"Ini pesanannya," ucap suara pelayan yang membuyarkan lamunan Luna saat menatap Devano yang keluar dari kantin tersebut.
"Oh iya, terima kasih," jawab Luna sambil mengeluarkan uang dari dompetnya.
"Maaf, sudah dibayar. Terima kasih." Pelayan tersebut kemudian pergi meninggalkan Luna.
Luna lalu menatap Brian yang masih duduk di depannya. "Anda sudah membayar makanan ini, Tuan? Saya akan menggantinya."
"Tidak usah, Luna. Tidak apa-apa, tidak usah menggantinya. Anggap saja aku mentraktir kalian berdua."
"Maaf sudah merepotkan."
"Tidak merepotkan sama sekali, tolong terima saja Luna."
"Terima kasih banyak."
"Sama-sama. Emh, Luna apa Devano marah karena melihat kita bersama?"
Luna pun hanya tersenyum getir. "Oh, kalau begitu kau cepat temui Devano. Tolong sampaikan maafku padanya, aku tidak tahu kalian mempunyai hubungan khusus."
"Iya Tuan, saya pergi dulu. Terima kasih banyak."
Brian kemudian menganggukan kepalanya, sedangkan Luna kini tampak berjalan dengan begitu tergesa-gesa menuju ke ruang kerja Devano, dengan perasaan begitu cemas.
TOK TOK TOK
Beberapa kali Luna mengetuk pintu ruangan Devano, tapi tidak ada jawaban dari dalam. Akhirnya dengan mengumpulkan keberanian, Luna pun membuka pintu itu.
CEKLEK
Saat Luna membuka pintu itu, Devano tengah asyik mengutak-atik laptopnya. Luna pun memasuki ruangan itu dengan langkah berat sambil menahan perasaan yang begitu campur aduk.
"Maaf mengganggu, Tuan Devano. Ini makan siang anda," ucap Luna sambil menaruh makanan itu di atas meja kerja Devano.
"Aku tidak lapar," sahut Devano dingin.
"Tapi Tuan, anda baru saja sakit. Anda tidak boleh telat makan, Tuan."
"Aku tidak lapar, apa kau tuliiii?"
"Tuan, tolong jangan bersikap seperti ini. Anda harus makan. Kalau begitu, saya taruh makanannya di sini ya, Tuan?" kata Luna sambil menaruh makanan tersebut di atas meja, dia kemudian berjalan meninggalkan Devano. Tapi, saat Luna belum sampai di ambang pintu. Devano sudah membanting makanan tersebut ke lantai hingga tercecer.
'Asataga,' batin Luna. Dia kemudian keluar dari ruangan Devano, dan memanggil seorang OB unruk membersihkan makanan yang tercecer tersebut.
***
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, namun Devano belum juga keluar dari ruangannya. Luna yang menunggu di depan ruangan yang masih tertutup rapat, hanya bisa bisa menatap pintu itu dengan perasaan cemas.
'Maafkan aku, Devano!' batin Luna. Di saat itulah, akhirnya pintu itu pun terbuka.
"Devano!" panggil Luna. Namun Devano tak menyahut, hanya berjalan melewatinya tanpa sedikitpun melirik pada Luna. Akhirnya, Luna pun berjalan mengikuti langkahnya.
"Devano!" panggil Luna. Tapi, Devano tetap terdiam.
"Kau marah padaku, Devano? Baik kalau kau marah padamu, aku akan membiarkanmu sendiri. Aku pulang naik taksi saja," ucap Luna. Dia kemudian membalikkan tubuhnya, dan bersiap berjalan menuju ke arah lobi kantor. Tapi, tiba-tiba Devano mencekal tangannya, dan menarik tangan Luna agar berjalan bersamanya. Luna pun hanya bisa pasrah berjalan di sampingnya sambil sesekali melirik Devano yang menatap tajam ke arah depan, tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya.
Selama di dalam mobil, dan memasuki apartemennya, Devano pun masih terdiam. Tak terdengar sama sekali sepatah katapun keluar dari mulut cerewetnya.
'Devano,' batin Luna saat mereka masuk ke dalam apartemennya dan Devano langsung masuk ke dalam kamarnya.
Luna pun hanya termenung dan berdiri menatap pintu kamar itu. 'Devano, apa aku telah menyakitimu? Maafkan aku Devano,' batin Luna sambil berjalan menuju ke kamarnya.
Beberapa saat kemudian, setelah Luna selesai mandi, dia kembali menghampiri kamar Devano.
TOK TOK TOK
"Devano!" panggil Luna.
"Devano! Ayo makan, aku sudah membeli makanan untukmu!"
Namun, hampir setengah jam lamanya Luna memanggil Devano, tak ada sahutan sama sekali. Akhirnya, dengan langkah gontai, Luna pun berjalan ke arah meja makan dan menyantap makan malam sendiri.
***
Tiga hari telah berlalu, Namun sikap Devano masih saja sama, dingin dan belum mau berbicara sama sekali dengan Luna. Meskipun saat ini mereka hidup dalam satu atap.
Selama tiga hari pula, Luna seakan-akan hidup sendiri dalam apartemen mewah itu. Sarapan dan makan malam yang biasa dia lewati dengan Devano, selama tiga hari terakhir pun dia lewati sendiri, seolah berteman sepi. Sedangkan di kantor, Devano hanya berbicara seperlunya, hanya sebatas tentang masalah pekerjaan, dan menyahut singkat yang ditanyakan oleh Luna.
Hatinya sebenarnya menahan perasaan rindu yang berkecamuk. Kata-kata manja, dan nakal yang biasanya terasa begitu menjijikkan baginya, sekarang seolah menjadi candu yang begitu dirindukan olehnya. Namun, saat dia melihat wajah Devano, bukan penawar rindu yang dia dapat, tapi sakit.
'Sakit, itu aku karena dalam hidup ini hanya ada aku, tanpa ada kamu, batin Luna. Ah kenapa tiba-tiba aku jadi seperti ini? Logikanya seharusnya aku bahagia karena aku tidak harus menuruti permintaan Devano yang menjijikan itu. Tapi, benarkah ini hanya tentang logika? Bagaimana jika hati pun kini ikut hanyut ke dalam permainan ini?' batin Luna saat mereka dalam perjalanan pulang.
'Tiga hari berlalu tanpa ada kata antara aku denganu, kenapa rasanya ini bagaikan sebuah neraka bagiku?' batin Luna kembali.
Mereka pun akhirnya sampai di unit apartemen Devano. "Devano!" panggil Luna lirih, namun seperti biasanya, Devano tetap tidak menyahut, dan berlalu masuk ke dalam kamarnya begitu saja.
Luna pun melangkahkan kakinya menuju ke kamarnya dengan langkah lesu. Setelah mandi dan mengganti pakaiannya, dia kemudian berjalan ke arah meja makan dan melihat Devano sedang menikmati makan malam.
Luna kemudian bergegas menuju ke arah meja makan. "Devano!" panggil Luna. Dia kemudian duduk di samping Devano, namun Devano masih terdiam, tanpa mengucap sepatah katapun padanya. Mereka pun akhirnya menikmati makan malam bersama dengan kesunyian.
Setelah selesai menyantap makan malamnya, Devano kemudian bangkit dari kursi meja makan menuju ke arah balkon apartemen lalu menyalakan sebatang rokok.
'Devano merokok? Sejak kapan dia merokok?' batin Luna.
Setelah mengumpulkan keberanian, akhirnya Luna mendekat ke arah Devano di balkon apartemen.
"Devano!" panggil Luna. Devano lalu melirik ke arahnya.
"Devano, tolong jangan bersikap seperti ini terus padaku. Aku benar-benar tersiksa, aku ingin melihat Devano yang dulu. Apa hubungan kita sudah tidak bisa diperbaiki, Devano? Apa salahku terlalu besar bagimu hingga kau tidak bisa memaafkan aku? Apa aku tidak bisa memiliki kesempatan untuk memperbaiki hubungan ini?"
Devano hanya terdiam, hanya kepulan asap rokok yang terlihat keluar dari mulutnya.
"Devano lihat aku! Aku sedang bicara denganmu, Devano!" bentak Luna. Devano akhirnya mengarahkan tubuhnya, hingga berhadapan dengan Luna.
"Baik Devano! Jika kau masih bersikap seperti ini, lebih baik aku pulang! Aku juga akan mengundurkan diri dari kantormu, dan akan mengembalikan uang seratus juta itu dengan caraku! Kau tenang saja Devano, aku tidak akan membohongimu! Aku akan mengembalikan uang seratus juta itu secepatnya padamu!" teriak Luna.
Dia kemudian melangkahkan kakinya sambil menabrak bahu Devano yang berdiri di hadapannya. Namun, saat sedang berjalan ke kamarnya, tiba-tiba saja sebuah dekapan hangat mendekap tubuhnya dari arah belakang.
"Maafkan aku, maafkan aku Luna."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Farra
Katanya just sex no love tapi kenapa Devano cemburu ya sama Luna
2022-09-07
0
Erni Handayani
Bayi gede ngambek ditinggalin eh takut.. Dasar kadal modus banget
2022-09-04
0
Tiahsutiah
luna kau kena frank sama devano😄 itu hanya akal2 nya aja agar kamu luluh 😀
2022-09-04
0