Samudra melap mulutnya dengan lembaran tisu. Menatap wajahnya di cermin. "Huh ... Si Ubai bawa makanan dari mana sih? rasanya jauh beda dengan yang tadi aku makan."
Samudra berjalan ke ruangannya yang sudah ada Ubai tengah membereskan berkas-berkas, langsung kena semprot dari Samudra. "Kau ini beli dari mana sih makanan Itu? sudah tidak layak makan. Gak enak rasanya?"
Ubai melongo. "Nggak enak? enak kok Bos, buktinya yang lain juga pada makan!"
"Enak apanya? bikin enek! mual, saya muntah, bikin malu saja hidangan meeting seperti itu?" ucapan Samudra dengan nada marah.
"Tapi--"
"Lain kali kalau saya minta kue seperti itu, harus seperti yang tadi siang saya makan. Bukan asal-asalan." Timpal Samudra.
"Bos, itu sama kok. Ya ... mungkin lain pembuatnya kali." Ubai menggoyangkan kedua bahunya.
"Nah, itu yang saya maksudkan. Kau harus membeli dari orang yang sama, pembuat yang sama. Jangan asal beli." Tegas Samudra.
"Iya, Bos." Ubai mengangguk.
Samudra melihat jam yang ada di tangannya. Sudah menunjukan pukul lima sore. "Pulang. Mau lembur lu?"
"Ya, pulang! ngapain saya di sini kalau Bos pulang. Lah saya pulang juga, anda ke kutub, gua turut ha ha ha ...."
"Kau ini, kau pikir kau istri gua." Ketus Samudra sambil menepuk bahu Ubai yang nyengir. Pria itu berkulit hitam manis, dengan tatanan rambut gaya opa Korea.
Ubai berjalan dibelakang Samudra yang berjalan cepat menuju mobilnya.
Kini mereka sudah berada di dalam mobil, Samudra bersandar ke belang jok seraya memejamkan matanya. Ubai menyalakan mesin dan tancap gas.
"Besok cari makanan yang seperti tadi. Saya mau makan kue itu dan jangan salah lagi." Tanpa membuka matanya yang sudah di posisi enak.
"Lah, susah gua kalau harus nyari kaya itu mah. Tapi baiklah besok saya cari wanita itu." Ubai mengangguk dengan mata fokus ke depan.
"Eh barabai. Gua suruh nyari kue, bukan nyari wanita! sembarangan lu ngomong." Samudra menegakkan duduknya sambil memukul paha Ubai.
"Ha?" ckiiiiit ... rem mendadak. "Emang saya ngomong apa barusan?"
Dugh!
Kepala Samudra terbentur ke belakang jok. "Kau sudah gila! mau bikin saya jantungan ha?"
"Sorry Bos sorry?" wajah Ubai tampak panik dan juga mesem-mesem sendiri.
"Kau itu saya suruh cari makanan yang tadi. Bukan cari wanita." Ulang Samudra sambil mengusap kepalanya bagian belakang.
"Oh, lah Iya lah Bos saya cari wanita. Sebab yang jualan itu kan seorang gadis alias wanita. Emangnya harus saya bilang laki-laki apa? atau waria gitu?" Ubai menggeleng sembari mesem.
"Terserahlah. Urip mu."
Ubai tertawa. "Ha ha ha ...."
Kemudian Ubai melanjutkan perjalanannya. Kembali menyetir menuju pulang ke hotel tempat mereka menginap.
Tidak selang lama mereka pun sampai di hotel, Samudra langsung membawa langkah lebarnya menuju lift dan melepas jas nya.
Ubai berlarian mengejar Samudra yang baru melangkah masuk ke dalam lift. Keduanya langsung masuk ke dalam kamar hotel, Samudra menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur.
Sementara Ubai membuat kan kopi untuk keduanya. "Kopi Bos?" Setelah berada di kamar Samudra.
Samudra mengangkat kepala melihat secangkir kopi di meja. "Makasih."
Ubai kembali keluar. Lantas membawa kopinya ke balkon, menikmati senja yang tenggelam menyambut gelapnya sang malam.
Samudra setelah meneguk kopinya. Berjalan menuju kamar mandi seraya melepas pakaiannya, mengisi air bathub dan membubuhkan aroma terapi. Kemudian langsung masuk dan berendam di sana.
...---...
Rasya tengah menyiapkan makan malam untuk keluarganya. Ia berkutat sendiri menyediakan dan menata di meja makan sementara yang lain menunggu manis di meja.
"Sudah belum? lapar nih. Lelet amat sih masak, ngapain saja dari tadi? heran." Pekik Murni.
"Iya nih. Kancil kali lemot amat." Sukma menyambung perkataan Murni.
"Bukan. Tapi cicak, tau." Vera nimbrung. "Cepetan ah. Perut sudah keroncongan pengen makan, apa harus saya makan kamu." Ketusnya.
Rasya menyuguhkan wadah nasi di meja dan mengambilkan untuk satu persatu orang yang ada di meja makan. Seraya berusaha menelan saliva nya yang tercekat di tenggorokan sesungguhnya ia pun lapar, namun belum sempat makan sama sekali.
"Silakan makan?" Rasya mundur lalu menuangkan air ke masing-masing gelas.
Karena di meja ayah dan ibunya belum hadir, Rasya memutuskan untuk menjemputnya di kamarnya. Rasya membawa langkahnya menuju kamar pak Muhidin dan bu Karsih.
Setibanya di depan kamar orang tua nya. Rasya bersiap mengetuk daun pintu namun ia urung dan mendengarkan sejenak obrolan mereka di dalam.
"Sebentar lagi kita akan menjadi gembel di jalanan. Kalau kita tidak bisa membayar hutang kita Bu." Suara pak Muhidin.
"Ibu gak mau, bila itu sampai terjadi. Masa kita tak punya tempat tinggal sama sekali." Timpal bu Karsih.
"Toko maupun rumah ini tidak akan mampu melunasi hutang kita yang sudah jatuh tempo, dan kita gak bisa cari pinjaman lagi Bu." Pak Muhidin menatap sang istri.
"Pinjem ke BANK saja Pak. Seperti biasa bayarnya potong gaji Bapak."
"Bu, kalau saja bisa. Bapak pasti sudah dari dulu, gak perlu Ibu suruh. Paling bisa pinjem juga sedikit gak setengah-setengahnya aja." Keluh pak Muhidin.
"Terus gimana dong Pak? masa kita akan menyerahkan semuanya. Dimana kita akan tinggal dan gimana keseharian kita kalau rumah dan toko di sita?" rajuk bu Karsih terdengar sedih.
"Kita harus cari jalan, Bu." Sang suami terdiam. "Akh ... saya punya ide--"
"Apa itu Pak?" selidik bu Karsih antusias dan memotong perkataan dari sang suami.
Pak Muhidin membisikkan sesuatu pada sang istri sehingga bu Karsih menunjukan senyumnya melebar.
"Aku setuju, Pak. Tapi apa mereka mau ya?" bu Karsih melamun.
"Pasti salah satunya mau, siapa yang tidak mau hidup senang?" pak Muhidin menyeringai serasa mendapatkan angin segar.
Rasya yang berada di balik pintu memasang kupingnya sampai rapat ke daun pintu, namun yang katanya ide dari sang ayah sama sekali tak bisa ia dengar. Buru-buru ia pergi menjauhi pintu.
Langkah Rasya kembali ke dapur dengan pikiran melayang tak habis pikir. Orang tua nya punya banyak hutang sampai-sampai rumah yang ia tinggali dan toko ibunya berjualan tak akan mampu menutupi hutangnya. "Hutang bekas apa sebanyak itu?" pikir Rasya.
Rasya duduk dan mengambil piring dan nasi. Mau mengambil ayam atau ikan dicegah sama Murni dan Vera.
"Lauk itu buat ibu dan ayah, belum makan. Kalau mau tuh ada tahu goreng saja." Jari Murni menunjuk piring tahu yang tinggal satu itu.
Mendengar itu, Rasya mematung padahal ayam masih tersisa tiga dan begitupun ikan. Namun ia sendiri tak boleh memakannya. Sedih iya, namun ia berusaha sabar dan mengambil tahu yang tinggal satu. Ketika masuk piringnya langsung raib oleh Sukma dimasukan ke mulutnya sambil pergi.
Rasya bengong. "Mbak, aku makan sama apa?" menatap kedua kakak perempuannya.
Vera sama Murni saling pandang. "Terserah. Garam saja lah. Cepetan makan!"
Tangan Rasya mengambil sambal namun tangannya di depak oleh tangan Vera. "Itu buat ayah dan ibu, percuma kamu makan enak gak akan merubah otak mu, otak udang."
Rasya menelan saliva nya berulang-ulang. Batinnya menangis.
Suara derap langkah kaki terdengar, semakin mendekat menghampiri meja makan ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 206 Episodes
Comments
Yuen
Kenapa kok tokohnya dibuat oon dan lemah begini? Kan q jd pengen maki2 si Rasya 😆😂
2023-01-01
2
Ummi Alfa
Wah....kira2 pak Muhidin punya ide apaan tuh buat nutupin hutangnya.
Heran deh, sama kelakuan kakak2nya Rasya mau makan aja ini itu Ndak boleh sedangkan di rumah itu yg paling cape kerja seharian Rasya masa di peras tenaganya doang
2022-10-03
1
manda_
lanjut thor kenapa pada jahat ya sama raysa
2022-08-27
1