Entah dinamakan apa perasaan aneh ini, yang jelas Roman tidak suka melihat Alsava akrab dengan pria manapun. Termasuk sekarang, hatinya terasa panas dan tidak nyaman melihat Alsava berbincang seru dengan Asep, yang kata Alsava sahabat baiknya.
Pak supir menatap Roman lewat kaca spion tengah lalu bertanya.
"Maaf pak apa kita masih lama?" tanya supir mobil sewaan itu hati-hati.
"Tunggu sebentar lagi," jawab Roman malas, dia pun sebenarnya ingin menyeret Raina untuk pulang tapi apa daya kondisi fisiknya masih belum pulih, untuk berdiri saja masih belum bisa lama. Jalan apalagi, masih harus menggunakan tongkat.
"Yuk berangkat!" sahut Alsava saat masuk dan duduk di samping Roman. Roman menoleh ke arah Asep yang masih menatap mobil dengan sendu.
Alsava membenahi duduknya lalu menoleh ke arah Asep dan melambaikan tangan sambil tersenyum lebar membuat Roman tambah sebal.
"Kok diam aja Bang?" tanya alsava saat mobil bergerak secara perlahan. Roman tidak menjawab hanya memalingkan wajah pada jendela. Alsava tidak bertanya lagi, memilih menyandarkan kepala bersiap tidur dengan nyaman. Perjalanan ke kampung lumayan memakan waktu, cukup untuk Alsava beristirahat barang sebentar.
Baru saja kelopak mata tertutup, tapi sudah terbuka lagi gara-gara teringat barang-barangnya dikontrakan lama belum diambil. Alsava pun menginstruksikan supir untuk mampir ke kontrakannya terlebih dahulu.
Roman menatap lekat Alsava yang sedang berbincang dengan seorang ibu berbadan gempal berwajah judes. Lalu matanya menyisir lingkungan sekitar dan bangunan kontrakan Alsava yang jauh dari kata mewah namun tidak juga kumuh. Masih layak huni untuk kalangan menengah ke bawah.
Alsava terlihat mengeluarkan sejumlah uang dari dompet, lalu memberikannya pada ibu berbadan gempal di hadpannya dan entah kenapa jadi berubah ramah. Apa karena diberi uang? Roman membatin dan terus mengawasi.
Hari sudah semakin siang, matahari yang terik membuat Roman merasakan tubuhnya mulai berkeringat, dia beberapa kali menyeka keringat yang ada di dahinya. Mengibaskan telapak tangan di depan wajah, membuka kaca mobil sedikit agar ada angin luar yang masuk.
Pak supir juga tampak diam dan abai dengan yang dilakukan Alsava apalagi Roman. Dia hanya menghadap depan, duduk di balik kemudi seraya menekuni ponsel yang dia pegang sejak tadi.
"Maaf lama ya Pak," sesal Alsava saat masuk ke dalam mobil meminta maaf pada pak supir yang sudah dibuat menunggu. Pak supir mengulas senyum tipis. Tangan gadis itu meletakkan satu tas travel abu-abu yang terlihat penuh berdampingan dengan tas travel yang dia bawa dari rumah sakit.
"Nggak papa Mbak." Memilih menjawab singkat meski hatihya sudah mulai kesal.
"Apa ada tempat tujuan lain Mbak?" tanya supir dengan ramah.
Alsava tersenyum lebar mendengarnya, dia tahu kalau pak supir sudah mulai kesal karena diminta menunggu sejak tadi.
"Tidak ada Pak, kita langsung ke tujuan saja." Alsava menjawab dengan tenang seraya membenahi posisi duduk. Dia lupa bahwa masih ada Roman yang tidak dia hiraukan sejak masuk mobil.
"Kenapa barang-barang kamu tidak dibawa?" tanya Roman datar, tidak tahan juga dia diam sejak tadi dan Alsava masih tidak mengerti.
Kelopak mata Alsava yang hampir menutup kembali terbuka, dia menoleh ke arah Roman yang sedang menatapnya lekat. Alsava mengulas senyum tipis.
Kenapa aku bisa lupa sama orang ini?
"Saya titip di sini, mobilnya tidak akan muat Bang." Menjeda kalimat, membenahi posisi duduk agar menghadap Roman.
"Apa abang lapar?" tanya Alsava berbasa basi, agar terlihat jadi calon istri perhatian.
Tetap bertanya meski Alsava tahu Roman akan menjawab tidak, karena mereka sudah sarapan cukup banyak di kantin rumah sakit sebelum berangkat tadi.
"Tidak."
Roman menggeleng lalu kembali memalingkan wajah. Dia masih merasa kesal karena Alsava tadi berbincang asyik dengan Asep tanpa melibatkan dirinya.
Wanita ini tidak peka sekali.
Alsava mengerutkan dahi tapi tidak berniat bertanya lagi. Dengan cuek melanjutkan niatnya untuk tidur setelah dua kali gagal.
Hibernasi Va, persiapkan diri dan tenaga sebelum bertemu dengan ibu dan kedua adik tiri tercinta.
Alsava melipat tangan di dada, menutup mata dan sempat meenyunggingkan senyum kecut sebelum benar-benar tenggelam ke alam mimpi.
***
Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu 6 jam termasuk dua kali istirahat untuk sholat dan makan. Mereka akhirnya tiba di kampung halaman Alsava.
Dahi Alsava berkerut dengan mata yang menyipit. Menatap halaman rumahnya yang terdapat tenda beserta dekorasi bunga-bunga, beberapa kursi terlihat ditumpuk lalu banyak sampah kemasan air mineral berserakan seperti telah menggelar sebuah pesta. Gadis itu belum turun dari mobil meski mobil sudah berhenti sejak 5 menit yang lalu.
"Mbak apa benar ini tujuan nya?" tanya pak supir bingung karena Alsava tidak turun dan juga tidak berbicara. Kebingungan itu bukan hanya milik pak supir tapi juga milik Roman yang sejak tadi menatap calon istrinya bingung namun enggan untuk bertanya.
"Benar ini tempat tujuan saya Pak, terima kasih sudah mengantar. Ini untuk uang sewa dan upah pak supir sesuai dengan kesepakatan." Alsava memberikan sebuah amplop yang disambut baik oleh pak supir, dia menyunggingkan senyum setelah menghitung jumlah uang dalam amplop sudah sesuai.
Alsava turun menenteng dua tas travel dan meletakkan tas itu di pinggir jalan. Membuka pintu di samping Roman lalu membantu pria itu turun. Memapah Roman setelah berterima kasih pada pak supir dan melihat mobil bergerak menjauh.
Alsava mengambil satu kursi plastik dari tumpukan, lalu meletakannya di hadapan Roman.
"Abang duduk dulu di sini ya."
Membantu Roman duduk lalu meletakkan dua tas travel di hadapannya. Roman hanya bisa mengangguk, dia bingung dengan perubahan ekspresi wajah Alsava yang terlihat dingin sejak tiba di tempat ini.
Alsava melangkah masuk ke dalam rumah dengan dada yang bergemuruh. Wajahnya merah padam dengan rahang yang mengeras.
"Brak!" Alsava mendorong pintu rumah dengan keras hingga terbuka sempurna. Semua orang yang ada di dalam rumah terlonjak kaget dan menoleh. Tiga dari empat orang yang ada di ruangan itu menatap kedatangan Alsava dengan terkejut. Terlihat kalau tidak ada yang mengharapkan kedatangannya.
Alsava mengedarkan pandangan mencari orang yang bertanggung jawab atas kemarahannya.
"Ya ampun Nak, kamu kenapa pulang?" tanya seorang ibu berbadan tinggi langsing dengan make up tebal berbaju daster menghampirinya, hendak mengusap lengan Alsava namun dia tepis dengan kasar.
"Jangan kasar sama ibu Kak!" hardik wanita muda ber-make up tebal mengenakan baju kaos putih dengan celana jeans, ikut bangkit menghampiri.
Alsava memutar bola mata malas, menatap ibu tirinya yang sekarang sedang menatap sendu terlihat sedih akibat tindakannya.
"Sudah lama tidak pulang, sekali pulang tidak tahu adab," ucap wanita muda ber-make up tebal yang sedang mengelus lembut lengan ibu tiri Alsava, berusaha menenangkan
"Ibu bilang Dea nikahnya sebulan lagi," ucap Alsava dingin. Bukan ibu tirinya yang dia tatap melainkan pemuda jangkung berkulit sawo matang menggunakan kaos kutang yang juga sedang menatapnya.
Wanita muda ber-make up tebal bernama Dea--yang merupakan pengantin wanita hari ini--melihat arah pandang Alsava, wanita itu mencebik sebal.
"Kenapa? nggak suka aku nikah sama Mas Bahri hari ini?" tanya Dea judes, mengangkat dagu ke atas seolah menantang Alsava. Alsava melirik Dea dengan tajam.
"Punya uang dari mana bisa buat pesta sebesar ini?" tanya Alsava dingin, dia tahan sekuat tenaga emosi yang sudah mendidih sampai ke ubun-ubun. Dia perlu memastikan dugaannya benar baru akan meledakkan emosi tepat sasaran.
"Uang yang Kak Sava transfer tempo hari." Bukan Dea dan ibu tirinya yang menjawab, bukan pula pengantin laki-laki berkaos kutang--bernama Bahri--melainkan Tedi adik tirinya yang menjawab.
Alsava menghela napas kasar lalu menatap ibu tirinya penuh dendam. Kedua tangannya mengepal dengan kuat hingga gemetar. Menutup mata lalu menghela napas kembali.
"Berapa yang ibu pake?" bertanya pada Tedi yang duduk bersila dengan tenang sambil memakan pisang tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Lebih dari setengahnya," jawab Tedi enteng tidak terpengaruh oleh tatapan tajam kakak dan ibunya. Alsava mengangguk lalu melangkah menuju sebuah kamar yang dia yakini kamar ibu tirinya.
"Jangan Nak!" Seperti sudah menduga pikiran Alsava, ibu tirinya mencekal lengan Alsava untuk menahannya. Alsava menoleh tidak suka dan menepis tangan ibu dengan kasar. Melanjutkan langkah dengan dada yang naik turun.
"Alsava jangan! hey... dasar pembuat onar!"
Roman terlonjak kaget mendengar teriakan seorang wanita muda dari dalam rumah. Matanya mengerjap dengan dada yang berdetak kencang.
"Apa yang terjadi di dalam," gumamnya bertanya-tanya.
(bersambung...)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments