Sepulangnya dari toko jam tangan dan melakukan transaksi jual beli. Alsava pulang dengan gembira, bagaimana tidak kalau sekarang rekeningnya berubah jadi gendut dalam waktu singkat.
Dengan tipu daya yang handal akhirnya Alsava berhasil menjual jam tangan milik pria yang dia tolong tadi malam.
Tidak ada rasa bersalah sama sekali toh sebagian uang untuk biaya operasi pria itu. Dengan kata lain dia juga berjasa telah mengambil langkah menyelamatkan nyawa, meski harus menjual barang milik pria itu tanpa ijin.
"Ini hal baik yang bisa aku lakukan." Alsava meyakinkan diri, mengulang kalimat itu dalam hati sejak memutuskan akan menjual jam tangan itu pagi tadi.
"Beneran jam tangan itu punya calon suami kamu Va?" tanya Asep tiba-tiba setelah jadi pendiam sejak tadi.
Alsava menoleh lalu mengerutkan dahi. Menatap sahabatnya itu penuh tanda tanya. Mengedarkan pandangan keluar jendela angkot yang sedang mereka tumpangi.
Rambut bergelombang sebahu miliknya sesekali bergoyang karena goncangan kala angkot melewati jalanan berlubang. Angin sepoi juga sesekali menerpa pipinya dengan lembut. Alsava menghela napas pelan, memilih diam membiarkan sahabatnya kembali bertanya.
"Kapan kalian kenal? Calon suami kamu kayaknya orang kaya ya Va, sampe punya jam tangan se-mahal itu?" tanya Asep lagi dengan lesu.
Alsava masih diam dan semakin mengerutkan dahi. Setelah melontarkan dua pertanyaan yang sama sekali tidak Alsava jawab, Asep kembali diam. Dia menundukkan kepala dalam, entah kenapa ada mendung menggelayut di raut wajahnya.
"Kiri!" Alsava berseru untuk memberhentikan angkot yang sedang mereka tumpangi.
Asep mengangkat kepala menatap Alsava dengan bingung, dia melihat keluar jendela lalu mengerutkan dahi.
"Aku janji nanti bakal cerita tapi maaf nggak sekarang, aku turun duluan ya. Ongkos kamu sekalian aku bayar."
Setelah mengucapkan kalimat itu Alsava turun, memberikan ongkos lalu berucap bahwa ongkos yang dia bayar bersama dengan orang yang masih ada dalam angkot.
Tangannya menunjuk Asep yang masih berada di dalam angkot. Supir angkot mengangguk, angkot pun mulai bergerak menjauh.
Alsava masih berdiri di pinggir jalan menatap mobil angkot yang bergerak menjauh. Begitu pun Asep yang masih menatap Alsava lekat dari dalam angkot.
"Kenapa rasanya sesak saat tahu kamu udah punya calon suami Va," gumam Asep lirih. Tangan pemuda itu meraba pelan dada sebelah kanannya, mengusapnya seraya menghela napas berharap rasa sesak itu segera menghilang.
Setelah angkot yang tadi dia tumpangi sudah tidak terjangkau oleh penglihatannya, Alsava membalikkan badan lalu melangkah masuk ke pelataran rumah sakit setelah menghela napas.
Hatinya memang sedikit bimbang kalau pria yang dia tolong semalam akan marah karena dia menjual jam tangan dan menggunakan sebagian uang hasil penjualannya untuk melunasi hutang keluarganya.
"Semoga dia orang yang baik," gumam Alsava seraya melangkah.
Saat Alsava masuk ke ruang rawat yang ditunjukkan perawat, dia melihat pria dengan perban di kepala dan gips di kaki kirinya sedang menutup mata dengan tenang.
Melihat itu Alsava beranggapan kalau pria itu masih belum sadarkan diri setelah tindakan operasi. Gadis itu mendekat dengan perlahan, menarik kursi agar lebih dekat dengan ranjang lalu duduk dengan tenang.
Karena badan yang cukup lelah, terlebih suasana sunyi membuat Alsava terkantuk-kantuk dan secara perlahan menutup mata, tertidur.
***
"Jadi nama aku siapa?"
"Ya?"
Pria di hadapan Alsava mengerutkan dahi melihat ekspresi Alsava yang seperti orang linglung.
"Kamu,-"
"Nama kamu Roman, usia kamu 29 tahun. Pekerjaan kamu sebagai security dan kamu anak yatim piatu." Alsava tidak membiarkan Rafan melanjutkan kalimatnya.
"Jadi nama aku Roman?"
Alsava mengangguk yakin. Rafan tersenyum manis ke arah Alsava mendengar informasi identitas dirinya dari gadis yang merupakan pacarnya, itu yang dia tahu sekarang.
Gila! Hari ini udah berapa kali aku bohong.
Alsava tersenyum kaku membalas Rafan yang mulai sekarang berubah jadi Roman. Nama karangan Alsava semalam saat mengisi formulir persetujuan tindakan.
"Makasih ya, udah ada disisi ku saat seperti ini," ucap Roman alias Rafan lembut.
"Sudah seharusnya Bang," jawab Alsava lembut.
Gila! Mulut ini lancar bener kalau urusan beginian.
Alsava menepuk pelan bibirnya seolah memperingatkan diri sendiri kalau sekarang sedang bersandiwara dan tidak boleh terbawa perasaan.
Jangan baper kamu Va, inget demi terbebas dari hutang yang mencekik! Semangat!
"Jadi kapan kita bertemu dan mulai pacaran?" tanya Roman dengan antusias.
"Ya? Oo.. Ohh kita bertemu beberapa bulan lalu, baru sebulan kenal kita udah pacaran," ucap Alsava sedikit tergugup di awal kalimat tapi lancar pada akhirnya.
"Kamu bilang jatuh cinta pada pandangan pertama dan sangat mencintaiku serta tidak mau kehilanganku. Jadi kamu melamarku satu bulan lalu. Tapi semalam kita bertengkar hebat dan pulang dari kosan aku, kamu jadi korban tabrak lari."
Makin lancar saja karangan Alsava, sekarang ekspresinya juga meyakinkan. Dia sudah seperti aktris yang bermain peran dengan sangat natural, hingga sulit dibedakan mana akting mana kenyataan.
"Oh ya? Bisa terus ceritain gimana aku dan tentang kita?" pinta Roman dengan penuh harap. Alsava mengangguk yakin lalu mulai bercerita karangan bebasnya tentang identitas Roman dan kisah percintaan diantara keduanya.
***
"Apa kamu harus pergi?" tanya Roman lesu, Alsava menatap pria di hadapannya dengan terkejut karena Rafan alias Roman bersikap manja padanya.
"Aku masih harus kerja Bang, nanti aku ke sini lagi setelah pulang kerja." Alsava berucap sambil mengecek barang-barang pribadi di dalam tas slempang miliknya.
"Kenapa nggak minta ijin aja, tunangan kamu kan lagi sakit. Bilang aja ada kepentingan keluarga." Pria yang masih mengenakan baju pasien itu menambahkan ekspresi menggemaskan saat berucap, dia bertingkah manja seolah anak laki-laki yang tidak rela ditinggal oleh ibunya.
Alsava menghela napas lalu menatap pria yang semalam resmi jadi tunangannya itu. Berusaha sabar menghadappi kemanjaan Roman.
"Aku tetep harus masuk Bang, nggak enak soalnya hari ini terakhiran sebelum putus kontrak," jelas Alsava.
"Udah ya aku pamit, kalau ada apa-apa minta perawat aja telepon, aku udah titip pesen juga sama mereka." Alsava mendekat lalu mengusap bahu Roman dengan lembut.
"Ya sudah," gumam Roman lirih seraya menatap kepergian Alsava sendu.
"Apa benar aku sangat mencintai gadis itu? Kenapa hatiku tidak bergetar dekat dia?" gumam Roman ragu seraya meraba perban yang membalut kepalanya.
***
"Apa rencana kamu setelah hari ini?" tanya Asep sambil menatap Alsava sendu.
Alsava yang sedang mengunyah makan siangnya terusik lalau mengalihkan pandangan dari mangkok baso di hadapannya ke wajah sendu Asep.
"Kamu kenapa sih dari kemarin ekspresinya gitu Sep?"
Bukan menjawab malah melontarkan pertanyaan balik pada Asep.
"Jawab dong Va, jangan terus mengalihkan pembicaraan." Asep berkata tegas seraya memalingkan wajah.
"Ya menurut mu apa rencana yang aku punya? Satu-satunya hal yang mau aku lakukan setelah hari ini ya pulang kampung buat lunasin hutang keluarga." Bercerita apa adanya meski tidak lengkap.
"Udah ke kumpul uangnya?" Wajah Asep kini berseri ikut merasa senang sebentar lagi Alsava akan terbebas dari hutang yang selama ini membuat gadis itu cukup menderita.
"Bisa dibilang begitu Sep," jawab Alsava singkat, sengaja tidak menjelaskan.
"Syukur kalau begitu,-"
"Alsava!"
Belum sempat Asep menuntaskan kalimatnya ada suara yang tidak asing menyerukan nama Alsava. Raut wajah keduanya berubah tegang saat menoleh ke sumber suara.
(Bersambung...)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments