Bab 5

Alinda menangis sesenggukan di dalam kamar. Ucapan sang Mamang benar-benar membuat hatinya merasa sakit dan tidak terima. Tetapi, ia pun sadar jika dirinya memang seperti yang Mang Agus katakan.

"Seperti lap basah," desis Alinda sambil mengusap air matanya yang menbanjiri wajah cantiknya.

Kembali ia merenung. Memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini. Ia tak ingin lagi dikatai seperti lap basah oleh Pamannya.

"Apa yang harus aku lakukan agar tidak dikatai lap basah lagi sama Mamang? Haruskah aku mempublikasikan diriku? Haruskah aku sering-sering bergabung dengan para tetangga yang lambe turah itu? Yaa Allah," desis Alinda yang tampak bingung dengan apa yang harus ia lakukan.

Hidup di kampung dan di kota memang sangatlah berbeda. Tentunya mulut-mulut kota dan kampung pun sangat berpengaruh bagi ketenangan Alinda. Dan kini, semenjak ia tinggal di kampung, gadis cantik itu merasa jika orang-orang di sekitar tempatnya itu terlalu mengintimidasi. Seakan semua yang dilakukan oleh seseorang harus mereka ketahui. Jika tinggal di kota, tentunya orang-orang di sana akan biasa-biasa saja dan masing-masing. Tak selalu mengikut campuri urusan orang lain.

Lama ia termenung, walaupun di dalam kamar, tampak terdengar suara sound menggema yang mungkin berasal dari pendopo. Ya, lantunan sholawat sudah terdengar oleh telinga Alinda. Dapat ia bayangkan bagaimana ramainya di tempat itu. Di mana anak-anak gadis dan dewasa berupaya keras mempercantik diri agar dilihat oleh para pria bujang yang juga hadir di sana. Tentu saja Alinda sendiri memang pernah mengalami hal itu.

Ya, dulu saat ia tinggal di kota, Alinda sering ikut majelisan rutinan setiap malam rabu di majelis Nurul Musthofa. Tentunya ia sendiri selalu ingin terlihat rapi dan cantik karena akan banyak para pria yang hadir di sana. Mereka semua seperti mencari kesempatan untuk saling kenalan dan tebar pesona. Terkadang, ada juga yang sampai menjalin hubungan karena cinta lokasi hingga sampai ke jenjang pernikahan. Tapi tidak dengan Alinda. Gadis cantik itu sama sekali tidak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun. Bukan tidak ada yang menyukainya, tetapi ia yang belum ingin membuka hati pada pria yang ia pikir hanya akan membuang-buang waktu berharganya.

"Aku ingin ke luar. Tapi, ke mana? Lama-lama memang terasa sumpek jika terus-terusan ngelumbuk seperti lap basah. Haha, lap basah. Kurang asem!" celoteh gadis cantik itu yang kini tampak mengedarkan pandangannya ke segala arah.

"Pintu rumah dikunci dari luar kata bibi. Jadi, aku gak bisa keluar saat ini. Tapi, aku ingin ke luar! Dan aku juga gak tahu ke luar mau ke mana? Yaa Allah. Ke pendopo itu kah? Ah, rasanya terlalu ambigu kalau aku benar-benar ke sana," celoteh Alinda sambil bangkit dari duduknya lalu memikirkan apa yang akan ia lakukan di luar.

Sementara itu di pendopo, urutan acara telah dimulai sedari tadi. Karena ini pembukaan pengajian sekaligus tasyakuran pendopo, Abah Haji Muhajir meminta pada para alim ulama yang hadir untuk memimpin setiap urutan acara. Dimulai dari pembacaan hadorot dan silsilah, kemudian Yasin dan tahtim, dzikir, sholawat dan terakhir yaitu doa.

Sedangkan Ustadz tampan Destaqi malam ini yang mengisi tausiah. Sebenarnya ini hal yang sangat menegangkan bagi Ustadz tampan itu. Pasalnya, malam ini ia harus berdiri di hadapan orang banyak. Terlebih karena ia berdiri di hadapan masyarakat tempatnya dilahirkan dan dibesarkan.

"Ini Destaqi yang dulu sering ikut sama Pak Haji ke kantor kami, ya, Umi?" tanya istri Pak Haji Anwar pada Nyai Hajah Suranih.

Nyai Hajah tersenyum lantas mengangguk, "Iya atuh Bu Hajah. Saya teh punya anak yang namanya Destaqi ya cuma satu doang, ya ini si cikal. Yang ke dua kan si Arafat, dan si bungsu namanya Zahrani," jawabnya dengan jelas.

Bu Haji Anwar terkekeh, "Iya-iya. Saya teh sudah lama gak ketemu sama Destaqi, jadi sekarang agak beda gitu kan ya wajahnya. Makin tampan dan berkharisma. Maa Syaa Allah!" pujinya penuh binar.

Nyai Hajah tersenyum, "Alhamdulillah. Ketampanan Abahnya menurun pada putra-putra kami. Dan semoga bukan hanya parasnya saja yang tampan, tapi hatinya juga. Aamiin," ucapnya penuh syukur pada Allah.

"Aamiin. Itu mah pasti atuh, Umi. Secara kan Umi sama Abah juga orang yang sangat baik dan alim. Duh, saya teh jadi ingin punya menantu seperti Destaqi. Sudah tampan, pintar, baik lagi!" ujar Bu Hajah Anwar yang terlihat antusias.

"Ya kalau gitu mah kita besanan saja atuh, Bu Hajah. Putri Bu Hajah sudah pantas dinikahi, bukan?" Nyai Hajah menanggapi dengan serius.

"Oooh atuh siap kalau gitu. Tapi, putri saya teh masih kuliah, Umi. Gimana atuh ya, bisa kali nikah sambil kuliah?" balas Bu Hajah Anwar yang juga serius.

"Aduh, kalau itu saya kurang tahu. Karena dulu saya gak kuliah. Hehe," kekeh Nyai Hajah.

"Oh iya, maaf. Umi mah enggak kuliah, tapi langsung kuli ... ah! Benar tidak? Hihihi," ledek Bu Hajah Anwar.

Nyai Hajah terkekeh mendengar ledekan istri sahabat suaminya itu. "Bisa saja kamu mah, Bu Hajah," ucapnya sambil menepuk kecil tangan Bu Hajah Anwar.

"Ya sudah atuh nanti kita teh obrolin lagi soal ini. Semoga saja si Khanidah bisa menikah di kala masih kuliah," ujar Bu Hajah Anwar.

Nyai Hajah mengangguk sambil tersenyum. Mereka berdua menyempatkan diri berbincang di kala Ustadz Destaqi sudah berdiri sejak tadi dan memaparkan segala macam hadits dan kalam Allah dalam tausiahnya.

Sementara itu, Alinda nekat meloncat dari jendela kamar. Mengingat bahwa pintu depan dan belakang dikunci di luar. Jadi, ia terpaksa melarikan diri lewat jendela kamarnya. Beruntungnya, di samping kamarnya adalah lahan kosong milik Pak RT. Jadi, ia bisa leluasa tanpa ada yang melihatnya.

"Huh, ke mana aku harus pergi? Tidak mungkin aku kabur dari sini. Tapi, aku lagi malas di rumah Bibi. Malas lihat wajah Mamang yang mengataiku seperti lap basah," oceh Alinda sambil mulai berjalan meninggalkan rumah sederhana itu.

Alinda keluar memakai jaket serta hijab dan juga niqab. Tentunya hal itu ia lakukan agar tidak ada yang mengenali wajahnya. Samar-samar ia mendengar suara sound yang ia duga dari pendopo. Ya, jelas malam itu pengajian hanya ada di pendopo, jadi ia bisa menebak jika suara pria yang sedang tausiah itu berada di pendopo.

Alinda terus melangkahkan kakinya melewati rumah-rumah warga yang sepi penghuni. Mungkin mereka semua pada hadir di pendopo. Sedangkan ia, sangat malas dan belum srek untuk hadir pengajian di pendopo itu.

"Sebentar, itu saung apa gubug? Agaknya tak terurus," ucap Alinda saat netra hitamnya menangkap sebuah gubug kayu yang terlihat kumuh dan tak terawat.

Tanpa pikir panjang Alinda pun melangkahkan kakinya mendekati gubug tersebut. Ya, gubug itu berada di dekat rumah-rumah warga. Tapi, jauh dari rumah Bibinya.

BERSAMBUNG...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!