Bab 10

Alinda melangkahkan kakinya dengan cepat menuju rumah Bi Herni. Saat azan subuh berkumandang, ia gegas membuka mata lalu menyadarkan dirinya dari mimpi indahnya. Ya, ia semalam mimpi bertemu dengan kedua orang tuanya di suatu tempat yang sangat indah dan sejuk.

"Aku harus kembali sebelum Bi Herni dan Mang Agus menyadari ketidakadaanku di kamar," gumam gadis cantik itu dalam hati.

Ia terus berjalan menyapa jalanan aspal yang sudah rusak itu. Kehidupan di desa benar-benar berbeda dengan kehidupan di kota. Di mana waktu subuh ia melihat para penduduk yang hilir mudik ke ladang, ke sawah, ke kebun serta ke sungai. Tentunya hal itu membuat Alinda semakin merasa tenang.

Brugh!

Tak sengaja Alinda menabrak seseorang yang tengah berjalan dengan arah berlawanan. Ia yang berjalan dengan menunduk dan fokus ke bawah tampak tak sadar jika ada manusia lain di hadapannya.

"Astaghfirullahaladzim," desis Alinda sambil mengusap dadanya. Ia pun gegas mengangkat wajahnya yang ditutupi oleh niqob itu.

Seorang lelaki dengan tubuh kekar dan wajah tampan tampak menatap tajam dan dalam pada Alinda. Namun, ia seperti tidak bermasalah saat Alinda tak sengaja menabrak tubuhnya.

"Maaf, kau baik-baik saja?" tanya lelaki itu dengan suara yang dingin namun tenang.

Alinda mengangguk kecil. "Saya yang mestinya minta maaf karena sudah menabrak Anda. Alhamdulillah, saya tidak apa-apa," jawabnya dengan wajah yang masih ia tundukkan.

Lelaki itu menatap heran dan seperti sedang berpikir keras. Mengingat-ingat apakah dia pernah mendengar suara gadis itu? Apakah dia pernah melihat gadis itu?

"Saya permisi," ucap Alinda yang kemudian melangkahkan kakinya, namun dengan cepat lelaki itu menangkap tangannya.

"Siapa kau? Pernah kah kita bertemu?" tanya lelaki itu dengan nada yang sangat penasaran.

Alinda dengan cepat menepis tangan lelaki yang berwajah tampan dan seperti bukan orang biasa di kampung itu. "Maaf, jangan lancang. Kita tidak ada urusan dan tidak pernah bertemu, jadi ... izinkan saya untuk pergi," ujarnya dengan nada yang dingin.

Lelaki itu semakin mengerutkan dahinya dan penasaran pada sosok gadis pemakai niqob yang tak sengaja menabrak dirinya itu. Namun walaupun begitu, ia tetap membiarkan Alinda berjalan meninggalkan dirinya yang saat itu sedang memantau kebun sayuran milik kedua orang tuanya.

Ya, lelaki itu adalah Maher Sanjaya. Seorang pemuda tampan putra tunggal juragan sayur dan buah-buahan di kampung itu. Maher Sanjaya adalah pemuda yang jarang sekali bergaul dengan teman sebayanya di kampung itu. Ketika ia berada di rumah, ia akan disibukan dengan kegiatannya mengurus perkebunan milik kedua orang tuanya yang akan diwariskan pada dirinya seorang. Dan jika ia tidak ada di rumahnya, itu artinya ia berada di Jakarta, mengurus toko sayur-sayuran serta buah-buahan miliknya sendiri.

Namun saat ini pemuda tampan itu sedang berada di rumah kedua orang tuanya karena sedang memantau perkembangan perkebunan sayur dan buah-buahan itu. Tentunya sayur dan buah-buahan yang sudah dipanen nanti akan dibawa ke kota dan dikirim kepada para reseller, dropship, agen, sub agen dan warung-warung kecil yang masih sempat pesan padanya. Terutama tokonya juga, ia pun menarik dari hasil panen perkebunan kedua orang tuanya itu.

"Siapa gadis itu? Matanya cantik sekali. Tapi, kenapa dia memakai niqab? Sepertinya bukan penduduk asli kampung ini," gumam Maher dengan rasa penasarannya yang semakin meninggi.

Sementara itu Alinda tampak tergopoh-gopoh dan seperti ikan yang loncat dari kolam ke daratan. Membutuhkan banyak oksigen untuk ia hirup agar bisa bernapas lega dan normal.

"Astagfirullah! Untung saja tidak ada orang yang melihatku dengan lelaki itu tadi. Aku sungguh takut akan menjadi fitnah," ucap Alinda sambil mengusap dadanya berkali-kali.

Gadis cantik itu sudah sampai di depan rumah Bi Herni. Namun ia lupa jika semalam ia keluar melalui jendela kamarnya. Tentu saja ia pun harus masuk ke kamar melalui jendela lagi agar Bi Herni tidak curiga. Padahal nyatanya Bi Herni dengan Mang Agus sudah tahu jika dirinya menghilang semalam.

"Ya Allah, kenapa jendelanya ketutup gini? Apa jangan-jangan Bi Herni sama Mang Agus sudah tahu aku pergi?" ucap Alinda dengan ekspresi yang kaget dan juga panik.

Ya, ia sungguh takut Bibi serta Pamannya itu akan marah besar padanya. Ia juga takut Bibi serta Pamannya akan khawatir padanya. Nyatanya memang benar, mereka berdua sangat khawatir bahkan merasa bersalah atas sikap dan tindakan keduanya pada gadis yatim piatu itu.

"Astagfirullah, apa yang harus aku lakukan," desis gadis cantik itu sambil mengetuk-ngetuk jendela kamarnya yang tertutup rapat dan sudah dikunci dari dalam.

"Heh, saha eta anu di dinya? Maneh teh maling nya?" teriak seorang Ibu-ibu kepada Alinda yang sedang berdiri di depan jendela kamarnya.

(Heh, siapa itu yang di sana? Kamu itu maling, ya?)

Sontak saja Alinda menoleh kaget saat Ibu-ibu meneriaki dirinya dan menyangkanya maling. "Astaghfirullahaladzim. Bagaimana ini? Ibu itu mengira aku maling," desisnya dalam hati.

Si Ibu itu berjalan mendekati Alinda. Wajahnya sudah terlihat sangar dan seperti seekor singa yang siap menerkam mangsanya. "Sia teh maling, nya?" tuding si Ibu itu dengan tatapan tajam dan penuh selidik.

(Kamu maling, ya?)

Alinda dengan cepat menggeleng. Ia semakin panik dan tegang karena si Ibu di hadapannya itu kini sudah meneriakinya sebagai maling.

"Maliiing! Maliiing! Hernii! Agus! Kaluar saria teh! Yeuh aya anu rek maling di dieu!" teriak si Ibu itu dengan kekuatan yang sangat tinggi.

(Maliing! Maliiing! Herni! Agus! Keluar kalian itu. Ini ada yang mau maling ni di sini!)

Alinda semakin panik dan kelabakan menghadapi si ibu yang tak mau kompromi itu. "Stop, Bu! Saya bukan maling! Tolong jangan fitnah seperti itu," ujarnya penuh permohonan.

Si Ibu itu tak peduli ia tetap meneriaki Alinda dan koar-koar agar para tetangga mendengar teriakannya. "Maling mana mau ngaku! Lihat, kamu itu wajahnya pakai ditutup seperti itu, bagaikan ******* saja!" hardiknya dengan sorot mata yang tajam dan sangar.

Alinda beberapa kali menggeleng. Ia terlalu lemah berada di hadapan the power of emak-emak.

"Mana yang maling? Siapa yang kemalingan?" tanya seorang bapak-bapak yang tiba-tiba saja datang setelah mendengar teriakan si Ibu itu.

"Tuh dia malingnya! Pintar sekali dia mau maling pakai baju muslim seperti itu. Pakai penutup wajah seperti ******* lagi! Mana ini si Herni sama si Agus, mereka masih tidur kah? Ada maling kok santai-santai saja," oceh si Ibu yang lambe turah itu. Sepertinya pemimpin para emak-emak yang hobby bergosip.

Dalam sekejap saja tempat itu tiba-tiba ramai oleh para tetangga yang mendengar teriakan si Ibu lambe turah. Dan hal itu membuat Alinda semakin lemah dan panik.

BERSAMBUNG...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!