NovelToon NovelToon

Tafakur Cinta Wanita Bercadar

Bab 1

Seorang gadis cantik merogoh gawai di dalam tas ranselnya. Saat itu ia sedang berada di kampusnya. "Sebentar ya, gaes. Aku jawab telepon dulu." Gadis cantik berhidung mancung itu berucap pada teman-temannya. Gadis itu bernama Alinda Kencana.

"Oke, santai," jawab temannya Alinda.

Alinda pun melangkahkan kakinya sedikit menjauh dari teman-temannya. Dengan cepat ia menggeser tanda jawab, padahal itu nomor tidak ada namanya. Ya, artinya sebuah nomor tak dikenal yang menghubunginya. Namun, entah mengapa ia merasa jika ada sesuatu yang penting di saat itu.

"Hallo," ucapnya dengan pelan.

"Hallo, apakah ini dengan saudari Alinda? Putri Pak Hardi dengan Bu Mala?" terdengar suara seorang wanita di seberang sana.

Alinda mengangguk walau si penelepon tak bisa melihat anggukannya. "Ya, benar. Saya sendiri. Ada apa, ya?" Ia menjawab, namun juga disertai dengan pertanyaannya.

Hening, si penelepon tak menjawab langsung pertanyaan Alinda. Tentunya hal itu membuat gadis cantik berkulit putih itu tampak heran dan merasa penasaran. Seketika saja dadanya bergemuruh dan perasaannya mulai terasa tidak enak.

"Hallo, apakah Anda mendengar suara saya? Hallo? Ini dengan siapa, ya? Ada apa menelepon saya?" Alinda tampak tidak sabar dan kini ia mulai membrondong si penelepon dengan ribuan pertanyaannya.

"Duh, kenapa tiba-tiba perasaanku tidak enak, ya." Gadis berhijab biru itu tampak membatin sambil memegangi dadanya yang kian berdegup tak karuan.

"Hallo, kami dari rumah sakit. Kami ingin memberitahu bahwa kedua orang tua Anda mengalami kecelakaan besar dan saat ini jasadnya berada di rumah sakit Mulyo Utomo. Diharapkan untuk segera datang ke sini mengurus semuanya. Sekian, terima kasih," ungkap si penelepon yang ternyata seorang petugas rumah sakit.

Deg!

Seakan tersambar petir di siang bolong, tiba-tiba saja Alinda menjatuhkan gawainya ke lantai tanpa sadar. Dadanya terasa sesak dan panas. Denyut di ulu hatinya begitu terasa sakit. Kedua matanya terasa panas, memerah dan kini sudah tak bisa lagi menahan air matanya.

"Tidak! Apa? Ke–kecelakaan?" desis Alinda dengan suara yang bergetar dan tertahan.

"Lin, ada apa? Kenapa kau menjatuhkan gawaimu?" tanya teman Alinda yang kaget mendengar suara benda terjatuh.

Alinda tak menjawab, ia hanya diam dengan wajah pucat dan pias. Tangannya kini memegangi dadanya yang terasa sesak. Jangan tanya lagi bagaimana terkejut dan cemasnya Alinda saat ini.

"Lin, kamu kenapa? Apa yang terjadi, Lin?" tanya teman Alinda begitu penasaran.

"A–aku harus ke rumah sakit sekarang," ucap Alinda sambil meraih gawainya lalu bergegas melangkahkan kakinya tanpa menunggu jawaban dari temannya.

Kepalanya terasa berat, entah apa yang harus ia lakukan sekarang. Yang jelas, saat ini hatinya benar-benar hancur dan sakit. Ia sangat syok dengan apa yang barusan ia dengar.

Di sepanjang jalan menuju rumah sakit, Alinda melihat bekas terjadinya kecelakaan. Banyak orang yang berkerumun di sana. Beberapa polisi pun tampaknya masih menyelidiki penyebab kecelakaan itu terjadi.

"Astaghfirullahaladzim. Itu ... apakah benar yang aku dengar tadi? Ayah dan Bunda benar-benar kecelakaan?" gumam Alinda dalam hati. Air mata masih mengalir membasahi wajah cantiknya.

Alinda yang tak punya adik ataupun kakak itu tentunya sedikit kesulitan untuk menenangkan hatinya. Ia ingin bertanya, tapi bertanya pada siapa? Tak ada sanak saudaranya di kota itu. Kedua orang tuanya sama-sama berasal dari kampung. Dan tentunya, semua keluarganya berada di kampung. Sesampainya di rumah sakit Mulyo Utomo, Alinda langsung berlari ke resepsionis.

"Apakah benar di rumah sakit ini ada korban kecelakaan bernama Pak Hardi dan Bu Mala?" tanya Alinda dengan napas yang tersengal-sengal.

"Benar, Mbak. Korban kecelakaan sudah meninggal beberapa menit yang lalu," jawab petugas resepsionis itu.

"Innalilahi!" Dengan cepat Alinda berlari menuju kamar mayat yang mungkin saat ini kedua orang tuanya sudah berada di sana. Perasaannya sudah tak karuan saat ini. Seakan batu besar kini berada di hadapannya.

Deg!

Alinda terpaku di depan pintu kamar mayat. Dua suster dan satu dokter berada di sana. Tentunya hal itu membuatnya semakin syok dan tak percaya. Namun, rasa penasarannya pun kini membawa kakinya melangkah masuk ke dalam kamar mayat itu.

"Silakan dilihat, apakah benar ini kedua orang tua Anda?" ucap dokter dengan suara yang lembut.

Alinda menarik napasnya dalam lalu membuangnya perlahan. Alinda dengan tangan yang bergetar, gadis cantik itu pun membuka kain penutup wajah kedua orang tuanya dengan perlahan. Benar, tidak salah lagi jika itu adalah kedua orang tuanya.

"Hah!!" Alinda tampak membulatkan kedua bola matanya penuh dan menatap syok pada dua mayat di hadapannya. Ya, tentunya ia kini melihat wajah Ayah dan Bundanya.

"Bundaaaa! Ayaaaaah!" jerit gadis cantik itu dengan air mata yang sudah berderai membuat wajahnya semakin basah. Tubuhnya kian bergetar dan dadanya bergemuruh menahan sakit, sedih, syok dan takut.

"Yang sabar, ya. Kedua orang tua Anda sudah kembali kepada Yang Maha Kuasa," ucap dokter sambil mengusap pundak Alinda guna menguatkan.

"Tidaaaaak! Bunda, bangun. Jangan tinggalkan Alin, Bun. Ayah! Kenapa tega biarkan Alin sendirian? Hiks hiks hiks!" Gadis cantik itu kini semakin meradang dan memeluk kedua jasad orang tuanya.

Dokter dan suster hanya bisa menenangkan dan membiarkan Alinda menumpahkan tangisnya.

"Alin mau ikut sama Bunda dan Ayah. Alin mau ikuuuuut!" pekik gadis cantik itu yang kini tampak menggoyang-goyangkan tubuh kedua orang tuanya.

"Sudah, Mbak. Jangan seperti ini, ikhlaskan saja. Kasihan kedua orang tua Mbak jika terlalu meratapi seperti ini," ucap suster sembari menahan Alinda agar tidak semakin mengamuk.

Alinda memeluk erat tubuh Bundanya. Wajah sang Bunda kini sudah pucat tanpa warna. Kedua matanya benar-benar terpejam dan terdapat luka di bagian dahinya. Sepertinya memang benar, kedua orang tuanya telah mengalami kecelakaan yang begitu dahsyat.

***

"Bagaimana ini? Apakah kita langsung kebumikan saja? Atau mau dibawa ke kampung?" tanya Pak RT pada Alinda yang masih lemah dan pucat pasca pingsan.

"Sepertinya dibawa ke kampung saja, Pak. Tadi Alinda sempat menelepon saudaranya yang ada di kampung," jawab temannya Alinda.

"Oh, begitu. Ya sudah, kalau gitu kami akan menyiapkan segalanya," ucap Pak RT.

Alinda tampak masih diam dengan tatapan kosongnya. Di dalam rumah yang semula sepi itu itu kini tampak ramai oleh para pelayat. Jasad kedua orang tuanya tampak sudah terbungkus rapi oleh kain kafan. Beberapa orang di sana ada yang sibuk mengaji, membacakan surat Yasin dan doa-doa. Ada juga yang sibuk lalu lalang menyiapkan untuk keberangkatan jasad kedua orang tua Alinda yang akan dibawa ke kampung. Ada juga yang hanya berbincang-bincang membicarakan apa yang terjadi pada kedua almarhum dan almarhumah di rumah itu.

"Alin sungguh tidak akan bisa menjalani hidup ini tanpa kalian berdua, Yah, Bu." Gadis cantik itu merintih dalam hati. Air matanya kembali mengalir saat menatap dua jasad yang sudah terbujur kaku di hadapannya.

BERSAMBUNG...

Bab 2

Satu minggu sudah Alinda ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Tepat di malam ini, keluarga almarhum Bunda Alinda mengadakan acara tahlilan malam ke tujuh di rumah Bibi Herni. Dan, sudah satu minggu pula Alinda si yatim piatu itu berada di kampung bersama Bibi dan Pamannya.

"Alin masih tidak menyangka dengan kepergian kalian berdua. Jika bisa meminta, Alin ingin pergi menyusul Bunda dan Ayah saat ini juga," ucap Alinda dalam hati.

Setiap hari, Alinda selalu murung dan jarang makan. Ia terus memikirkan kedua orang tua yang sudah pergi meninggalkannya ke tempat tinggal yang sebenarnya. Studinya di kota pun tampak tak ia hiraukan. Seakan hidupnya sudah hancur dan semua harapan yang ia bangun tinggi-tinggi, kini runtuh begitu saja.

"Neng Alin, habis ini makan, ya. Lihat wajahmu, makin hari makin tirus. Sepertinya berat badanmu juga ikut turun. Bibi mohon, jangan seperti ini, Neng." Bibi Herni mendekati keponakannya lalu membujuk gadis cantik itu agar kau mengisi perutnya.

Alinda menggeleng kecil, "Alin tidak lapar, Bi," jawabnya singkat.

"Harus paksakan saja, Neng. Apakah Neng pikir Bunda dan Ayah tidak sedih jika melihat Neng seperti ini? Coba Neng pikir-pikir lagi, Bunda dan Ayah pasti ingin Neng tetap tegar dan semangat. Jadi, ayo makan dan jangan terus-terusan melamun seperti ini," ujar Bi Herni yang tampak menekan setiap ucapannya.

Alinda terdiam dan hanya menatap kosong pada jendela kamar yang ia tempati. Tak ada kegiatan yang lebih indah selain melamun dan merindukan kedua orang tuanya. Padahal, Alinda baru satu minggu ditinggalkan oleh Ayah dan Bundanya. Akan tetapi badannya kini semakin kurus dan seperti tersiksa sepanjang hari.

"Neng, karena saat ini Ayah dan Bunda sudah tidak ada. Jadi, Neng tinggal di sini saja bersama Bibi dengan Paman," ucap Bi Herni penuh perhatian.

Alinda mengangguk tanpa berpikir lagi. Tentu saja ia memang sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Bibi dan Pamannya itu. Kebetulan, Bi Herni dan Paman Agus memang belum dikaruniai keturunan oleh Allah. Jadi, hal itu membuat Alinda tidak merasa keberatan.

"Iya, Bi," jawab gadis cantik itu tanpa ragu.

Apalagi yang akan ia lakukan di kota? Sedangkan kedua orang tuanya sudah tidak ada. Mungkin, setelah ini ia akan mencabut studinya di universitas Islam yang menjadi wadahnya mencari ilmu, wawasan dan pengalaman.

Waktu terus bergulir. Menghempas kenangan dan derita di setiap lubang yang kosong dalam hati Alinda. Meski terpuruk, gadis itu akhirnya mau membuka mulut untuk mengisi perut dengan nasi. Tetapi, selama ia tinggal di kampung, tak pernah sekalipun ia bermain ke luar rumah. Sekedar berjalan-jalan ke ujung gang pun rasanya kaki begitu berat melangkah. Entah karena apa, yang jelas saat ini Alinda merasa tak ada kehidupan yang menyenangkan lagi baginya selain merindukan kedua orang tuanya.

Jangan tanya bagaimana soal studinya saat ini. Ya, tentunya sudah berhenti sejak empat puluh hari pasca meninggalnya dua orang tercinta yaitu kedua orang tuanya.

"Neng, para tetangga teh nanyain Neng terus. Katanya si Neng kenapa jarang keluar. Para gadis di sini itu dulu teman Neng waktu kecil, kalau Neng liburan ke sini, Neng mainnya sama mereka. Hayu atuh Neng sekali-kali main ke luar, jangan ngerem seperti ini terus," bujuk Bi Herni yang sepertinya sedikit risih dengan ucapan para tetangga.

Alinda tersenyum tipis. Ia mengerti mengapa Bibinya itu memintanya untuk keluar rumah walau sekedar hanya menyapa para tetangga atau nongkrong di teras rumah. Tetapi, ia sendiri masih belum ada keinginan untuk keluar rumah setelah kepergian kedua orang tuanya. Kecuali kalau ia hendak ziarah ke makam Ibu dengan Ayahnya, ia pasti keluar. Itu pun mengenakan hijab syar'i dengan cadar yang sengaja ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Ia memang tak ingin menampakkan diri di kampung itu. Bukan karena tidak suka pada penduduk kampung, tapi karena tak ada lagi semangat untuk menunjukkan pada dunia siapa dirinya tanpa kedua orang tuanya.

"Bibi teh malu sama tetangga. Mereka menyangka Bibi sama Mamang yang mengurung Neng Alin di dalam rumah," lanjut Bu Herni semakin mendesak dan merajuk.

"Ya Allah. Maafkan Alin ya, Bi. Karena Alin, Bibi jadi menanggung malu. Insyaa Allah nanti Alin akan main ke luar, Bi. Untuk sekarang-sekarang ini ... Alin benar-benar belum siap," ucap Alinda menangkap tangan sang Bibi yang tak lain adalah adik kandung Ayahnya.

Bi Herni menggeleng kecil, "Bukan begitu, Neng. Maksud Bibi tuh biar tetangga pada tahu kalau Bibi enggak ngurung Neng di rumah. Lagipula, kita hidup bukan sendirian di dunia ini, Neng. Kita perlu dan butuh bersosialisasi dengan orang lain. Jadi, saran Bibi teh baiknya Neng jangan ngurung terus. Bibi juga agak bingung harus berbuat apa biar Neng gak sedih dan murung terus seperti ini," ujarnya panjang lebar.

Alinda tersenyum, "Alin paham, Bi. Tapi, Bibi tenang saja. Alin senang dengan kesendirian Alin di dalam kamar. Toh, Alin diam di rumah juga ada hal positifnya. Terjauh dari pandangan pria, terjauh dari ghibah dan Insyaa Allah terjaga oleh Allah subhanahu wa ta'ala," ucapnya sedikit memberikan ketenangan pada Bibinya itu.

Bi Herni akhirnya mengangguk pasrah. Ia memang tidak akan memaksa keponakannya itu untuk bergaul dengan tetangganya. Memang benar juga yang Alinda katakan, berdiam diri di rumah akan lebih baik dari pada berkumpul di luar rumah yang akan menimbulkan fitnah juga ghibah. Sudah sering terjadi di mana-mana, suatu perkumpulan yang awalnya mengobrol biasa, lama-lama akan terjadi gosip menggosip. Dari satu tema, menjalar ke tema lainnya. Dan itulah yang selama ini Alinda hindari.

Di sudut lain, seorang pemuda tampan putra sulung Kiyai besar di kampung itu tampak sedang memantau para pekerja yang sedang menyelesaikan sebuah pendopo di tengah-tengah lapangan kampung. Kebetulan pemuda tampan bernama Muhammad Reyhan Destaqi itu baru kembali dari menempuh pendidikan di daerah Jawa. Kembalinya sang putra sulung Kiyai Haji Muhajir Arifin itu sangat dinanti dan disambut baik oleh masyarakat di sana.

Pembangunan pendopo pun dilakukan oleh semua masyarakat termasuk Mamang Agus—Pamannya Alinda. Dan rencananya, pendopo itu akan diisi untuk pengajian setiap malam jumat yang akan dipimpin oleh Ustadz Destaqi dengan Ayahandanya. Pendopo itu sendiri murni milik Kiyai Haji Muhajir atau yang lebih akrab disapa Abah Haji.

"Kapan pendopo ini bisa diselesaikan, Pak?" tanya Ustadz Destaqi pada tukang bangunan.

"Kemungkinan satu minggu lagi, Ustadz. Insyaa Allah kami akan semakin giat," jawab si tukang bangunan dengan penuh hormat.

Ustadz Destaqi tersenyum, "Alhamdulillah, saya sudah tidak sabar ingin duduk di tempat ini bersama para jama'ah pengajian nantinya. Semoga selalu diberi kelancaran oleh Allah," ucapnya sambil matanya tak mau diam memperhatikan ke segala objek.

"Aamiin."

Yuk tinggalkan jejak. Masukkan ke favorit kalian, ya!

BERSAMBUNG...

Bab 3

Hari demi hari begitu cepat berlalu. Pendopo milik Abah Haji Muhajir pun sudah selesai dan sudah bisa diisi. Ustadz Destaqi yang tampan itu selalu memantau perkembangan pembangunan pendopo tersebut. Pendopo itu nantinya akan digunakan untuk pengajian umum setiap malam jumat. Pengajian yang akan dihadiri oleh seluruh santri dan masyarakat yang ingin menimba ilmu agama.

Hari ini, segenap keluarga besar Abah Haji Muhajir tampak sedang mempersiapkan untuk pembukaan pengajian sekaligus tasyakuran atas selesainya pembangunan pendopo tersebut.

"Alhamdulillah, akhirnya pendopo ini sudah selesai dibangun. Semoga bisa bermanfaat bagi seluruh umat," ucap Abah Haji Muhajir seraya mengedarkan pandangannya ke setiap penjuru ruangan.

Pendopo yang luas itu kini berdiri dengan megah di tengah lapangan kampung yang sudah Abah Haji Muhajir beli dari pemiliknya. Bangunan yang megah dengan arsitektur kerajaan kuno dan digabung dengan modern begitu terlihat mempesona.

Para santri Abah Haji Muhajir tampak sedang merapikan dan menggelar hambal di pendopo itu untuk pengajian nanti malam. Mereka semua begitu kompak menyiapkan segala sesuatunya.

"Desta pasti sangat nyaman sekali berada di sini, Abah," ucap Ustadz Destaqi sambil meraba dinding yang kokoh dan masih bersih dengan cat warna putih.

"Itu harus, Qi. Makanya Abah sengaja buatkan kamar juga di bagian belakang. Jadi, jika kau sedang ingin menyendiri, atau jika sedang lelah sehabis mengajar, nanti bisa tidur di kamar yang ada di bagian belakang." Abah Haji Muhajir berkata sambil menatap takjub pada tiang-tiang yang kokoh dan menjulang tinggi dengan hiasan cat warna gold.

Ustadz Destaqi tersenyum manis, "Alhamdulillah. Abah memang selalu mengerti," balasnya yang kemudian melangkahkan kakinya ke bagian belakang.

Ustadz Destaqi memang masih single. Maka tak heran jika masih dibebaskan oleh Ayahandanya. Tetapi, kalau soal pendidikan dan kegiatan di pondok pesantren miliknya, tentunya Abah Haji Muhajir sangat memantau dengan teliti. Ustadz Destaqi adalah putra pertama dari pasangan Kiyai Haji Muhajir dengan Nyai Hajah Suranih. Usianya kini sudah dua puluh delapan tahun. Ia memiliki dua orang adik. Adik pertama, seorang laki-laki berusia dua puluh lima tahun. Sedangkan adik yang ke dua seorang perempuan berusia dua puluh dua tahunan. Selisih tiga tahun-tiga tahun.

Ustadz Destaqi adalah sosok seorang kakak yang sangat penyayang dan perhatian pada adik-adiknya. Kedua orang tuanya selalu mengajarkan untuk menjadi seorang kakak yang bisa melindungi dan mengayomi adik-adiknya. Ia sangat lembut dalam bertutur kata, namun sangat tegas dan keras ketika mengajari dan melindungi adik-adiknya.

"Alhamdulillah, semoga setelah ini diriku bisa menjadi lebih baik lagi. Semoga apa yang Abah amanahkan bisa aku jalankan dengan baik dan benar," ucap Ustadz Destaqi sambil menatap kagum pada satu ruang yang akan dijadikan kamar untuknya beristirahat nanti.

Di tempat lain, seorang gadis cantik penyendiri tampak sedang memainkan jarinya di gawainya. Manik matanya menatap serius pada benda pipih yang sedang ia genggam.

"Duh, so sweet sekali," gumam Alinda saat ia membaca adegan romantis di sebuah novel online yang ia baca.

Setiap hari, gadis cantik bermata indah itu memang hanya menghabiskan waktu di dalam kamar. Walau ia mengurung diri dan menghindari bergaul dengan para tetangganya, gadis cantik itu tetap merasa nyaman dengan kesendiriannya. Karena, ada saja yang ia lakukan di dalam kamar.

Terkadang, ia menghabiskan waktu dengan membaca novel lintas digital maupun novel cetak yang ia punya. Jika ia bosan, biasanya gadis cantik itu akan membuka mushaf untuk menghafal ayat-ayat suci di dalamnya. Tak jarang ia pun membaca ayat suci Al-Quran itu dengan suara yang indah dan merdu.

"Sudah jam setengah empat. Sebaiknya aku angkatin jemuran dulu ke belakang," ucap gadis cantik itu yang bergegas menyudahi bacaan novelnya.

Dengan santai ia mengenakan hijab bergonya. Alinda memang gadis yang selalu memakai hijab setiap hari. Walaupun di dalam rumah, ia tetap memakai hijab karena tak ingin terlihat auratnya oleh pamannya. Ya, tentunya ia dengan pamannya yang tak lain adalah suami bibinya, bukanlah mahram. Sebab, yang adik kandung Ayahnya adalah bibinya yaitu Bi Herni.

Alinda melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Samar-samar ia mendengar suara Bibi Herni dengan Mamang Agus yang sedang ngobrol di dapur.

"Kumaha atuh nya, Aa. Kin wengi teh acara pembukaan pangaosan di pendopo. Neng teh era ari teu masihan nanaon mah kana Umi Hajah. Bade ngadamel kue kelepon teh acisna tos kaangge. Aya sakedik geh gaduh si Neng Alin sesa nu nawur listrik sasih kapengker tea. Jigana mah moal hadir panginteun Neng mah. Seeur pisan erana," ucap Bi Herni dengan raut wajah yang terlihat murung.

(Gimana ini, Aa. Nanti malam itu acara pembukaan pengajian di pendopo. Neng itu malu kalau gak ngasih apa-apa sama Umi Hajah. Mau bikin kue kelepon tapi uangnya sudah terpakai. Ada sedikit juga punya si Neng Alin sisa membayar listrik bulan kemarin itu. Kayaknya enggak hadir mungkin Neng mah. Banyak sekali malunya.)

"Wios atuh teu nanaon, Neng. Umi Hajah sareng Abah Haji teh teu ngareupkeun pamasihan ti sasaha atuh. Nu penting mah urang teh hadir ngiring pangaosan," balas Mang Agus yang tampak mencoba menghibur istrinya.

(Sudah tidak apa-apa, Neng. Umi Hajah sama Abah Haji itu tidak mengharapkan pemberian dari siapa pun. Yang penting itu kita hadir ikut pengajian.)

Bi Herni terdiam dan masih cemas. Tentu saja, ia yang sebagai masyarakat sekaligus suaminya adalah pegawai yang mengurus sebagian sawah milik Abah Haji dan Umi Hajah, selalu ada keinginan untuk memberi walau hanya sebatas kue biasa. Tetapi, memang hari ini rezeki tidak terlalu mencukupi. Sehingga hal itu membuatnya tidak bisa membuat kue apa-apa.

Alinda yang sedang mendengarkan di balik bilik tampak merasa sedih dengan kegundahan Bibinya. Ia merasa jika selama ini hadirnya dia di rumah itu hanya membuat bibi dan pamannya semakin kerepotan. Akhirnya ia pun kembali ke kamarnya, mengurungkan niatnya yang semula hendak mengangkati jemuran.

"Kasihan sekali bibi sama mamang. Mereka pasti semakin sulit mengatur keuangan setelah kehadiranku di rumah ini," ucap Alinda dalam hati.

Selama ini ia selalu menerima uang dari bibinya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Ia tak pernah merasa kurang dengan apa yang bibinya berikan padanya. Tetapi, tanpa ia sadar, ternyata sang bibi terkadang sering kesulitan mengatur keuangan yang tak tentu penghasilannya.

"Apa aku jual saja rumah peninggalan ayah dan bunda? Hasilnya bisa untuk modal usaha di sini. Aku juga bisa membantu bibi dan mamang dengan uang hasil penjualan rumah itu," gumam Alinda sembari menatap berat pada langit-langit kamarnya.

Ya, rumah peninggalan kedua orang tuanya memang masih berdiri di kota. Rumah itu belum ada yang mengisi dan belum tahu mau diapakan. Usul bi Herni, rumah itu harus diabadikan karena satu-satunya warisan dari almarhum dan almarhumah kedua orang tuanya Alinda.

BERSAMBUNG...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!