"Tenang, Neng. Kita cari sambil serahkan pada Allah. Terus baca dzikir dan sholawat agar Allah bantu kita," balas Mang Agus yang terus bersikap bijak dan dewasa.
Bi Herni kembali mengangguk. Mereka kini berjalan ke arah pendopo yang terlihat sudah sepi tapi masih terdengar suara manusia di dalamnya.
"Apakah mungkin tadi dia ikut pengajian di sini?" ucap Bi Herni mencoba menebak-nebak.
Mang Agus menggeleng kecil, "Belum tentu, Neng. Sebentar, coba Aa cari ke bagian belakang pendopo," jawabnya yang kemudian melangkahkan kakinya ke bagian belakang.
Sementara Bi Herni tampak masih berada di depan pendopo. Kini ia mendudukkan bokongnya di teras pendopo.
"Yaa Allah, bantu kami untuk mencari Alinda. Lindungilah dia di mana pun berada. Maafkan kami jika sudah melukai hati gadis yatim piatu itu," rintih Bi Herni sambil menengadahkan kedua tangannya ke langit.
Ustadz Destaqi yang sedang berada di dalam pendopo tampak melangkahkan kakinya. Samar-samar ia mendengar suara langkah kaki di luar dan disambung dengan suara seorang perempuan. Tapi, tentu saja tidak jelas apa yang wanita itu ucapkan.
"Suara siapa itu? Apa ada orang di luar?" gumam Ustadz tampan itu sambil terus melangkahkan kakinya tanpa menaruh rasa curiga.
Ustadz Destaqi memang masih berada di pendopo sendirian. Ia berniat untuk bermalam di pendopo yang baru diisi itu.
"Hah, benar. Ada orang di luar. Tapi, siapa? Sepertinya ibu-ibu," gumam Ustadz Destaqi dalam hati.
Ia pun gegas membuka pintu depan pendopo besar itu. Saat itu, Bi Herni tampak menoleh dan setengah kaget karena ternyata ada Ustadz Destaqi di pendopo itu.
"Maa Syaa Allah, Ustadz Taqi. Maaf kalau saya teh mengganggu Ustadz," ucap Bi Herni yang tampak langsung berdiri saat Ustadz Destaqi menampakkan dirinya.
"Tidak sama sekali, Ceu. Loh, sedang apa Ceu Herni di sini? Mencari Kang Agus?" tanya Ustadz Destaqi keheranan.
"Eum, itu ... anu, saya teh...." Bi Herni tampak terlihat gugup dan bingung. Tentu saja ia harus menyembunyikan apa yang sedang ia lakukan di sana.
"Kenapa, Ceu? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Ustadz Destaqi lagi.
"Oh, enggak-enggak, Ustadz. Saya teh sebenarnya—" belum sampai Bi Herni menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba terdengar suara Mang Agus menyelanya.
"Subhanallah, aya Ustadz kasep horeng di dieu teh," ucap Mang Agus yang tampak bersikap biasa dan seolah tidak sedang terjadi apa-apa.
(Subhanallah, ada Ustadz tampan ternyata di sini.)
Ustadz Destaqi tersenyum ramah dan hangat, "Yaa Salam, Kang Agus teh nuju naon atuh di dieu?" tanyanya.
(Ya Salam, Kang Agus itu sedang apa ya di sini?)
"Saya teh sedang mencari sandal saya, Ustadz. Tadi teh sandalnya hilang satu," jawab Mang Agus yang terpaksa harus berbohong. Tentu saja ia tidak ingin mengatakan yang sebenarnya karena takut akan menjadi heboh di kampung.
"Allahu Akbar. Terus gimana? Sudah ketemu belum, Kang? Pasti karena banyak yang hadir," tanya Ustadz Destaqi yang kini tampak bergegas melangkah ke teras dan mengedarkan pandangannya ke segala arah.
"Alhamdulillah, sudah gak ada, Ustadz. Tapi ya gak apa-apa, sih. Soalnya itu sandal keteplek. Hehehe," kekeh Mang Agus alibi.
"Astaghfirullahaladzim. Maafkan kami ya Allah, kami sampai berani berbohong seperti ini dan seolah tidak terjadi apa-apa saat ini. Padahal nyatanya kami sedang ketakutan dan menyembunyikan sesuatu," rintih Bi Herni di dalam hati.
"Oh, begitu ya. Ya sudah kalau misalnya nanti saya ataupun santri nemuin sandal teplek itu, akan cepat-cepat diantar ke rumah Kang Agus," ucap Ustadz Destaqi dengan ramah.
Mang Agus mengangguk lantas tersenyum. "Ya sudah atuh kalau begitu kami pamit pulang ya, Ustadz," izinnya.
Ustadz Destaqi mengangguk, "Oh iya-iya, Kang," jawanya.
Setelah dirasa cukup, Mang Agus dan Bi Herni pun kembali melangkahkan kaki mereka meninggalkan pendopo. Kali ini keduanya berusaha mencari ke arah barat.
"Aduh, gimana ini, A? Kenapa si Alin susah sekali ditemukannya. Apa dia sudah benar-benar pergi dari kampung ini?" ucap Bi Herni yang tampak masih cemas dan gemetar.
Kalau tadi ia bisa menahan dan mencoba biasa saja di hadapan Ustadz Destaqi, kini ia tak dapat lagi menahan cemas dan paniknya.
"Sabar. Semoga Allah memberi petunjuk pada kita," ucap Mang Agus kembali menenangkan.
"Tadi Aa teh sampai berani bohong sama Ustadz Taqi." Bi Herni menatap pahit.
"Aa sadar. Tapi, itu karena kita menutupi aib keluarga kita. Bukankah Allah memerintahkan hamba-Nya untuk senantiasa menutupi aib sendiri maupun aib orang lain?" ujar Mang Agus memberi pemahaman pada istrinya.
Bi Herni mengangguk paham. "Iya, A. Neng paham," ucapnya lemah.
Mereka pun terus berjalan dan mencari sosok Alinda. Hingga ke setiap tempat, kebun, gang kecil. Tapi mereka tak menemukan gadis cantik yang sedang mengambek itu.
Sementara itu, Alinda yang sedang galau itu kini terlihat duduk di gubug kumuh itu. Tak ada alas untuknya tidur nanti. Tetapi, hal itu tidak ia permasalahkan. Sebab, ia bisa tidur walau tanpa alas.
"Sepertinya aku memang harus menjual rumah peninggalan ayah dan bunda. Dengan begitu, aku bisa menggunakan uang itu untuk modal usaha. Tapi, usaha apa, ya? Ini kan kampung, pasti sangat sulit merintis usaha dari nol," cerocos Alinda dalam hati.
Tak ada yang tahu apa yang sedang Alinda lakukan sekarang. Bahkan, gadis cantik itu seperti tidak peduli dan memikirkan bibi serta pamannya yang sedang uring-uringan mencarinya dengan segala kepanikan dan kecemasan.
"Huft, di sini ada kamar mandi. Tapi, ada airnya nggak, ya? Aku ingin membaca ayat suci Al-Quran yang sudah kuhafal," ucap Alinda yang kemudian melangkahkan kakinya ke kamar mandi yang berada di belakang. Tentunya terpisah dari gubug itu.
Ini sudah jam dua belas malam. Tapi Alinda masih melek dan bahkan kini berjalan ke luar gubug dan menuruni tangga ke kamar mandi. Suasana hening, gelap, dingin dan tentunya angker. Tapi, Alinda yang pemberani itu sama sekali tidak merasa takut walau sesekali ia merasa seperti ada yang memperhatikan dirinya.
Setelah mengambil wudhu. Alinda pun bergegas masuk lagi ke dalam gubug. Tak lupa ia kunci dengan rapat. Kebetulan kunci di pintu benar-benar masih utuh.
"A'udzu billaahi minasyaithoooni rojiiim. Bismillahirrahmanirrahim." Alinda mulai membaca taawudz dan bismillah dengan irama bayyati. Benar-benar merdu dan halus suara gadis cantik itu.
Tidak sia-sia Alinda selalu ikut kajian dan peserta rohis di sekolahnya dulu. Sehingga ia bisa belajar irama bayyati dan sebagainya. Hasilnya, kini suaranya sangat merdu dan adem di telinga yang mendengarnya.
Alinda terus memecah keheningan malam dengan bacaan ayat suci Al-Quran yang sudah ia hafal. Malam dingin itu kini terasa hangat dengan bacaan ayat suci Al-Quran yang keluar dari lisan Alinda.
Sementara itu, saat Bi Herni dan Mang Agus sudah merasa lelah dan putus asa. Mereka pun memilih kembali pulang ke rumah dan menyerahkan semuanya pada Allah. Rencananya, mereka akan kembali mencari Alinda besok pagi.
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments