Tafakur Cinta Wanita Bercadar
Seorang gadis cantik merogoh gawai di dalam tas ranselnya. Saat itu ia sedang berada di kampusnya. "Sebentar ya, gaes. Aku jawab telepon dulu." Gadis cantik berhidung mancung itu berucap pada teman-temannya. Gadis itu bernama Alinda Kencana.
"Oke, santai," jawab temannya Alinda.
Alinda pun melangkahkan kakinya sedikit menjauh dari teman-temannya. Dengan cepat ia menggeser tanda jawab, padahal itu nomor tidak ada namanya. Ya, artinya sebuah nomor tak dikenal yang menghubunginya. Namun, entah mengapa ia merasa jika ada sesuatu yang penting di saat itu.
"Hallo," ucapnya dengan pelan.
"Hallo, apakah ini dengan saudari Alinda? Putri Pak Hardi dengan Bu Mala?" terdengar suara seorang wanita di seberang sana.
Alinda mengangguk walau si penelepon tak bisa melihat anggukannya. "Ya, benar. Saya sendiri. Ada apa, ya?" Ia menjawab, namun juga disertai dengan pertanyaannya.
Hening, si penelepon tak menjawab langsung pertanyaan Alinda. Tentunya hal itu membuat gadis cantik berkulit putih itu tampak heran dan merasa penasaran. Seketika saja dadanya bergemuruh dan perasaannya mulai terasa tidak enak.
"Hallo, apakah Anda mendengar suara saya? Hallo? Ini dengan siapa, ya? Ada apa menelepon saya?" Alinda tampak tidak sabar dan kini ia mulai membrondong si penelepon dengan ribuan pertanyaannya.
"Duh, kenapa tiba-tiba perasaanku tidak enak, ya." Gadis berhijab biru itu tampak membatin sambil memegangi dadanya yang kian berdegup tak karuan.
"Hallo, kami dari rumah sakit. Kami ingin memberitahu bahwa kedua orang tua Anda mengalami kecelakaan besar dan saat ini jasadnya berada di rumah sakit Mulyo Utomo. Diharapkan untuk segera datang ke sini mengurus semuanya. Sekian, terima kasih," ungkap si penelepon yang ternyata seorang petugas rumah sakit.
Deg!
Seakan tersambar petir di siang bolong, tiba-tiba saja Alinda menjatuhkan gawainya ke lantai tanpa sadar. Dadanya terasa sesak dan panas. Denyut di ulu hatinya begitu terasa sakit. Kedua matanya terasa panas, memerah dan kini sudah tak bisa lagi menahan air matanya.
"Tidak! Apa? Ke–kecelakaan?" desis Alinda dengan suara yang bergetar dan tertahan.
"Lin, ada apa? Kenapa kau menjatuhkan gawaimu?" tanya teman Alinda yang kaget mendengar suara benda terjatuh.
Alinda tak menjawab, ia hanya diam dengan wajah pucat dan pias. Tangannya kini memegangi dadanya yang terasa sesak. Jangan tanya lagi bagaimana terkejut dan cemasnya Alinda saat ini.
"Lin, kamu kenapa? Apa yang terjadi, Lin?" tanya teman Alinda begitu penasaran.
"A–aku harus ke rumah sakit sekarang," ucap Alinda sambil meraih gawainya lalu bergegas melangkahkan kakinya tanpa menunggu jawaban dari temannya.
Kepalanya terasa berat, entah apa yang harus ia lakukan sekarang. Yang jelas, saat ini hatinya benar-benar hancur dan sakit. Ia sangat syok dengan apa yang barusan ia dengar.
Di sepanjang jalan menuju rumah sakit, Alinda melihat bekas terjadinya kecelakaan. Banyak orang yang berkerumun di sana. Beberapa polisi pun tampaknya masih menyelidiki penyebab kecelakaan itu terjadi.
"Astaghfirullahaladzim. Itu ... apakah benar yang aku dengar tadi? Ayah dan Bunda benar-benar kecelakaan?" gumam Alinda dalam hati. Air mata masih mengalir membasahi wajah cantiknya.
Alinda yang tak punya adik ataupun kakak itu tentunya sedikit kesulitan untuk menenangkan hatinya. Ia ingin bertanya, tapi bertanya pada siapa? Tak ada sanak saudaranya di kota itu. Kedua orang tuanya sama-sama berasal dari kampung. Dan tentunya, semua keluarganya berada di kampung. Sesampainya di rumah sakit Mulyo Utomo, Alinda langsung berlari ke resepsionis.
"Apakah benar di rumah sakit ini ada korban kecelakaan bernama Pak Hardi dan Bu Mala?" tanya Alinda dengan napas yang tersengal-sengal.
"Benar, Mbak. Korban kecelakaan sudah meninggal beberapa menit yang lalu," jawab petugas resepsionis itu.
"Innalilahi!" Dengan cepat Alinda berlari menuju kamar mayat yang mungkin saat ini kedua orang tuanya sudah berada di sana. Perasaannya sudah tak karuan saat ini. Seakan batu besar kini berada di hadapannya.
Deg!
Alinda terpaku di depan pintu kamar mayat. Dua suster dan satu dokter berada di sana. Tentunya hal itu membuatnya semakin syok dan tak percaya. Namun, rasa penasarannya pun kini membawa kakinya melangkah masuk ke dalam kamar mayat itu.
"Silakan dilihat, apakah benar ini kedua orang tua Anda?" ucap dokter dengan suara yang lembut.
Alinda menarik napasnya dalam lalu membuangnya perlahan. Alinda dengan tangan yang bergetar, gadis cantik itu pun membuka kain penutup wajah kedua orang tuanya dengan perlahan. Benar, tidak salah lagi jika itu adalah kedua orang tuanya.
"Hah!!" Alinda tampak membulatkan kedua bola matanya penuh dan menatap syok pada dua mayat di hadapannya. Ya, tentunya ia kini melihat wajah Ayah dan Bundanya.
"Bundaaaa! Ayaaaaah!" jerit gadis cantik itu dengan air mata yang sudah berderai membuat wajahnya semakin basah. Tubuhnya kian bergetar dan dadanya bergemuruh menahan sakit, sedih, syok dan takut.
"Yang sabar, ya. Kedua orang tua Anda sudah kembali kepada Yang Maha Kuasa," ucap dokter sambil mengusap pundak Alinda guna menguatkan.
"Tidaaaaak! Bunda, bangun. Jangan tinggalkan Alin, Bun. Ayah! Kenapa tega biarkan Alin sendirian? Hiks hiks hiks!" Gadis cantik itu kini semakin meradang dan memeluk kedua jasad orang tuanya.
Dokter dan suster hanya bisa menenangkan dan membiarkan Alinda menumpahkan tangisnya.
"Alin mau ikut sama Bunda dan Ayah. Alin mau ikuuuuut!" pekik gadis cantik itu yang kini tampak menggoyang-goyangkan tubuh kedua orang tuanya.
"Sudah, Mbak. Jangan seperti ini, ikhlaskan saja. Kasihan kedua orang tua Mbak jika terlalu meratapi seperti ini," ucap suster sembari menahan Alinda agar tidak semakin mengamuk.
Alinda memeluk erat tubuh Bundanya. Wajah sang Bunda kini sudah pucat tanpa warna. Kedua matanya benar-benar terpejam dan terdapat luka di bagian dahinya. Sepertinya memang benar, kedua orang tuanya telah mengalami kecelakaan yang begitu dahsyat.
***
"Bagaimana ini? Apakah kita langsung kebumikan saja? Atau mau dibawa ke kampung?" tanya Pak RT pada Alinda yang masih lemah dan pucat pasca pingsan.
"Sepertinya dibawa ke kampung saja, Pak. Tadi Alinda sempat menelepon saudaranya yang ada di kampung," jawab temannya Alinda.
"Oh, begitu. Ya sudah, kalau gitu kami akan menyiapkan segalanya," ucap Pak RT.
Alinda tampak masih diam dengan tatapan kosongnya. Di dalam rumah yang semula sepi itu itu kini tampak ramai oleh para pelayat. Jasad kedua orang tuanya tampak sudah terbungkus rapi oleh kain kafan. Beberapa orang di sana ada yang sibuk mengaji, membacakan surat Yasin dan doa-doa. Ada juga yang sibuk lalu lalang menyiapkan untuk keberangkatan jasad kedua orang tua Alinda yang akan dibawa ke kampung. Ada juga yang hanya berbincang-bincang membicarakan apa yang terjadi pada kedua almarhum dan almarhumah di rumah itu.
"Alin sungguh tidak akan bisa menjalani hidup ini tanpa kalian berdua, Yah, Bu." Gadis cantik itu merintih dalam hati. Air matanya kembali mengalir saat menatap dua jasad yang sudah terbujur kaku di hadapannya.
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Inru
Assalamu'alaikum, Alinda Kencana.
2022-08-30
0