja semuanya."
Laven memberikan satu tas penuh dengan berisi perlengkapan medis.
"Terima kasih."
"Oh ya Laven ini tasmu, tadi aku mengambil beberapa bom asap untuk keluar dari gerbang kota. Ngomong-ngomong kau dari markas?"
Ketika Astia berbicara tentang itu, wajah Laven sedikit kesal, tapi Laven sudah tidak perlu mempermasalahkan hal itu.
"Cih! Untuk saat ini akan kulepaskan kau, lain kali akan kubunuh kau."
Tidak ada ketakutan dari wajah Astia meskipun Laven berkata seperti itu, hanya wajah senyum tak berdosa. Lalu tanpa aba-aba, Laven menaiki kereta kuda dan duduk di dekat Yuuki.
"Apa yang kau lakukan?!"
Laven tidak mempedulikannya, tangannya ditaruh di atas kepala Yuuki. Lalu beberapa saat kemudian dia melepaskannya lalu turun dari kereta.
Ellena dan Astia hanya menatapnya kebingungan.
"Apaan, aku hanya mencoba memperbaiki pemrosesan otaknya agar dia tidak stres."
"Begitu ya. Terima kasih."
"Ya. Kalau begitu sampai jumpa."
Kemudian kereta kuda itu pergi menuju tempat mereka pulang, meninggalkan Laven sendirian.
Laven hanya menghela napasnya. Lalu dia berbicara sendiri dengan pelan.
"Dengan ini, semoga kita bisa berbicara kembali ya Ryuuji. Ada banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu. Aku menantikannya..."
Setelah itu Laven menghilang entah kemana. Hanya angin lembut yang melewati jalanan itu. Tidak ada jejak apapun, seperti tidak ada orang yang pernah di sana.
Menghilang begitu saja. Itulah yang diharapkan dari pembunuh tingkat tinggi.
つづく
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
aprilynngsh7
april mampir nih ka semangat up nya ya
2022-09-12
2