Empat belas

"Ini hutang keluarga saya beserta bunganya, tolong setelah ini juragan Barja tidak mengganggu saya lagi."

Alsava menyodorkan tas travel hitam berisi uang cash untuk membayar lunas semua hutang keluarga yang selama ini mencekiknya.

Pria paruh baya berbadan gempal dengan perut buncit hanya menatapnya datar. Tidak merespon berlebihan atas tindakan Alsava yang dapat melunasi hutang dalam waktu singkat.

"Padahal aku suka sama kamu, tapi kenapa malah pilih bayar hutang?" tanyanya datar.

Tatapan pria paruh baya itu membuat Alsava tidak nyaman.

"Saya lebih baik membayar hutang dan hidup tenang juragan. Lagi pula kemarin saya sudah menikah."

Alsava ingin sekali segera menyudahi pembicaraan ini dan pulang. Memutus semua hubungan dengan rentenir yang tidak berperikemanusiaan di hadapannya ini.

Juragan Barja berdecak dengan sebal, dia menegakkan punggung lalu menatap Alsava dengan serius.

"Pria pincang begitu mana bisa buat kamu bahagia, masih lebih baik jadi istri kelima ku."

Tanpa rasa bersalah mengatakannya dengan jumawa.

Alsava menyunggingkan senyum sinis mendengar ucapan juragan Bagja yang masih saja angkuh di usianya yang sudah mendekati ajal.

"Maaf juragan, tapi saya lebih memilih menikah dengan pria pincang namun jadi satu-satunya dari pada jadi istri kelima."

Alsava bangkit berdiri seraya merapihkan baju.

"Saya pamit Juragan, mulai hari ini hutang saya lunas. Permisi!"

Alsava segera melangkah keluar rumah juragan Barja tanpa menunggu respon pria paruh baya itu yang tampak sedikit tersinggung.

***

Sepulangnya dari rumah Juragan Barja, Alsava sibuk berbenah rumah ditemani Roman yang hanya mampu duduk memperhatikan saja. Gadis itu tampak bersemangat sekali ingin menjadikan rumah peninggalan neneknya agar nyaman untuk dia dan Roman tinggali.

"Alsava!"

Kegiatan Alsava terganggu oleh suara melengking tinggi yang memanggil namanya. Gadis itu mendengus sebal lalu membuka pintu dengan kesal.

"Kenapa?" tanyanya tidak ramah saat melihat wajah menyebalkan Dea sudah berdiri di depan rumah.

"Minta duit," ucap Dea tidak tahu malu, Alsava mengerutkan dahinya dalam.

"Kamu ngimpi?"

Alsava malas sekali menanggapi tingkah Dea yang kelewatan, selalu seenaknya sendiri. Gadis itu menyilangkan tangan di dada, mengangkat dagu seolah menantang Dea yang terlihat angkuh di hadapannya.

"Semua uang kawinan aku udah kamu ambil beserta Atm ibu. Jadi wajar dong aku minta duit sama kamu."

Dengan santai Dea masuk ke dalam rumah meski harus menyenggol bahu Alsava. Alsava menoleh lalu menatap kesal ke arah Dea yang masuk lalu duduk di kursi tanpa permisi.

"Denger ya, uang yang kemarin sudah habis buat bayar hutang sama juragan Barja, sekarang aku sudah tidak punya uang lagi. Sejak kemarin kamu dan ibu sudah bukan tanggungan aku, porotin aja tuh suami kamu!" tutur Alsava ketus, berdiri bertolak pinggang dengan napas yang memburu.

Emosinya selalu mendidih kalau menghadapi tingkah Dea yang selalu semena-mena pada dirinya.

Dea berdecak sebal lalu bangkit berdiri. Melirik Roman yang duduk diam sejak tadi memperhatikan perdebatan dirinya dan Alsava.

"Pilih suami tu yang bagusan dikit, dia ganteng sih tapi sayang pincang."

Dea menatap rendah Roman hingga membuat Alsava kembali meradang.

"Diam kamu Dea! Jangan pernah hina suamiku lagi, dia laki-laki yang kamu hina jauh lebih baik berkali-kali lipat dari suami kamu Bahri!"

Dengan nada tinggi Alsava membela Roman, dia tidak terima kalau suami sekaligus malaikat penolong pelunas hutangnya di rendahkan seperti itu.

Dea melotot tidak terima Bahri di anggap lebih rendah dari suami Alsava yang hanya modal tampang saja. Sementara Roman beda lagi, priaitu merasa terharu karena Alsava membelanya seperti itu.

"Apa kamu bilang? Jangan sembarangan ngomong kamu ya!" Dea membalas dengan teriakan yang melengking.

"Aku nggak takut sama kamu apalagi sama ibu kamu lagi, mulai sekarang hubungan kita sebatas tetangga bukan keluarga. Jadi kalian sudah bukan tanggung jawab aku lagi."

Alsava menjeda kalimatnya dengan suara yang bergetar menahan kesal.

"Tolong keluar!" lanjut Alsava dengan suara yang kembali meninggi.

"Dasar tidak tahu diri, udah di urus sama ibu tapi malah durhaka."

Tidak lagi Alsava hiraukan gerutuan Dea yang masih tidak terima Alsava memutus hubungan keluarga diantara keduanya yang pernah terjalin di masa lalu.

"Ya tuhan."

Setelah menutup pintu, tubuh Alsava luruh ke lantai rumah yang terbuat dari papan yang sudah usang. Air mata jatuh membasahi pipi, gadis yang terlihat garang beberapa saat lalu kini sedang menangis dengan pilu seraya duduk memeluk lutut.

Hati gadis itu sakit bukan karena sudah memutus hubungan keluarga dengan ibu dan adik tirinya, tapi karena Alsava pernah sangat menyayangi keduanya dengan tulus namun malah dibalas dengan hal jahat yang tidak pernah dia duga.

Roman yang melihat Alsava menangis tersedu di balik daun pintu hanya menatapnya sendu, hatinya ikut sakit seolah bisa merasakan penderitaan Alsava yang dia sendiri tidak tahu persis seperti apa. Pria itu hanya yakin ada alasan kuat kenapa Alsava bisa setegas dan sekeras itu kepada keluarga tirinya.

Puas menangisi rasa sakit dan kecewanya selama 10 menit, Alsava kini bangkit berdiri lalu menghapus jejak air mata di pipi, menghela napas lalu mendekat ke arah Roman yang sejak tadi tidak beranjak dari tempatnya duduk, tidak pula bersuara.

"Maaf ya Bang, aku udah melibatkan Abang dengan masalah di kehidupanku yang cukup pelik."

Dengan tulus meminta maaf, gadis itu menggenggam tangan suaminya dengan lembut lalu kembali menangis dengan kepala menunduk.

Roman menghela napas lalu menarik Alsava ke dalam pelukannya, memgelus lembut punggung istrinya berharap bisa membuat gadis itu sedikit tenang.

Tangis Alsava kembali pecah, merasa dapat tempat yang nyaman untuk berbagi beban, Alsava menangis sejadi-jadinya hingga membuat kaos yang dikenakan Roman basah.

Alsava larut dalam tangis dan kesedihan, sedangkan Roman bersikap layaknya seorang pelindung yang siap memberikan tempat ternyaman bagi istrinya bersandar.

Sampai tiba-tiba suara perut Roman berbunyi nyaring, dengan tidak tahu diri merusak suasana sendu sepasang suaki istri itu. Alsava mengurai pelukan lalu menatap suaminya lekat, sedangkan Roman memaksakan senyum kaku karena malu dan canggung.

"Abang lapar?"

Roman mengangguk ragu. Alsava tertegun lalu melirik jam dinding usang tidak jauh dari tempatnya berada.

"Ya ampun sudah jam 11 siang, maaf ya Bang aku siapkan makanan sebentar."

Roman kembali mengangguk. Sebenarnya sudah sejak tadi perutnya melilit minta diisi, tapi dia tidak tega mengganggu Alsava yang sedang bersemangat bebenah rumah hanya untuk minta makan.

Senyuman pria itu mengembang melihat punggung Alsava yang sedang sibuk menyiapkan makanan untuk mereka santap. Ternyata enak juga punya istri, gumam Roman dalam hati.

"Apa Bang Roman bisa makan masakan kampung?" gumam Alsava seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa bingung sendiri.

"Ah sudahlah, aku masak saja. Mau dimakan ya syukur, enggak juga nggak papa."

Alsava memasak dengan gesit, masakan kampung yang sangat dia sukai. Tumis kangkung, sambal terasi dan goreng ikan asin. Sebenarnya pulang dari rumah juragan Barja, dia memang sempat mampir belanja, tapi tidak sempat memasak karena langsung berbenah rumah.

"Alsava!" lagi-lagi kegiatannya terganggu oleh pekikan seseorang dari luar rumah memanggil namanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!