Pak Wiryo--supervisor cleaning servis--sedang berdiri bertolak pinggang di ambang pintu. Napasnya naik turun, wajahnya merah padam menahan kesal luar biasa. Menatap Alsava penuh perhitungan. Menghela napas dalam seraya menutup kelopak mata.
"Alsava," ucapnya pelan.
Kelopak matanya terbuka perlahan menatap gadis malang yang dia temukan dua tahun lalu di sebuah warteg dengan pakaian lusuh dan wajah yang kotor. Mendengar kisah hidup Alsava yang menyedihkan, kabur dari rumah dan hampir jadi korban pelecehan preman terminal membuat pak Wiryo iba dan mengajak Alsava bekerja di tempatnya bekerja.
Tapi pilihan yang dia ambil atas rasa kemanusiaan, ternyata merenggut sebagian ketenangan hidupnya terutama dalam bekerja.
"Pak Bos," cengir Alsava tanpa dosa. Tangannya masih memegang roti yang baru dia makan sebagian.
Pak Wiryo menatap wajah polos Alsava sengit. Napas pria paruh baya itu masih saja pendek-pendek. Rupanya amarah masih belum reda meski Alsava sudah menunjukkan wajah polos tanpa dosa yang sejauh ini berhasil membuat pak Wiryo luluh dan memberi maaf atas semua ulahnya yang unik.
Alsava menelan salivannya dengan berat. Pak Wiryo benar-benar marah kali ini. Gadis itu berdiri perlahan lalu meletakkan roti yang dia pegang di atas meja. Asep yang melihat aura mengerikan dari supervisornya itu pun ikut merasa takut dan tegang secara bersamaan. Pemuda itu pun bangkit mensejajari Alsava.
Alsava menunduk dengan jari tangan saling meremas, bersiap menerima kemarahan sang atasan yang sudah tidak terelakan.
"Kenapa selalu bikin masalah?" tanya Pak Wiryo dengan nada pelan namun penuh penekanan.
Alsava menunduk semakin dalam, tidak mampu menjawab bahkan menatap pak Wiryo--orang baik yang sudah dia anggap pengganti ayahnya sendiri.
"Maaf," cicitnya dengan takut.
"Kontrak kerjamu yang akan di putus dua hari lagi mungkin tidak akan diperpanjang."
Kepala Alsava mendongak, menatap lurus pak Wiryo dengan kaget. Bola matanya berkaca-kaca saat melihat raut kekecewaan di wajah pak Wiryo yang begitu ketara.
"Maaf Pak, aku hanya mau bantu Mbak Irna,-"
"Dengan mempersulit hidupmu yang sudah sulit?" pak Wiryo tidak membiarkan Alsava menyelesaikan kalimatnya.
Alsava menunduk kembali, kini isakan mulai terdengar. Tangisnya pecah kala membayangkan akan diberhentikan dua hari lagi. Lalu bagaimana dengan hutang dan biaya hidup keluarga yang selama ini dia tanggung? Apa dia harus kembali ngemis dan ngamen dengan resiko akan dilecehkan oleh para preman? Tidak, Alsava tidak akan memilih jalan mengerikan itu lagi.
Alsava menggeleng pelan, mengangkat wajah menatap pak Wiryo dengan derai air mata. Asep yang tahu kekhawatiran apa yang temannya rasa, mengelus pelan lengan Alsava mencoba menenangkan.
"Kali ini aku tidak bisa bantu, karena masalahnya sudah sampai HRD perusahaan."
"Sava minta maaf Pak, sava mohon!" pinta Alsava memelas, menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. Isakan semakin keras dan air mata tidak berhenti menetes.
"Maaf Va, kalau HRD sudah mengambil keputusan, bapak nggak bisa bantu banyak. Datanglah ke rumah sesekali, ibu pasti bisa hibur kamu." kata pak Wiryo sebelum beranjak meninggalkan Alsava begitu saja.
Hatinya pun begitu sakit melihat air mata dan tatapan putus asa dari Alsava. Tapi dia harus tegas, agar Alsava mengerti untuk tidak selalu membuat masalah dan mempersulit hidupnya sendiri.
Alsava terduduk lemas di kursi yang tadi dia duduki. Matanya melirik roti yang Asep berikan, tidak lagi berselera makan meski masih sangat lapar karena belum makan dari tadi malam. Melihat kondisi Alsava, Asep mengelus kembali lengan gadis itu dengan lembut. Hatinya ikut sesak melihat kondisi Alsava yang seperti ini. Dia satu-satunya saksi hidup setelah pak Wiryo yang mengetahui kisah sulit Alsava.
"Kali ini kamu bikin masalah apa?" tanya Asep hati-hati.
Alsava mengangkat kepala menatap temannya dengan penuh protes. Asep tidak terpengaruh malah terus menatap Alsava lurus menuntut jawaban. Alsava kalah, memilih menundukkan kepalanya dalam.
"Suami mbak Irna yang security itu selingkuh sama resepsionis baru, aku neror dia dengan menakut-nakuti akan melapor ke pihak HRD. Ternyata dia lebih pintar, aku pikir dia akan kapok dan berhenti ganggu suaminya mbak Irna. Nyatanya,-"
Alsava tidak bisa melanjutkan kalimatnya, dan menunduk dalam. Air mata yang tadi mengering kini menetes kembali. Asep menatap Alsava dengan iba, pemuda itu menghela napas pelan tidak mampu berkata-kata.
"Padahal cuma dikasih cepe sama mbak Irna. Tahu bakal jadi pengangguran, aku peras aja ketiganya sampai puas." Alsava berucap gemas, wajah yang menyedihkan kini berubah bringas seperti pihak antagonis dalam sinetron yang sering Asep lihat bersama ibu pemilik kontrakan. Asep beringsut mundur lalu bangkit dan bergegas meninggalkan Alsava sendiri. Pemuda itu bergidik ngeri melihat perubahan ekspresi wajah Alsava yang mengerikan.
"Ngeri banget, untung bukan pacar."
Asep melenggang dengan senyuman tipis di wajah, merasa konyol dengan ucapannya barusan. Sejak kapan dia mengharapkan Alsava--gadis pembuat huru hara--sebagai pacar? Sudah eror kali otaknya ini.
***
"Aku kira, kamu masih betah bermain-main Fan," sindir Rangga dengan senyuman miring di wajahnya.
Pemuda itu berucap santai tanpa meninggalkan singga sangananya. Rafan tidak menanggapi hanya menatap Rangga dingin. Dia semakin yakin kalau sepupunya itu memang tidak pernah mengharapkan Rafan kembali.
"Sudah dua tahun, paman bilang aku harus bersiap menempati posisi yang sejak dulu sudah aku miliki."
Rangga terkekeh mendengar ucapan Rafan barusan, pemuda itu bangkit berdiri lalu melangkah mendekat ke arah Rafan berdiri.
"Dan kamu percaya begitu saja dengan ucapan papa ku?"
Tangan Rangga mengelus pelan jas Rafan lalu merapihkannya, bertindak mengintimidasi Rafan dengan halus.
"Ck, kalau diingat dari dulu papa ku memang selalu lebih mengutamakan kamu dari pada putranya sendiri. Jadi, tidak heran kalau kamu percaya."
Rangga tersenyum miring lalu menjatuhkan badannya dengan santai di sofa di ruangan itu. Mengendurkan ikatan dasi berwarna navy yang dia kenakan, menengadahkan kepala menatap langit-langit ruangan. Sementara Rafan masih diam, berdiri tegak tidak terpengaruh. Menatap sepupunya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Kalau kamu mampu, silahkan duduk di tempat yang seharusnya kamu tempati dua tahun lalu," ucap Rangga lagi tanpa merubah posisinya. Suaranya pelan namun Rafan bisa merasakan ketidak relaan di sana.
"Dua tahun bukan waktu sebentar sampai kamu bisa percaya diri kalau situasinya sama seperti dulu, saat kamu memutuskan pergi."
Rangga bangkit lalu duduk kembali di kursi kebesarannya. Kursi yang sudah merubah hidupnya selama dua tahun terakhir. Rafan menunduk, dia kalah telak. Merasa malu dengan tindakannya yang gegabah dan tidak bertanggung jawab.
"Seharusnya kamu sadar posisimu di sini hanya sementara."
Bukannya meminta maaf karena merasa bersalah, Rafan malah menyulut sumbu permusuhan.
"Baiklah, kalau itu mau mu. Datanglah di rapat direksi dua hari lagi, kamu akan tahu kalau dunia sudah tidak lagi berpihak pada anak manja seperti mu."
"Rangga! Ingat batasan mu!" bentak Rafan marah.
Rangga mengangkat bahu tidak peduli. Tangannya terulur menunjuk pintu, mengusir Raffan dengan isyarat. Raffan mengepalkan tangan, dadanya naik turun menahan amarah yang membuat dadanya sesak. Berbalik dan melangkah keluar dari ruangan CEO perusahaan yang seharusnya sudah jadi miliknya sejak dua tahun lalu.
Dengan langkah panjang Rafan masuk ke dalam lift. Alih-alih memencet tombol lantai dasar, Rafan malah memilih naik ke atas menuju atap gedung. Sesampainya di atap, dia termenung menatap pemandangan kota besar yang dipenuhi gedung-gedung pencakar langit. Menghela nafas kasar lalu berteriak dengan kencang.
Mengendurkan ikatan dasi lalu menendang udara dengan kesal. Sekali lagi berteriak berharap sesak di dadanya berkurang. Merogoh saku celana, mengeluarkan kotak roko dan pematik. Mengambil satu batang lalu melemparkan sisanya ke sembarang arah. Menyulut rokok dan menghisapnya dalam. Air mata jatuh tanpa dia sadari sejak tadi.
Ingatan dua tahun lalu berkelebatan di kelopak mata. Pemuda berbadan tegap itu luruh ke lantai dengan terisak. Rokok yang diapit oleh dua jari tangan kanannya jatuh begitu saja di lantai. Asap putih dari rokok masih saja mengepul meski tak lagi Rafan raih.
Dua tahun lalu, hidupnya yang serba nyaman tiba-tiba tergoncang karena sang ayah meninggal dunia secara mendadak. Rafan yang memang terbiasa hidup serba mudah tidak siap dilimpahi tanggung jawab besar memimpin perusahaan dan malah melarikan diri ke luar negeri. Itulah kenapa posisinya sekarang malah ditempati sang sepupu.
"Hidup memang sesulit itu, tapi tidak ada alasan kuat sampai harus bunuh diri." Rafan terkejut, mendongakkan kepala menatap seseorang yang sedang berdiri di sampingnya. Seorang gadis dengan mata bengkak dan rambut berantakan.
"Jika kamu berfikir kamu yang paling menderita di dunia, kamu salah besar. Di luar sana masih banyak orang malang yang jauh lebih menderita, karena harus berjuang hanya untuk mengenyangkan perut." Setelah mengatakan kalimat panjang yang tidak Rafan mengerti, gadis itu berlalu begitu saja tanpa menoleh ke arahnya. Mata Rafan mengikuti gerakan gadis itu dengan bingung.
"Siapa yang mau bunuh diri?" gumam Rafan pelan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments