Alinda membuka pintu gubug dengan sangat pelan. Wanita cantik pemberani itu merasa jika tempat itu adalah sebuah gubug yang akan menjadi istana baginya di malam itu. Entah mengapa ia merasa jika gubug itu sangat hangat dan damai saat ia masuk ke dalamnya.
Gubug yang sebenarnya sudah tak dipakai saat terjadi sebuah insiden di dalamnya, sangat ditakuti oleh warga di sana. Mereka menganggap gubug itu sangat angker dan menyeramkan. Terlebih saat ada seseorang yang bunuh diri di sana. Maka hal itu membuat si gubug yang dibangun oleh masyarakat untuk rapat ketika hendak melakukan sebuah acara-acara besar di kampung itu, harus ditinggal dan dibiarkan kumuh seperti itu.
Di saat yang lain mengaggap gubug itu angker dan menyeramkan. Beda halnya dengan Alinda yang malah merasa jika gubug itu sangatlah hangat dan damai. Entah apa yang membuatnya merasa damai. Yang jelas saat ini Alinda menjadikan gubug itu tempatnya menyendiri.
"Sayang sekali, gubug yang sebenarnya masih bagus jika dirawat ini malah gak ada yang ngisi. Hm, kalau gitu ... mulai sekarang gubug ini akan aku huni dan akan menjadi tempatku bersemedi. Eh, kok bersemedi, sih! Astaga. Maksudnya, tempatku untuk menyendiri, menenangkan hati dan untuk meluapkan segala yang aku pikirkan," ucap Alinda sambil mengedarkan pandangannya ke segala arah.
Gadis cantik itu kini mulai membersihkan gubug yang tak begitu besar itu menggunakan sapu. Ya, kebetulan ada sapu lidi di sana. Lampunya pun ternyata masih berfungsi saat Alinda menghidupkannya. Hanya satu ruang di gubug itu. Tak ada ruang lain dan tentunya polos tanpa ada barang apa pun. Sementara sawang atau yang lebih keren sarang laba-laba sudah membuat gubug semakin terlihat kumuh dan menyeramkan. Satu pintu di arah depan, dan dua jendela di arah yang berlawanan, depan dan belakang.
Netra hitam milik Alinda kini mencoba berkenalan dengan setiap jengkal gubug itu. Tak ada rasa takut dalam hatinya saat ini. Sungguh ia merasa jika di sinilah ia akan memulai hidupnya. Entah dengan cara apa. Yang sedang ingin ia pikirkan saat ini adalah, bagaimana caranya ia bisa membantu keuangan bibi serta pamannya.
"Wahai gubug yang hangat, izinkan aku, Alinda Kencana untuk tinggal di sini. Aku tidak akan merusak atau mengotorimu, gubug. Tapi aku hanya akan menjadikan tempat ini sebagai wadah untukku merenung dan berkhalwat dengan Allah. Aku juga akan merenung di sini, aku akan membaca kalam-kalam Allah. Aku janji, aku akan membuatmu semakin hangat dan damai dengan lantunan sholawat serta ayat suci Al-Quran." Alinda bicara sendiri pada si gubug.
Ya, tentu saja ia harus berkenalan dan minta izin pada si gubug yang mungkin saja ada penghuninya. Tetapi, itu tak masalah bagi Alinda. Toh, ia tidak ada niat buruk datang ke gubug itu.
Di sudut lain, para jama'ah dan masyarakat Kampung Pikanya'ah yang hadir di acara pembukaan pengajian dan tasyakuran pendopo tampak berbondong-bondong bersalaman pada Abah Haji Muhajir serta pada alim ulama lainnya. Tetapi, memang Abah Haji Muhajir lah tokoh ulama yang paling sepuh dan lama di kampung itu. Sedangkan sahabatnya—Pak Haji Anwar adalah seorang dosen serta penceramah di daerah Garut.
Selepas makan bersama, para jama'ah pun mulai merenggang meninggalkan pendopo. Ya, tentunya mereka pulang ke rumah masing-masing. Walaupun ada di antara mereka yang memilih untuk membantu membereskan pendopo dengan para santri.
"Duh, Aanya Zahra keren banget sih malam ini. Sumpah, kita semua sampai terhipnotis oleh kharisma dan kefashihan Aa saat tausiah tadi. Maa Syaa Allah!" puji Zahrani selaku adik bungsu Ustadz Destaqi.
Ustadz Destaqi tersenyum seraya mengacak puncak kepala adik bungsunya, "Bisa saja kamu. Mungkin itu karena kalian semua baru mendengar dan melihat Aa tausiah seperti itu di sini," kekehnya bersikap biasa dan tidak mencoba meninggi walau sedang dipuji.
"Ih, enggak atuh A. Zahra bicara jujur, lho! Para gadis dari mulai anak petani, anak pak RT, anak pak lurah, guru dan anak ustadz juga pada melotot menatap kagum pada Aa. Mungkin kalau Zahra bukan adik Aa, pasti Zahra juga sudah jatuh cinta pada Aa. Hihihi," ujar Zahrani yang tampak menekan setiap ucapannya. Ia begitu antusias dan semangat di malam itu.
Ustadz Destaqi hanya senyum-senyum kecil mendengar setiap kata yang adik bungsunya itu katakan. "Alhamdulillah, asalkan mereka tidak lupa untuk berkedip dan kembali menatap normal. Karena, kalau mereka semua sampai tidak bisa berkedip, nanti Aa yang akan disalahkan dan akan merasa bersalah," ucapnya dengan lembut.
Zahrani terkekeh, "Paling Aa disuruh bertanggungjawab dan menikahi mereka semua. Hahaha!" Ia tertawa pada akhirnya.
Ustadz Destaqi membulatkan kedua bola matanya penuh dan mencubit kecil lengan adik bungsunya itu. Tentu saja tawa Zahrani membuat para ustadz dan ayahanda mereka menoleh dan menatap heran. Nyai Hajah Suranih juga tampak kaget dan sampai menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Zahrani yang begitu periang.
"Sstt! Jangan tertawa seperti itu, Zahra! Kamu bisa mengganggu Abah dan Umi yang sedang berbincang dengan teman-teman mereka. Astaghfirullahaladzim," tegur Ustadz Destaqi dengan tatapan tajamnya.
Zahrani melipat bibirnya ke dalam dan mencoba menahan tawa. Sedangkan sang Umi terlihat berjalan ke arahnya bersama Bu Hajah Anwar.
"Aduh gawat. Umi nyamperin, lagi. Pasti Zahra bakal kena sentil," desis Zahrani yang kini memepet pada kakak sulungnya.
"Jangan suudzon." Ustadz Destaqi menggeser duduknya agar Zahrani tidak bersembunyi dari Uminya.
"Aduh-aduh! Apa yang sedang kalian berdua bicarakan? Kelihatannya teh sangat asyik atuh," ucap Bu Hajah Anwar dengan gaya yang begitu gemulai.
Ustadz Destaqi tersenyum ramah, "Biasa, Bu Hajah. Ada anak kecil lagi curhat perihal permen karet," kekehnya yang berhasil membuat Bu Hajah Anwar dan sang Umi tertawa kecil.
"Kamu ini ya, Qi. Bisa saja bercanda seperti itu," ucap Nyai Hajah Suranih sambil duduk di samping putra sulungnya.
"Aa Qi memang hobby bercanda, Umi." Zahrani menimpali.
"Gak apa-apa atuh kalau suka bercanda mah. Asalkan jangan suka sama janda saja. Hihihi," kekeh Bu Hajah Anwar.
Ustadz Destaqi melebarkan netranya dan tersenyum kecut. Sedangkan Zahrani dan Uminya tampak tertawa geli mendengar ucapan Bu Hajah Anwar.
"Di mana ada janda? Janda anak satu atau anak dua? Boleh tuh dibawa ke Garut," timpal Pak Haji Anwar yang ternyata mendengar ucapan istrinya.
Bu Hajah Anwar memelototkan kedua matanya dengan sangar, "Jangan bermimpi atuh ya. Sok atuh langkahi dulu mayat Mamah kalau Papah teh mau bawa janda ke Garut!" omelnya dengan wajah cemberut.
Pak Haji Anwar terkekeh. Sedangkan yang lain tampak tertawa renyah. Candaan Pak Haji Anwar dan istrinya bagaikan hiburan di waktu santai selepas menyelesaikan pengajian.
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments