Sudah lebih dari lima belas menit Alsava duduk terdiam di depan meja administrasi rumah sakit, tangannya memegang sebuah bulpoin yang sudah terbuka. Tatapannya lurus pada kertas formulir persetujuan tindakan operasi. Ingin sekali dia pulang dan membiarkan pemuda itu begitu saja. Biar saja, toh dia tidak kenal ini.
Tapi kemudian Alsava mengingat peristiwa dua tahun lalu saat dirinya ditolong oleh pak Wiryo, mungkin saja kondisi pemuda itu hampir sama seperti dirinya dulu. Korban akibat keserakahan orang lain, mungkin.
"Mbak Sava, apa sudah?"
Suara perawat bermata indah itu membuyarkan lamunan Alsava, dia hanya menatap datar perawat di depannya tidak mampu menjawab dengan kata.
"Apa Mbak Sava kesulitan mengisi formulirnya?"
Sekali lagi perawat di hadapannya bertanya dengan sabar. Kepala Alsava mengangguk pelan lalu kemudian menggeleng, membuat perawat menyunggingkan senyumnya.
"Apa yang sulit Mbak?"
"Biaya operasinya berapa Sus?"
Pertanyaan klasik bagi orang serba kekurangan sepertinya keluar juga. Benar, selain data pemuda itu yang sama sekali tidak Alsava ketahui, dia juga bingung bagaimana membayar biaya operasi yang pasti sangat banyak.
Perawat bermata indah itu tidak langsung menjawab, senyuman tipis tersungging di bibirnya yang tipis.
"Untuk sekarang cukup deposit 5 juta saja, sisanya bisa di bayar saat diperbolehlan pulang dari rumah sakit."
Penjelasan perawat tidak serta merta membuat hati Alsava tenang, dia maaih menatap datar si perawat dengan pikiran yang tidak lepas masalah uang.
Dari mana dapat sisanya buat bayar rumah sakit kalau dia saja akan diberhentikan dari pekerjaannya.
"Oh iya Mbak, ini barang-barang pasien."
Perawat itu menyodorkan sebuah plastik klip bening berisi sebuah jam tangan mewah dan sebuah cincin--yang seperti terbuat dari emas putih dan bertahta berlian berbentuk kotak.
Alsava menerima benda itu dengan bingung. Membulak-balikkan plastik berisi jam tangan dan cincin dengan linglung. Seketika otak pintarnya bekerja, senyuman lebar merekah di bibirnya.
"Oke Sus makasih," ujarnya penuh semangat.
Perawat sedikit mengerutkan dahinya melihat perubahan ekspresi Alsava yang begitu cepat.
"Baik kalau begitu saya permisi." Perawat itu berlalu setelah Alsava mengucapkan terima kasih sambil tersenyum.
"Tuhan Maha Penolong bagi para hamba-Nya," gumam Alsava pelan, menatap lekat benda yang ada di genggamannya.
Setelah Alsava mengisi formulir persetujuan tindakan operasi dengan karangan bebas tentunya. Alsava memutuskan menggunakan tabungan pribadinya--yang tidak seberapa--untuk deposit biaya rumah sakit.
Alsava sedang duduk terkantuk-kantuk di kursi ruang tunggu saat seorang perawat laki-laki menghampirinya.
"Walinya pasien?"
"Iya."
"Alhamdulillah operasinya berhasil, pasien sudah dipindah ke ruang observasi." Setelah mengatakan kabar itu perawat itu langsung berlalu begitu saja. Ekspresi Alsava datar tanpa binar bahagia atau kelegaan. Dia menguap beberapa kali, berusaha menghalau kantuk yang masih menggelayuti mata.
Dia merogoh tas lalu mengeluarkan ponsel dan melihat waktu sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Matanya membulat dengan gerakan gerasak-gerusuk lalu berlari dengan terburu-buru.
"Ya ampun, aku masih harus kerja," pekik Alsava sambil berlari melupakan kondisi pemuda yang dia tolong Semalam.
***
"Lebih baik kamu mati! Lebih baik kamu mati! Rafan... Lebih baik kamu mati! hiks... hiks..."
Gadis berambut pendek sedagu terisak seraya memeluk kedua kaki dan menundukkan kepala diantara kedua lututnya. Di tengah pencahayaan kamar yang remang dia duduk di sudut ruangan bersandar pada nakas kecil di samping ranjang.
Bahunya berguncang, isakan terus saja terdengar sampai ada wanita paruh baya yang masuk ke dalam kamarnya--tanpa susah payah karena pintu yang dibiarkan terbuka. Dengan tenang wanita paruh baya itu menyingkab gordeng kamar hingga pendar cahaya matahari menerobos masuk membuat kamar yang tadinya remang menjadi terang.
Menyadari kehadiran orang lain, gadis berambut pendek sedagu itu menghentikan tangis dan perlahan mengangkat wajah, menatap wanita paruh baya yang kini berdiri di hadapannya.
"Non Alexi, ada tamu," ucap wanita paruh baya itu tenang. Sama sekali tidak terpengaruh oleh penampilan dan kondisi sang majikan yang sedang berantakan.
Alexi diam, hanya menatap datar pada aisten rumah tangga yang sudah mengasuhnya sejak dia kecil.
"Bi Murni marah sama Lexi?" tanyanya lirih.
Wanita paruh baya yang bernama Bi Murni itu diam tidak menjawab, menghela napas lalu berbalik berniat beranjak keluar kamar.
"Bi," panggil Lexi lirih.
Tersirat rasa frustasi dari nada bicaranya. Lalu Alexi kembali terisak karena Bi Murni tidak menoleh dan melanjutkan langkah meninggalkannya dengan kepiluan dan rasa bersalah yang mendalam akibat perbuatannya kemarin malam.
***
"Untuk apa kamu kemari?" tanya Lexi dingin.
Dia duduk dengan anggun di sofa ruang tengah rumah orang tuanya. Melirik sekilas pemuda tampan yang menatapnya lurus sejak dia datang.
"Kamu baik-baik saja?" tanyanya datar. Lexi tersenyum miring mendengar ucapan Rangga. Ya, pemuda tampan di hadapannya adalah sepupu dari tunangannya-Rafan.
"Bukankah kamu tidak pernah peduli dengan kondisiku?" jawab Alexi dingin.
"Kau benar, tapi aku masih berbaik hati untuk meminta maaf atas kejadian kemarin malam." Pemuda itu duduk bersandar dengan menyilangkan kaki dan berkata santai.
Tangan Alexi mengepal dengan dada yang terasa sesak. Matanya menyorot tajam pemuda yang terlihat begitu angkuh di hadapannya.
"Maaf karena telah membuat apartemen mu berantakan dan.. soal Rafan yang akhirnya tahu tentang kita."
Senyuman mengejek Rangga di akhir kalimat membuat emosi Alexi semakin memuncak. Tangannya semakin mengepal erat hingga bergetar.
"Pagi ini aku dengar sepupuku itu menghilang dari semalam, aku jadi penasaran apa yang kalian bicarakan setelah aku pergi."
"Diam kau Rangga!"
Alexi sudah tidak tahan lagi mendengar ucapan Rangga yang terdengar santai dan arogan mengenai kejadian kemarin malam. Kalau saja bukan karena pemuda itu mungkin hubungannya dengan Rafan masih baik-baik saja. Kalau saja kemarin malam Rangga tidak bertamu ke apartemennya mungkin Rafan tidak akan pernah tahu kesalahan yang telah dia perbuat dengan sepupunya. Kalau saja Rangga dan Rafan tidak berkelahi kemarin malam, dia tidak akan pernah melakukan hal diluar kendali.
Rangga tergelak melihat Alexi yang sudah tidak bisa mengendalikan emosinya.
"Tenanglah, kendalikan emosinmu!"
Berbicara tenang seraya mendekat dan duduk di samping Alexi. Tangannya dengan lancang mengelus lembut perut rata Alexi, tapi hanya beberapa detik karena langsung di tepis oleh gadis itu. Rangga menghela napas saat tangannya ditepis dengan kasar oleh Alexi.
"Jaga baik-baik dia, kalau tidak kau akan tahu akibatnya!" ancam Rangga dingin. Pemuda itu bangkit, merapihkan pakaian dan berlalu pergi.
Wajah datar dan bengis Alexi seketika berubah sendu kala tangannya mengelus lembut perutnya yang rata. Matanya menatap kosong ke sembarang arah. Air mata yang sekuat tenaga dia tahan sejak tadi luruh juga, berderai tak tertahan hingga membuat pipinya basah.
"Minum Non, biar lebih tenang."
Bi Murni menyodorkan segelas air putih ke hadapan Alexi yang masih tersedu pilu menangisi kebodohannya beberapa bulan lalu hingga menimbulkan masalah yang tidak terkendali. Gadis itu menatap wajah Bi Murni dengan sendu, tidak langsung mengambil gelas yang berada di hadapannya. Bi Murni menghela napas lalu duduk di samping Alexi, masih memegang gelas yang berisi air putih.
"Minum lalu tenangkan dirimu Nak, emosi yang berlebihan tidak baik buat dia."
Bi Murni ikut meletakkan telapak tangan di atas perut rata Alexi. Alexi mengangguk cepat lalu meraih gelas berisi air dan meminumnya hingga tandas.
"Maaf Bi," gumam Alexi lirih.
"Tidak apa, asal Non mau memperbaikinya." Bi Murni mengelus lembut kepala Alexi dan mengucapkan kalimat penghiburan yang selalu diucapkan bila Alexi melakukan kesalahan sejak dia kecil dulu.
(bersambung...)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
yulia nisma
baru mampir thor..kayaknya seru..teruslah berkarya...semangat...semangat....
2023-06-19
0