Tiga

Alsava pulang ke rumah kontrakannya dengan mata sembab dan rambut yang berantakan. Bahkan supir angkot kira Alsava adalah gelandangan atau orang yang memiliki gangguan jiwa. Begitu pun ibu-ibu tetangga kontrakan Alsava yang mengira gadis itu habis kecopetan atau terjadi hal yang mengerikan menimpanya. Akan jadi pengangguran dalam waktu dua hari memang hal yang mengerikan bagi Alsava.

Alsava menghela napas, duduk selonjoran di kontrakan tiga petak bersandar ranjang. Menengadah menatap langit-langit kamar merenungi kejadian hari ini. Dia menyesal, tentu saja. Berniat membantu teman, tapi malah mempersulit hidupnya yang sudah sulit. Benar apa yang dikatakan pak Wiryo, hidupnya sudah sulit tapi Alsava selalu saja membuat masalah yang menambah kesulitah hidupnya.

Gadis itu sekali lagi menghela napas dalam, pikirannya menerawang ke kejadian sore tadi.

"Mbak Irna, aku minta tanggung jawab. Gara-gara bantuin Mbak, kontrak kerjaku terancam tidak diperpanjang." Alsava berucap dengan emosi tertahan.

"Maaf Va, aku nggak bisa bantu. Suamiku mengancam akan menceraikanku kalau memperpanjang masalah ini." Mbak Irna menunduk dan langsung pergi begitu saja.

Alsava terbengong, tidak percaya dengan apa yang dia lihat dan dengar barusan. Ternyata teman yang begitu dia bela malah meninggalkannya di masa sulit dan membutuhkan uluran tangan. Kesal, marah dan kecewa menjadi satu.

Hati Alsava bergemuruh menahan semua perasaan negatif yang tidak bisa dia luapkan. Berlari ke atap gedung lalu menangis sekenjang-kencangnya. Saat Alsava menangis dengan keras, meratapi nasib dan menganggap paling menderita di dunia. Pintu terbuka dengan munculnya seorang pemuda berbadan tegap, pakaiannya rapih dengan rambut yang hitam mengkilap.

Tangisan Alsava seketika berhenti, melangkah mundur dan bersembunyi di balik tembok.

Siapa?

Alsava mengerutkan dahinya dalam. Merasa tidak pernah melihat orang yang sedang membelakanginya itu. Melihat tindakan dan mendengar teriakan pilu orang itu, hati Alsava yang sesak sedikit berkurang.

Ternyata bukan hanya aku yang menderita di dunia ini.

Merasa lega melihat orang lain juga menderita, setidaknya dia merasa memiliki teman sependeritaan meski masalah mereka berbeda. Diam-diam dia merasa lega karena tidak hanya dirinya yang sedang terpuruk sekarang.

"Hidup memang sesulit itu, tapi tidak ada alasan kuat sampai harus bunuh diri." Alsava maju mendekat ke orang itu, berdiri mensejajari tanpa menoleh ke arahnya.

"Jika kamu berfikir kamu yang paling menderita di dunia, kamu salah besar. Di luar sana masih banyak orang malang yang jauh lebih menderita, karena harus berjuang hanya untuk mengenyangkan perut." Alsava berbalik dengan senyuman di wajah, langkahnya ringan merasa sudah jadi pahlawan yang menyelamatkan nyawa orang lain.

"Orang tadi siapa ya?" gumam Alsava pelan, menghela napas lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur yang tidak begitu empuk itu.

"Dia kayaknya orang yang mapan secara ekonomi."

Bola mata Alsava bergulir ke atas berusaha mengingat penampilan pemuda yang dia temui tadi di atap gedung.

"Ck, kukira permasalahan terberat di dunia ini hanya karena uang. Nyatanya orang kaya juga punya masalahnya sendiri," lanjut Alsava lagi.

Matanya sudah mulai terkantuk dan menutup secara perlahan. Tidak butuh waktu lama dia pun jatuh tertidur dengan lelap.

***

"Apa kita bisa bertemu?" tanya Rafan dengan nada lembut pasa seseorang yang berada di sebrang sana. Tangan kanan menempelkan ponsel berwarna hitam di telinga kanannya. Matanya menatap lurus pemandangan di balik jendela kamar pribadinya.

Tangan kirinya sedang menenteng cangkir keramik putih berisi kopi yang masih mengepulkan asap. Rafan dengan tenang mendengarkan respon orang dari pertanyannya barusan seraya menyeruput kopinya dengan hati-hati.

Kening Rafan berkerut kala mendengarkan jawaban seseorang yang sangat ingin dia temui sejak kembali ke indonesia. Jawaban yang sama sekali tidak dia harapkan terlontar hingga membuat hatinya kecewa.

"Kenapa?"

Rafan menghela napas lalu meletakkan cangkir--yang dia pegang--di atas meja kaca yang berada di sampingnya. Mendadak merasa kesal karena selalu mendapatkan alasan yang dia rasa terlalu dibuat-buat.

"Kamu nggak mau ketemu aku Hon?" tanyanya dingin. Matanya masih menatap lurus pemandangan dibalik jendela.

"Hum.. Oke, aku ngerti."

Rafan berucap datar sebelum memutus sambungan telepon tanpa membiarkan orang disebrang sana menyelesaikan kalimatnya.

"Apa waktu dua tahun sudah merubahnya juga?" gumam Rafan bertanya pada diirinya sendiri.

Kini Rafan benar-benar menyesali keputusannya dua tahun lalu. Meninggalkan tunangan yang sangat dia cintai demi lari dari sebuah tanggung jawab. Awalnya hubungan Rafan bersama Lexi--sang tunangan--masih berjalan baik meski harus terpisah jarak. Komunikasi mereka masih berjalan baik walau hanya melalui sambungan video. Lexi juga pernah beberapa kali mengunjungi Rafan di luar negeri sekaligus liburan.

Tapi, beberapa bulan terakhir Rafan merasa Lexi berubah. Gadis pujaannya itu seolah menghindarinya. Jarang mengangkat telepon, selalu menolak saat diajak melakukan panggilan video. Bahkan jarang sekali berbalas pesan seperti kebiasaan mereka dulu.

"Pasti ada yang Lexi sembunyikan."

Rafan yakin sang tunangan sudah berubah karena sebuah alasan. Mengingat hubungan mereka merenggang beberapa bulan terakhir. Bahkan Lexi seolah enggan menemuinya yang sudah berada di indonesia.

Bukannya Rafan tidak berusaha menemui dan menghibungi, tapi saat Rafan datang ke rumah keluarganya Lexi, dia tidak disambut dengan ramah seperti sebelumnya. Dia hanya dapat informasi kalau Lexi sudah pindah tinggal di apartemen beberapa bulan yang lalu.

Berbekal alamat yang diberikan asisten rumah tangga keluarga Lexi, Rafan melajukan mobilnya menuju sebuah apartemen mewah yang merupakan tempat tinggal Lexi sekarang.

Setelah sampai di bassment apartemen Lexi, Rafan tidak langsung turun dari mobilnya. Dia menimbang-nimbang apakah tindakannya kali ini akan memperbaiki hubungannya dengan Lexi atau malah sebaliknya.

Menghela napas dalam, membuka sabuk pengaman lalu turun dari mobil dengan dada yang berdebar. Masuk ke dalam lift menuju lantai 15, di dalam lift ternyata tidak hanya ada dirinya tapi juga seorang pemuda berjaket warna hijau bertuliskan logo ojek online.

Pemuda itu menoleh ke arahnya seraya tersenyum. Rafan hanya mengangguk saja tanpa ikut tersenyum. Keheningan diantara keduanya terpecah karena ponsel pemuda berjaket hijau itu memekik dengan nada yang cukup tinggi membuat Rafan ikut menoleh dan memperhatikan.

"Iya sebetar ya, abang kirim dulu orderan. Sebentar lagi abang pulang, iya.. Iya.. "

Tanpa disadari Rafan terus memperhatikan pemuda itu, merasa diperhatikan ia menoleh lalu tersenyum dan mengangguk.

"Maaf ya Pak, maklum istri sudah cerewet saja padahal baru jam 9. Takut suaminya ngayap kemana aja."

Tanpa diminta pemuda itu menjelaskan seraya tersenyum malu-malu. Rafan hanya tersenyum tipis sebagai tanggapan.

"Pesanannya untuk lantai berapa?" Rafan berbasa basi memulai obrolan.

"Lantai 15."

Rafan mengangguk dan kembali diam, tidak tertarik melanjutkan obrolan meski mereka menuju lantai yang sama. Setelah pintu Lift terbuka di lantai 15, pemuda berjaket hijau itu keluar lebih dulu lalu berjalan dengan cepat mencari unit apartemen tujuannya.

Sementara Rafan melangkah pelan mencari unit apartemen milik Lexi. Rafan mengerutkan dahinya karena sejak tadi dia seperti mengekori langkah pemuda berjaket hijau itu.

Apa Lexi yang pesan makanan?

Betul saja, karena pemuda berjaket hijau itu mengetuk pintu unit milik Lexi. Tidak lama pintu terbuka meski tidak lebar.

"Dengan pesanan atas nama Mbak Lexi?" tanya pemuda berjaket hijah ramah.

"Iya."

Dada Rafan berdetak lebih cepat kala mendengar jawaban 'iya' berasal dari suara yang sangat dia kenal. Melangkah mendekat berusaha melihat orang yang sedang berada di ambang pintu yang sedikit terhalang oleh badan pemuda berjaket hijau.

Semakin dekat jarak Rafan dengan pemuda berjaket hijau yang sedang menunggu pembayaran, maka semakin jelas penglihatannya memastikan orang yang berada diambang pintu itu adalah orang yang dia kenal. Dada Rafan bergemuruh, tangannya mengepal dengan napas yang memburu.

"Terima kasih, jangan lupa bintang limanya."

Setelah menerima pembayaran pemuda berjaket hijau itu pergi. Tubuh Rafan yang terhalang punggung pemuda berjaket hijau langsung terlihat jelas oleh orang yang masih berdiri di ambang pintu.

"Rafan."

Ekspresi terkejut sangat terlihat jelas saat dia melihat Rafan yang berdiri di hadapannya.

"Kamu,-"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!