CEKLEK
Luna membuka pintu rumahnya, di saat itu pula dia menghembuskan nafas panjangnya saat melihat senyuman menyeringai di wajah Arka dan Kayla.
"Selamat malam, Mba Luna."
"Selamat malam," jawab Luna sambil berlalu ke kamarnya. Namun, sebelum langkahnya sampai di kamar miliknya, tiba-tiba cengkraman kuat menempel di tangannya.
"Tunggu, Mba!"
Dengan malas, Luna pun membalikkan badannya sambil menghempaskan tangan Arka yang mencengkram lengannya.
"Lepaskan aku, Arka!"
"Mba, aku cuma mau ngomong sebentar sama Mba!"
"Ngomong apa Arka? Uang lagi, kan? Uang kan? Hanya itu yang kau bicarakan saat bersama denganku!"
"Mba, memang kami membutuhkan bantuan Mba. Cuma mba yang bisa bantu kami, Mba!"
"Untuk apa? Untuk apa lagi, Arka? Bukankah kau mengatakan masih ada waktu satu minggu untuk melunasi hutang-hutangmu dengan para rentenir itu? Tolong beri aku waktu untuk mencari uang sebanyak itu!"
"Bukan Mba, saat ini bukan itu yang aku minta dari Mba."
"Bukan itu? Lalu apa?"
"Mba, Mba Luna tau kan kalo Kayla lagi hamil. Kami butuh uang, Mba. Kami butuh uang untuk memeriksakan kandungan Kayla."
"Apa kau bilang, Arka? Uang untuk memeriksakan kandungan Kayla? Kau pikir aku ini apa? Mesin penghasil uang untuk kalian berdua? Kau suaminya, Arka! Kau yang seharusnya bertanggung jawab atas istrimu, bukan aku!"
"Tapi Mba, bukankan Mba tahu sendiri kalo aku baru saja dipecat, Mba. Aku sama sekali tidak punya uang."
"Heh, tidak punya uang? Makanya cari kerja! Sudah bagus aku mau bantu kalian melunasi hutang-hutang akibat pernikahan konyol kalian berdua!"
"MBA LUNA!"
PLAKKK
Sebuah tamparan keras pun menempel di pipi Luna. Luna yang begitu terkejut tiba-tiba Arka menampar wajahnya pun hanya bisa memegang pipinya sambil menatap Arka dengan tatapan tajam.
"Ada apa ini? Kenapa kalian ribut-ribut seperti ini?"
"Lihat, Ma. Lihat anak kesayangan Mama itu! Dia tidak bisa mengontrol mulutnya! Dia bahkan berani menyebut pernikahan kami sebagai pernikahan konyol! Benar-benar lancang!"
"Arka, Luna tidak mungkin mengatakan seperti itu tanpa alasan yang jelas! Kalian pasti sudah membuat Luna kesal dan mengatakan hal seperti itu! Sekarang, cepat katakan! Cepat katakan apa yang sebenarnya terjadi?"
Luna masih terdiam. Sakit, tapi hatinya jauh lebih sakit dibandingkan dengan tamparan yang dilayangkan oleh Arka.
"Mama, asal Mama tahu, anak kesayangan Mama itu tidak mau memberi uang pada kami, Ma. Padahal aku sedang membutuhkan uang untuk membawa Keyla kontrol kandungan ke dokter. Dia benar-benar pelit dan tidak berguna!"
"ARKA!"
"Kenapa, Ma? Jadi Mama juga membela wanita pelit itu?"
"Arka! Tidak sepantasnya kau berkata seperti itu pada kakakmu sendiri!"
"Benarkah dia kakakku? Aku meragukan itu! Mungkin benar kata orang-orang jika dia bukanlah kakak kandungku!"
"Diam, Arka!"
Luna pun terdiam, hanya tetes demi tetes air mata yang kini mulai jatuh membasahi pipinya.
"Arka, kau sudah menikah! Sudah sepantasnya kau yang menafkahi istrimu, bukan Luna!"
"Tapi Ma, bukankah Mama tahu kalau saat ini aku baru saja dipecat dari pekerjaanku? Jadi apa salahnya aku minta pada wanita pelit itu! WANITA PELIT SEKALIGUS ANAK PUNGUT!"
"ARKA!"
Mendengar perkataan Arka, tanpa berfikir panjang Luna lalu bergegas keluar dari rumah itu.
"LUNAAAA!" teriak Mamanya, namun dia abaikan begitu saja. Hatinya saat ini terasa begitu sakit menahan lara dan tekanan yang dilakukan Arka padanya.
Entah sejak kapan Arka berubah, Arka yang dulu begitu penyayang dan sangat melindungi dirinya. Meskipun usia Arka jauh lebih muda, dia selalu berusaha melindunginya dari laki-laki nakal yang selalu menggoda Luna.
Derap langkah demi langkah akhirnya membawa Luna di sampai ke jalan raya di pusat ibu kota. Sebenarnya Luna tak tahu kemana dia akan pergi, yang dia tahu saat ini dia hanya ingin menenangkan diri dari berbagai masalah serta cacian dari Arka.
Langkahnya akhirnya terhenti di sebuah halte di depan sebuah sekolah yang terlihat sepi. Luna menjatuhkan tubuhnya pada tempat duduk yang ada di halte tersebut dan menangis sejadi-jadinya sambil memegang dadanya yang kini terasa begitu sesak menahan rasa sakit. Tiba-tiba, sebuah sorot lampu menimpa tubuhnya yang saat ini masih hanyut dalam isak tangis. Mobil yang menyorotnya pun berhenti di depannya.
Luna yang terkejut ada sebuah mobil yang berhenti di depannya, lalu bergegas menghapus air matanya sambil mengambil sebuah cutter yang selalu dia bawa di dalam tasnya.
Seorang laki-laki lalu turun dari mobil tersebut dan mendekat ke arahnya. Luna lalu bergegas mengacungkan cutter tersebut ke arah lelaki itu.
"Jangan mendekat!" hardik Luna sambil mengacungkan cutter miliknya.
"Luna, kau kenapa? Ini aku Luna, aku tidak bermaksud buruk padamu!" ujar seseorang yang kini berdiri di depannya.
Luna pun menghembuskan nafas panjangnya, meskipun kehadiran lelaki itu sebenarnya sama saja seperti bencana baginya.
"Luna, kau kenapa? Ayo kuantar pulang!"
"Tidak usah Tuan Devano, saya belum ingin pulang ke rumah."
Devano kemudian duduk di samping Luna lalu menatap wajah Luna yang saat ini terlihat begitu sembab.
"Kau menangis?"
Luna menggelengkan kepalanya. "Kau habis menangis kan, Luna?"
Luna terdiam, hanya sebuah senyuman getir yang kini menghiasi bibirnya.
"Apa sesuatu telah terjadi padamu?"
Luna terdiam, hanya tetes demi tetes butiran bening yang keluar dari sudut matanya.
"Luna, aku tidak tahu masalah apa yang sedang terjadi padamu. Mungkin di matamu, aku adalah seorang laki-laki brengsekkk yang memperlakukan karyawan yang bekerja di kantornya dengan sesuka hatinya. Tapi sungguh, untuk malam ini aku benar-benar ingin membantumu, jadi tolong buang semua pikiran burukmu padaku. Malam ini, ijinkan aku untuk membantumu."
Luna pun menatap wajah tampan Devano. Untuk saat ini, dia akui jika Devano tampak begitu tulus padanya.
"Luna, kau percaya padaku kan?"
Luna kembali terdiam, hingga akhirnya dia terpaksa menganggukan kepalanya. "Ya, saya percaya Tuan."
"Terima kasih, kalau begitu, ayo kuantar pulang ke rumah."
"Tidak."
"Tapi ini sudah malam, Luna. Kau mau kemana?"
"Entahlah, mungkin akan mencari kost atau rumah kontrakan."
"Malam-malam seperti ini?"
Luna menganggukkan kepalanya. "Tidak, Luna. Jangan sekarang! Ini sudah malam, besok saja kuantar kau mencari rumah kontrakan. Sekarang lebih baik kau ikut aku saja!"
"Kemana, Tuan?"
"Ke apartemenku."
"Tidak!"
"Maaf, saya tidak bisa ke apartemen anda Tuan."
"Apa kau takut?"
Luna kembali terdiam sambil menggigit bibir bawahnya dan menahan perasaan yang begitu berkecamuk.
"Luna, kau tenang saja. Aku tahu, saat ini pasti kau sedang dalam masalah. Aku tidak mungkin berbuat hal yang tidak-tidak padamu, aku janji Luna."
"Lihat, aku janji. Aku janji malam ini aku tidak akan menyentuhmu. Jika aku mengingkari janjiku, maka perusahaanku akan bangkrut, emhhh aku juga akan berubah jadi buruk rupa. Kau percaya padaku, kan?" ucap Devano sambil membentuk angka dua dengan menggunakan jarinya.
Luna pun tersenyum. "Jadi, kau percaya padaku kan?"
Luna menganggukkan kepalanya. "Bagus, sekarang ayo pulang! Masuklah ke mobilku, Luna."
"Iya Tuan, terima kasih," jawab Luna. Dia kemudian melangkahkan kakinya lalu masuk ke mobil Devano. Sedangkan Devano kini tampak tersenyum menyeringai.
'Just sexxxxx, no love,' batinnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Nami chan
knp ga kerja
2023-11-24
1
^__daena__^
senyuman Devano kok mencurigakan ya🤔
2022-09-11
0
Yanti Yanti
modussssss
2022-08-31
0