Alsava menatap datar dua orang yang berdiri di depan rumah peninggalan neneknya. Gadis itu menghela napas pelan lalu melengos begitu saja masuk ke dalam rumah, melanjutkan kegiatan memasak yang belum selesai.
"Ternyata kalau sudah dibersihkan rumahnya nyaman juga."
Samar Alsava bisa dengar gumaman ibu tirinya yang kali ini datang bersama menantu barunya-Bahri. Tanpa dipersilahkan kedua orang itu masuk sendiri tanpa rasa malu. Entah mau apa tamu tak diundang itu datang.
"Halo, saya ibunya Alsava kamu nak Roman kan ya, maaf kemarin kita tidak sempat berkenalan dengan baik."
Alsava memutar bola matanya malas mendengar basa basi ibu Dewi pada Roman, terkesan menjilat mungkin.
"Iya nggak papa Bu, saya Roman."
Terdengar Roman merespon dengan cukup baik, Alsava menyunggingkan senyum mendengar sopan santun Roman.
Entah mereka membicarakan apa saja selama Alsava memasak di dapur, karena setelah acara basa basi tadi tidak terdengar lagi obrolan diantara ibu Dewi, Bahri maupun Roman.
Alsava menata piring dan mangkok di atas meja kecil di dapur, gadis itu mengelap tangannya lalu beranjak ke ruang tamu dimana Roman, Bahri dan ibu Dewi berada.
Saat Alsava tiba, ketiga orang itu tampak sedang diam tidak bertegur sapa sama sekali. Entah sudah ada obrolan apa yang tidak Alsava dengar. Dia hanya bisa memastikan ekspresi kesal yang tergambar jelas di wajah Roman-suaminya.
Bang Roman kenapa? Alsava bergumam dalam hati lalu mengangkat bahu, berjalan santai lalu duduk tepat di samping suaminya berhadapan dengan ibu Dewi yang hanya terhalang oleh meja persegi kecil.
Alsava menatap sengit Bahri yang ketahuan menatapnya lekat sejak dia duduk. Gadis itu mendengus tidak suka lalu menatap ibu Dewi yang kini sedang menatapnya ramah dengan senyuman yang mengembang.
"Maaf, ada keperluan apa ya Bu?"
Bertanya tanpa basa basi sama sekali.
Bu Dewi tersenyum lalu membenahi posisi duduknya sebelum menjawab.
"Gini loh Nak."
Menggeser posisi duduk lagi, bibir Alsava berkedut menahan tawa mungkin ibu Dewi merasa kurang nyaman dengan sofa usang yang dia duduki, makanya berkali-kali membenahi posisi duduk.
"Langsung saja, nggak usah bertele-tele."
Tegas berkata ingin cepat mengakhiri pembicaraan yang sudah bisa dia duga isinya apa.
"Ehem.. Minum dulu boleh kali."
Alsava menatap malas Bahri yang sekarang sedang cengengesan nggak jelas. Begitu pun Roman yang ikut menatap tajam suami dari Dea itu.
"Nggak ada minum-minum, aku baru pindah nggak ada air," jawab Alsava ketus lalu memusatkan kembali perhatian pada ibu Dewi.
Bu Dewi yang ditatap begitu jadi sedikit gugup, wanita paruh baya itu meremas jemarinya satu sama lain.
"Begini loh Va, ibu sudah nggak ada pegangan uang sama sekali. Dan... Bahri juga belum bekerja jadi untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah Tedi,-"
"Biaya sekolah Tedi biar aku yang bayar," sambar Alsava tidak membiarkan ibu Dewi menyelesaikan kalimatnya.
Mendengar itu ibu Dewi mengembangkan senyum begitu pun Bahri yang melemaskan bahunya lalu duduk bersandar, Alsava memgangkat sebelah alisnya melihat tingkah Bahri.
"Sepertinya ada salah paham, aku bilang hanya akan bertanggung jawab atas sekolah Tedi karena dia satu-satunya anggota keluargaku karena saudara satu ayah. Tapi tidak akan menanggung biaya hidup Ibu dan Dea, apalagi pria ini!"
Dengan cepat meluruskan kesalahpahaman yang terbentuk membuat senyum di bibir bu Dewi surut dan Bahri kembali menegakkan punggungnya.
"Loh kok gitu Nak? Ibu minta tolong soalnya sudah tidak punya pegangan sama sekali, apalagi Dea sedang hamil jadi lagi butuh pegangan uang yang cukup banyak."
Ibu Dewi kembali beringsut membenahi posisi duduk.
"Iya Va, lagian anak yang dikandung Dea juga keponakanmu. Jangan pelitlah jadi orang," timpal Bahri sok asik. Alsava mengerutkan dahinya samar, Roman sudah akan membuka mulutnya saat Alsava berkata dengan cepat.
"Aku udah mutusin hubungan kekeluargaan dengan Dea dan ibu, jadi mana mungkin anak kamu yang dikandung Dea itu jadi keponakanku?"
Bertanya dengan pongah dan dagu terangkat. Berpura-pura angkuh.
"Kok kamu tega sih Nak, ibu kan sudah seperti ibu kandungmu sendiri."
Ibu Dewi terisak menjiwai sekali memerankan protagonis, begitu fikir Alsava.
Aku nggak akan lagi kemakan sama air mata buaya mu!
Alsava menatap sengit ibu Dewi yang kini masih terisak sedih, Bahri beringsut lalu menepuk pelan pundak mertuanya, mencoba menenangkan.
"Kamu jahat banget sama keluarga sendiri Va, tolonglah! apa karena kamu belum rela aku nikahnya sama Dea bukan sama kamu jadi,-"
"Dengar ya Bahri anak pak Kades yang terhormat. Nggak ada urusannya kamu mau nikah sama siapapun aku nggak peduli. Lagi pula kamu kan bapak dari anak yang Dea kandung tanggung jawab dong. Jangan mau enaknya aja, kalau belum sanggup punya anak jangan dp duluan!"
Alsava berkata sewot, tidak mau lagi ditindas dan dimanfaatkan.
"Lalu ini gimana?"
Ibu Dewi bertanya dengan air mata yang berderai.
Belum selesai ternyata akting sedihnya.
Alsava memutar bola mata malas melihat tingkah ibu tirinya yang tidak tahu malu.
"Denger ya Bu, urusan aku sama keluarga ibu sudah selesai, hutang sama juragan Barja juga sudah lunas. Rumah peninggalan Bapak yang harusnya milik Aku dan Tedi, aku rela ibu tempati bersama keluarga ibu. Jadi tolong jangan ganggu hidup aku lagi. Sudah cukup selama ini aku hidup tersiksa dengan hutang yang sama sekali tidak aku buat."
Alsava berkata tegas meski matanya berkaca-kaca, bukan karena sedih melainkan menahan emosi yang sudah mendidih di ubun-ubun. Tidak mau membuat drama keluarga lagi, cukup kemarin saja dia mempermalukan dirinya sendiri di depan semua warga kampung.
"Terus gimana ini Nak?"
Ibu Dewi menatap Bahri meminta bantuan untuk kembali membujuk Alsava yang sudah mengambil keputusan final.
"Kalau tidak ada urusan lagi, tolong pergi! Aku mau makan siang sama suamiku."
Dengan dagu yang kembali terangkat Alsava berkata ketus.
"Ya sudah kalau nggak mau ngasih, kita pulang Bu! Ngapain kita ngemis begini sama orang yang tidak punya hati nurani."
Bahri bangkit berdiri mengajak mertuanya pulang, dari nada bicaranya pria itu mungkin tersinggung.
Dasar Bahri dengan harga dirinya yang tinggi!
"Apa benar Bahri itu mantan kamu?"
Pertanyaan Roman membuat Alsava menolehkan kepala pada suaminya yang sejak tadi memang tidak dia hiraukan karena sibuk menatap nanar kepergian tamu menyebalkan tadi.
"Iya dulu."
Memilih menjawab singkat lalu bangkit berjalan menuju dapur. Tak berselang lama kembali dengan mangkuk dan piring berisi lauk yang dia masak tadi. Meletakkan dengan perlahan di atas meja lalu kembali ke dapur untuk mengambil nasi dan piring kosong.
Roman hanya menatap kegiatan Alsava dalam diam. Pria itu bisa melihat betapa cekatannya Alsava dalam melayani menyiapkan makanan sampai menyendok nasi dan lauk untuk Roman. Apa gadis ini mencintaiku dengan tulus? batin Roman mulai berperang setelah mendengar sindiran tajam dari ibu dewi dan Bahri yang mempertanyakan alasan Alsava menikahi pria menyedihkan seperti dirinya.
"Ayo makan Bang!" ajak Alsava riang.
Dia bahkan sudah akan menyuapkan satu suapan nasi ke dalam mulut saat Roman berkata hal yang membuat selera makan menguap begitu saja.
"Sebenarnya apa alasan kamu mau menikahi denganku?"
Alsava menatap Roman dengan terkejut, dadanya bahkan berdebar dengan kencang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments