Sembilan

"Kenapa kalian liatin aku segitunya?" tanya Irna merasa tidak nyaman dengan tatapan kedua teman kerjanya.

Asep dan Alsava hanya mendengus tidak suka. Lalu melanjutkan memakan bakso yang sudah dingin, meski tidak selera tapi sayang karena sudah dibeli. Pantang hukumnya membuang makanan padahal mereka sering menahan lapar.

"Kenapa sih kalian ini?" tanya Irna lagi, dia benar-benar tidak nyaman dengan situasi ini.

Asep menghela napas dengan kasar.

"Va udah makannya? Kita balik kerja yuk!" ajak Asep pada Alsava yang sudah menghabiskan semangkok baso dan segelas teh hangat. Alsava mengangguk lalu mereka berdua beranjak dari sana tanpa menghiraukan keberadaan Irna.

"Kalian kenapa sih? Masalah kontrak kerja Alsava yang tidak diperpanjang itu bukan salah aku, tapi ya karena kinerja dia aja yang kurang," ucap Irna tidak sadar diri.

Asep dan Alsava menghentikan langkah mendengar ucapan Irna yang semakin membuat hati Alsava tercubit. Asep berbalik dengan hati yang begemuruh.

"Dengar ya Mbak Irna, kami mungkin orang susah, tapi kami tidak pernah melupakan jasa teman sendiri," sindir Asep seraya menatap tajam pada Irna.

Alsava mengayun langkah tanpa menghiraukan Asep dan mbak Irna. Sesampainya di pantry dia duduk di lantai bersandar pada tembok. Gadis itu menghela napas kasar mengingat pembicaraannya semalam dengan ibu nya di kampung melalui sambungan telepon.

"Kamu transfer uang banyak buat apa Nak?"

Alsava tersenyum kecut mendengar ibunya memanggil dirinya dengan kata 'Nak' hal yang tidak pernah dia dengar sama sekali.

"Buat lunasin hutang beserta bunganya," jawab Alsava singkat.

"Wahhh... Hebat kamu Va, kamu dapat uang dari mana?"

Alsava menghela napas mendengar respon ibunya yang heboh.

"Kerja."

Kalau bukan untuk memastikan uang yang dia berikan pada ibunya untuk membayar hutang sampai lunas. Alsava malas sekali melakukan pembicaraan ini.

"Gaji mu sekarang besar Va? Kalau gitu bantu juga biaya nikahan adikmu yang sebulan lagi digelar."

Sudah Alsava duga kalau ibunya akan bersikap seperti ini. Selalu merongrong dan memanfaatkan kerja kerasnya hingga membuat dirinya muak.

"Dea nikah sama siapa?" tanya Alsava malas hanya untuk berbasa-basi. Dia bahkan menguap setelah menyelesaikan kalimatnya.

"Sama Bahri anak pak kades."

Antusias, yang Alsava dengar ibunya menjawab dengan antusias. Bukannya ikut senang hati Alsava malah mencelos seketika.

"Tolong ya Nak, bantu ya!" pinta ibunya lembut.

Kalau ada maunya pasti lembut.

"Mmm.. Ya udah aku tutup."

Tidak mengiyakan maupun menolak hanya bergumam saja, dia malas sekali menanggapi karena akan merembet dengan permintaan selanjutnya.

Selama ini dia selalu mengalah dan berusaha memberikan yang terbaik untuk ibu dan kedua adik tirinya. Tapi semenjak dia mengetahui hal yang selama ini tidak dia duga tentang ibunya, perasaan tulusnya berubah jadi sebuah keterpaksaan.

"Kamu di sini Va?"

Pertanyaan Asep membuyarkan lamunan Alsava. Dia menoleh ke arah Asep yang duduk di sampingnya.

"Ngapa?" tanya Alsava malas.

"Di panggil pak Wiryo."

Alsava mengangguk lalu beranjak menuju ruangan supervisornya.

***

"Bapak panggil Sava?"

Alsava masuk ke dalam ruangan kecil--yang ditempati oleh supervisornya--yang terletak di belakang lobi gedung. Pak Wiryo yang sedang duduk di kursi kebesarannya mengangguk.

"Duduk."

Alsava duduk di kursi yang tertetak di hadapan pak Wiryo, kini mereka hanya terhalang meja kerja milik pak Wiryo saja.

"Sisa gaji kamu akan secepatnya di transfer besok." Pak Wiryo membuka suara memutus keheningan diantara keduanya. Alsava mengangguk lemah, sejak masuk ke ruangan itu dia memang berubah jadi pendiam.

"Rencana kamu apa setelah tidak kerja di sini?" Pak Wiryo bertanya seraya membenahi posisi duduknya.

Alsava menggelengkan kepala pelan tanpa menatap atasannya itu. Pak Wiryo menghela napas melihat tingkah Alsava yang murung.

"Datanglah ke rumah, ibu terus nanyain kamu."

"Baik."

Alsava masih enggan menatap pak Wiryo hingga membuat pak Wiryo kurang nyaman.

"Kamu marah sama bapak?"

"Mana ada Sava... Ekhem... Marah sama bapak," ucap Alsava dengan suara yang bergetar.

Kini pak Wiryo tahu kalau Alsava menunduk dan tidak banyak bicara karena sedang menahan tangisnya.

"Sudahlah, tata hidup mu di masa depan. Jangan terlalu mencampuri hidup orang lain yang bisa mempersulit hidupmu sendiri."

"Makasih Pak," ucap Alsava lirih masih menunduk.

Pak Wiryo hanya bergumam dan mengangguk.

"Makasih karena udah nolong Sava dua tahun lalu."

Kali ini tidak hanya suara Alsava yang bergetar tapi pundaknya pun sudah naik turun. Isakan mulai terdengar, gadis itu mengangkat wajah yang sudah basah oleh air mata. Pak Wiryo bangkit lalu mendekat ke arah Alsava. Pria paruh baya itu menepuk pelan kepala Alsava sebanyak tiga kali.

"Jadilah dewasa dan bijak dalam bertindak."

***

Tidak pernah Alsava sangka kalau dia akan kehilangan pekerjaannya karena sikap sembrono yang selalu mau mencampuri hidup orang lain. Meski begitu, dia harus sadar bahwa ini buah dari ulahnya sendiri dan harus siap menerima semua konsekuensi.

"Pulang kerja makan pecel ayam di pakde Mur yuk!" ajak Asep dengan antusias.

Alsava menoleh ke arah Asep datar. Tangannya cekatan menutup resleting tas selempang setelah memastikan semua barang pribadinya sudah berada di dalam.

"Maaf Sep, tapi aku harus ke rumah sakit."

Alsava melangkah keluar pantry, menempelkan jari telunjuknya pada mesin scaning sidik jari sebagai tanda absen pulang kerja untuk terakhir kalinya. Asep mengikuti aktivitas Alsava tanpa bicara, dia mendadak diam setelah mendengar kata 'rumah sakit', seolah tau informasi apa yang tidak Alsava ceritakan di balik kata 'rumah sakit'.

"Kamu harus nemuin calon suami kamu?" tanya Asep setelah mereka berdua masuk dan duduk berdampingan di dalam angkot. Alsava hanya mengangguk.

"Kamu... Udah janji mau cerita," lirih Asep seraya memalingkan wajah menatap pemandangan di balik jendela angkot.

Alsava menghela napas kasar mendengar penuturan Asep. Dia merasa dipojokkan dan tentu merasa tidak nyaman dengan sikap sahabatnya itu.

"Nanti juga kalau udah waktunya aku bakal cerita kok, nggak usah kamu ingetin terus!" ketus Alsava.

Situasi hatinya sedang tidak baik gara-gara kehilangan pekerjaan, sekarang Asep memperburuknya dengan terus meminta dia bercerita tentang pria yang sekarang jadi calon suaminya.

Asep mendengus tidak suka, dia merasa kecewa karena ternyata dirinya tidak memiliki tempat yang sama istimewanya di hati Alsava, seperti dia menempatkan gadis itu.

***

"Kamu udah bangun?" tanya Alsava sama Roman ketika melihat kelopak pria itu membuka secara perlahan.

"Kamu kapan datang?" bukannya menjawab malah memberikan pertanyaan.

Alsava tersenyum manis ke arah Roman hingga membuat pria itu tertegun melihatnya.

"Kata dokter kondisi Abang udah stabil dan bisa pulang dalam waktu dekat, jadi-," Alsava sengaja menggantungkan kalimatnya.

"Jadi?"

"Abang mau ikut aku pulang ke kampung halamanku nggak?" tanya Alsava memperjelas maksudnya tadi. Roman mengerutkan dahi masih belum mengerti maksud ajakan Alsava.

"Pulang kampung untuk?" Roman perlu memperjelas maksud dari 'pulang kampung' yang Alsava utarakan.

"Kita akan nikah di kampung Bang." Alsava tersenyum malu-malu saat mengatakannya.

(bersambung...)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!