Dua belas

Roman hanya duduk dengan tegang saat Alsava diseret keluar rumah--dengan rambut berantakan dan baju yang sama mengenaskannya--oleh seorang gadis muda tidak terpaut jauh usianya dengan Alsava.

"Pergi kamu gadis pembuat onar!"

Pekik wanita muda yang mendorong Alsava keluar rumah, keadaannya pun tidak jauh berbeda dengan Alsava, sama-sama berantakan.

Alsava duduk tersungkur di teras rumah dengan dada naik turun dan mata yang merah. Dia menatap gadis muda yang telah mendorongnya penuh dendam. Tak berselang lama datang wanita paruh baya bertubuh langsing yang masih terlihat cantik mencoba melerai keduanya.

"Sudahlah De, jangan begitu malu sama tetangga. Ini kan hari pernikahanmu."

Tidak ada yang salah dengan kata-kata yang terlontar dari ibu itu hanya saja Roman menangkap sesuatu yang aneh dari ekspresi si ibu saat mengucapkannya. Wajah sendunya terlihat dibuat-buat dan tidak natural.

Mendengar ucapan dari ibu tirinya yang sok bijak dan perhatian. Alsava semakin meradang, dia menjerit lalu menangis sejadi-jadinya.

"Huwa.... Bapak pasti akan menangis dalam kuburnya, huwa... "

Tidak hanya Roman yang gelagapan mendengar tangis Alsava yang sangat kencang, tapi juga Dea dan ibunya.

Tak berselang lama Tedi dan Bahri pun ikut keluar setelah mendengar jerit tangis Alsava. Alsava bak seorang anak yang sedang tantrum, mengamuk untuk dibelikan mainan. Tanpa sadar Roman menatap Alsava aneh dengan tangan mencengkram kuat tongkat yang dia pegang.

Tedi orang pertama yang menyadari kehadiran Roman beringsut mendekat. Bertanya siapa dan ada kepentingan apa. Kalau mau minta sumbangan, jelas Tedi akan segera mengusirnya. Tidak rela drama kekuarga yang sangat dia nantikan ditonton gratis oleh orang asing yang minta sumbangan.

"Maaf Abang siapa?" tanya Tedi dengan pelan. Matanya sesekali melihat sekitar menatap para tetangga yang mulai berdatangan karena mendengar tangis Alsava.

"Saya Roman, calon suami gadis yang sedang menangis di sana," jawab Roman ragu mengakui Alsava sebagai calon istrinya.

Kening Tedi melipat halus, meski ingin bertanya tapi dia urungkan. Biar nanti saja rasa penasarannya dia tuntaskan setelah menonton drama keluarga yang tidak bisa dia lewatkan.

Sementara itu Alsava semakin histeris seraya berguling-guling di tanah saat menyadari banyak orang sedang menonton dan mengerumuninya. Dalam hati gadis itu menyunggingkan senyum.

Sebentar lagi dendamku akan terbalaskan.

"Huwa... Bapak, kenapa Bapak pergi begitu cepat. Tolong ajak Sava ikut serta Pak, sava nggak mau hidup dengan semua penderitaan dan beban yang begitu besar huwa...!"

Tangis Alsava semakin kencang membuat Dea, ibunya dan Bahri kelimpungan dan malu sendiri. Alsava berguling kesana kemari seraya menendang-nendang tanah, bajunya sudah sangat kotor begitu pun wajah dan rambutnya.

"Sava mau mati aja, aku mau mati aja huwa...!"

Kali ini Roman yang kelimpungan mendengar teriakan Alsava. Bukankah mereka ke sini untuk menikah, tapi kenapa Alsava bilang mau mati? Lantas, bagaimana nasibnya nanti? Roman menelan salivan berat, menatap kakinya yang belum bisa berjalan dengan baik. Uang pun tidak punya lalu bagaimana dia pergi dari kampung ini kalau Alsava benar mati.

Tapi sebentar, kalau pun Roman pergi dari kampung ini, lalu akan kemana dia pergi? Roman lupa kalau tidak punya tempat tujuan selain mengikuti kemana pun Alsava pergi. Akhirnya berdoa dalam hati supaya Alsava tidak mati dan meninggalkannya sendiri.

"Huwa... Bapak Sava mau ikut Bapak!"

Tangis Alsava kini berubah lirih dan pilu. Semua orang yang mengelilingi Alsava kini mulai berbisik-bisik. Banyak diantaranya bersimpati, tapi tidak sediit yang mencibir atau bahkan tidak peduli.

"Kamu udah dong nangisnya Nak, kita obrolin ini semua di dalam ya," bujuk ibu tiri Alsava seraya mendekat.

"Jangan mendekat! Dasar manusia ular!" cegah Alsava seraya mengulurkan tangan.

"Jaga mulut kamu Sava!" seru Dea tersinggung karena ibunya dimaki dengan sebutan tak pantas.

Dea sudah akan maju untuk melayangkan tamparan, tapi di tahan oleh Bahri.

"Apa? Kamu mau apa? Tampar sini! Hidupku sudah hancur.. Hiks... Hiks.. Hidupaku hancur karena bertemu dengan kalian para manusia ular!"

Alsava mengoceh sendiri kadang menangis pilu kadang juga tertawa mirip seperti orang yang kesurupan.

Semua orang yang melihat tingkah Alsava, memiliki tanggapan berbeda terhadap sikap gadis itu.

Apa Alsava kesurupan? Roman.

Wih... Kak Sava aktingnya keren sekali, sangat menjiwai. Tedi.

"Sudah-sudah ada apa ini?"

Pak RT berseru berusaha melerai kerumunan. Pria paruh baya berkumis tebal memakai peci hitam itu menatap iba pada Alsava.

"Neng Sava tenang dulu, coba cerita ada apa? Tolong kasih minum dulu!"

Pak RT mendekat memberikan air mineral kemasan kepada Alsava yang disambut baik oleh gadis itu.

Ah elah dari tadi kek ngasih minumnya. Udah seret banget ini tenggorokan. Alsava.

"Hidup saya sudah hancur pak RT," ucap Alsava lebih tenang seraya terisak.

"Kenapa Neng? Apa karena Bahri menikah dengan Dea?" tanya pak RT sabar, pria paruh baya itu menatap Dea dan Bahri secara bergantian.

Semua orang di kampung itu memang tahu kalau dulu Alsava dan Bahri pernah menjalin kasih. Alsava menggeleng sebagai jawaban.

"Lalu kenapa?" tanya pak RT lagi masih sabar.

"Dia! Ibu Dewi yang baiknya seperti malaikat ingin menikahkan saya tiga tahun lalu dengan Rentenir banyak istri sebagai gadis penebus hutang."

Alsava kembali tersedu mengingat kejadian tiga tahun lalu.

"Saya waktu itu bisa kabur Pak, dan bekerja serabutan di kota mengumpulkan uang untuk bayar hutang. Sekarang sudah bertahun-tahun bekerja dan uang itu terkumpul buat bayar hutang tapi sama ibu Dewi dipake hajatan nikahan Dea, huwa... Hati saya sakit Pak, Bu, hidup saya merasa terus diinjak-injak dan dimanfaatkan."

Kembali tersedu dengan penjiwaan yang maksimal.

Mendengar penuturan Alsava, bu Dewi, Dea dan Bahri terlihat malu. Sementara para tetangga sudah mulai bergunjing tentang kemalangan Alsava dan kekejaman bu Dewi.

"Lagi pula Pak RT, bukannya Dea nikah sama anak pak lurah. Tapi kenapa nggak modal dan malah mengambil uang saya untuk bayar hutang."

Alsava menatap tajam Bahri yang kini memalingkan wajah karena menjadi sasaran tatapan tajam semua orang.

"Kalau itu saya bisa menjawab mewakili pak Lurah Neng," Jawab pak RT mantap. Alsava menatap pak RT penuh tanya.

"Pak Lurah tidak setuju dengan pernikahan ini jadi beliau tidak mau membiayai dan datang ke nikahan Bahri."

"Loh kenapa?" tanya Alsava heran.

Pak RT tidak menjawab malah melakukan gerakan pada sekitar perutnya yang Alsava artikan 'wanita hamil', jadi maksudnya Dea sudah hamil? Gadis itu kini menatap Dea yang menyembunyikan wajah di ketiak suaminya. Malu karena rahasianya sudah diketahui semua orang.

"Saya nggak mau tahu pak RT, saya mau uang saya kembali. Untuk mendapatkan uang itu saya bekerja dengan sangat keras. Pokoknya saya minta ganti rugi."

Alsava berbicara penuh tekanan meski tanpa tangisan.

Ya tangisnya sudah berhenti, meski wajahnya masih terlihat basah. Pak RT mendesah lalu memberikan arahan pada warga yang berkerumun agar membubarkan diri.

Alsava masih terduduk di tanah, menepuk-nepuk badan dan rambutnya agar tanah yang menempel bisa sedikit menghilang.

"Neg Sava kita bicara baik-baik di dalam," ajak pak RT sambil memimpin langkah masuk ke dalam rumah yang diikuti oleh bu Dewi, Dea, Bahri dan Alsava.

Sementara itu Tedi masih berdiri di dekat Roman, remaja itu menatap tidak suka saat semua anggota keluarganya dan pak RT masuk ke dalam rumah.

"Ck, masa cuma segitu pertunjukannya. Tidak seru."

Roman mengerjap berkali-kali tidak faham dengan tingkah remaja yang mengaku sebagai adik tiri Alsava itu.

"Kenapa Bang?" tanya Tedi karena sejak tadi Roman menatapnya dengan tatapan aneh.

"Kamu mau keluargamu bertengkar?" tanya Roman tiba-tiba mengutarakan apa yang dia rasakan. Tedi terkekeh sebelum menjawab.

"Kak Sava harus bertahan dan melawan mulai sekarang. Banyak ketidakadilan yang dia alami semenjak Bapak meninggal."

Setelah mengatakan itu, Tedimasuk ke dalam rumah tanpa mengajak Roman ikut serta. Meninggalkan pria itu dalam kebingungan.

Sementara itu di dalam rumah, sedang terjadi perundingan untuk mengembalikan uang Alsava yang seharusnya untuk membayar hutang.

"Ya sudah ambil saja uang kawinan aku, dasar perhitungan!" ucap Dea ketus, gadis itu bergelayut manja di lengan Bahri suaminya.

"Ya udah mana? Satu lagi sekalian atm punya ibu. Aku nggak mau tahu pokonya hutang itu harus segera lunas biar hidup aku tenang."

Dea mendelik tidak suka ke arah Alsava lalu masuk ke dalam kamar bu Dewi mengambil satu ember besar Amplop yang terkumpul. Sementar itu bu Dewi juga memberikan kartu atm miliknya pada Alsava dengan pasrah.

Pak RT yang melihat itu tersenyum tipis, masalah sudah teratasi begitu fikirnya.

"Ya sudah kalau begitu saya permisi," pamit pak RT bangkit berdiri.

"Jangan dulu Pak!" cegah Alsava mengurungkan niat pak RT melangkah. Pria paruh baya itu menatap bingung pada Alsava.

"Tolong nikahkan saya dulu!"

Ucapan Alsava itu sontak membuat mata semua orang membelalak tidak percaya ke arahnya.

(Bersambung...)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!