Bab 13

Alinda masih menundukkan wajahnya dalam. Sang Bibi dengan sang Paman pun masih berada di dekatnya.

"Sebaiknya kamu pikirkan lagi, Neng. Kalau saran Mamang sih ... jangan dijual rumah peninggalan almarhum ayah dan bunda Neng. Itu kan harta warisan dari almarhum kedua orang tua Neng Alin. Jadi, tidak etis juga kalau Neng menjual rumah itu," ujar Mang Agus penuh penekanan.

Alinda mengangguk paham. Ia juga masih terus berpikir apa yang harus ia lakukan. Sedangkan kini ia sangat ingin membantu keuangan Bibi dengan Pamannya itu.

"Alin juga bingung, Mang, Bi. Tapi, Alin hanya ingin membantu Mamang dan Bibi saja. Alin ingin menggunakan uang dari hasil penjualan rumah itu untuk modal usaha," ucap Alinda penuh penjelasan.

Bi Herni dan Mang Agus tampak saling beradu pandang. Jujur saja, mereka tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Sebab rumah peninggalan ayah dan bundanya Alinda itu memang untuk Alinda kelak ketika sudah menikah. Terlepas dipakai atau pun tidak, yang jelas rumah itu jangan sampai dijual dan jatuh ke tangan orang lain.

"Ya Allah. Bibi benar-benar salut sama Neng. Tapi, jangan repot-repot, ya. Neng Alin teh sudah menjadi tanggung jawab Bibi sama Mamang. Jadi, apa pun yang terjadi, kami yang siap membiyayai hidup Neng Alin. Dulu, saat ayah dan bunda Neng Alin masih hidup, mereka sering membantu kami. Jadi kini waktunya kami yang membantu mereka," ujar Bi Herni dengan lembut namun tegas.

Alinda manggut-manggut tanda mengerti. Ia pun kembali menitikan air matanya karena sedih. Teringat pada sang ayah dengan sang bunda yang sangat menyayanginya.

"Benar yang Bibimu katakan, Neng. Kami sungguh tidak apa-apa. Jadi, jangan terlalu dipikirkan, ya. Jalani saja hidup Neng Alin sebagaimana mestinya," timpal Mang Agus membenarkan ucapan istrinya.

"Tapi ... Alin juga tidak enak kalau terus-terusan merepotkan Bibi sama Mamang," ucap Alinda dengan suara yang bergetar.

Bi Herni mengusap lembut punggung keponakannya itu. "Jangan bicara seperti itu, Neng. Bibi sama Mamang sungguh tidak merasa repot ataupun terbeban. Lagipula, Allah selalu memberikan rezeki pada kami melalui jalan mana saja. Seperti yang Neng Alin tahu, saat ini Mamang mengurus persawahan milik Abah Haji Muhajir. Selain itu, Bibi juga bekerja di kebun milik juragan Dedy Sanjaya. Jadi, Neng Alin tenang saja, ya. In Syaa Allah, Allah akan selalu memberikan rezeki yang berkah pada kita," ujarnya penuh penjelasan. Berharap sang keponakannya tidak berkecil hati lagi.

Alinda hanya diam dan tak segera menjawab. Walaupun Bibi dan Pamannya mengaku tidak kerepotan dan tidak terbeban, tapi tetap saja ia merasa tidak enak hati.

"Oh ya, semalam teh Neng Alin bobo di mana ya? Mamang sama Bibi teh nyariin ke mana-mana, tapi Neng Alin gak keteku-ketemu," tanya Mang Agus yang kini mulai mengalihkan pembicaraan.

Alinda menarik napasnya dalam lalu membuangnya perlahan. "Alin bobo di...." Ia tampak ragu untuk bicara. Khawatir sang Bibi dengan sang Paman akan melarangnya untuk tidur di sana lagi.

"Di mana, Neng? Tapi si Neng teh aman kan bobonya?" tanya Bi Herni mendesak. Ia benar-benar penasaran.

Alinda mengangguk. "Alhamdulillah aman, Bi. Alin masih dapat perlindungan dari Allah," jawabnya dengan tenang dan santai.

Bi Herni dan Mang Agus masih menunggu jawaban Alinda tidur di mana. Sedangkan Alinda sendiri bingung apakah harus menjawab apa tidak perlu.

"Apa yang harus aku katakan? Haruskah aku menjawab tidur di mana? Aku takut Bibi sama Mamang akan marah dan bisa-bisa ngelarang aku buat tidur di sana lagi," ucap Alinda dalam hati.

"Neng," panggil Bi Herni yang berhasil membuat Alinda harus meninggalkan lamunannya.

"Ah iya, Bi?" sahut Alinda setengah kaget.

"Di mana kamu bobo semalam? Jawab, dong! Neng Alin teh gak tidur di kolong jembatan kan?" tanya Bi Herni yang terus mendesak.

Alinda mengangguk. "Alin bobo di gubug dekat sungai, Bi," jawabnya yang berhasil membuat Bi Herni dan Mang Agus tersentak kaget.

"Apaaa???"

Sontak saja Bi Herni dan Mang Agus tampak membulatkan kedua bola mata mereka penuh. Bahkan mungkin nyaris menggelundung ke lantai saking kagetnya.

Alinda mengangguk. Ia sudah mengira pasti Bibi dengan Pamannya itu pasti kaget mendengar jawabannya.

"Ya Allah, Neng. Kenapa bobo di sana? Neng gak tahu kalau gubug itu bekas orang bunuh diri? Itu gubug angker, Neng. Memang Neng gak takut?" sosor Bi Herni yang tampak kaget bukan main.

Bi Herni sendiri sangat parno setiap kali lewat gubug itu. Walaupun di siang ataupun sore hari, ia tetap saja merasa parno dan merinding. Mungkin karena gubug itu bekas orang bunuh diri.

Alinda tampak membulatkan kedua bola matanya penuh. Tentu saja ia tidak tahu menahu soal gubug itu. Yang ia tahu, gubug itu bekas tempat musyawarah para penduduk desa setiap kali akan diadakan acara ataupun kepentingan lainnya.

"Hah! Bekas orang bunuh diri? Yang benar saja, Bi!?" Alinda tampak kaget dan seketika ia merinding saat itu juga. Ya, walaupun semalam ia tidak melihat apa pun di gubug itu.

"Iya, di gubug itu beberapa tahun lalu ada yang bunuh diri. Tapi, kabar bunuh diri itu belum pasti, sih. Bisa jadi orang itu di bunuh di tempat lain, tapi mungkin dibuang di gubug itu. Sebab, tidak ada bukti dan ciri-ciri jika orang itu telah melakukan bunuh diri di sana," papar Mang Agus menjelaskan.

"Astagfirullah. Jadi, karena itu gubug yang masih bagus itu tidak dipakai lagi?" tanya Alinda.

Bi Herni dan Mang Agus mengangguk.

"Iya. Kami para warga ketakutan dan menganggap gubug itu sebagai gubug angker. Jadi, terpaksa gubug itu tidak dipakai lagi," jawab Mang Agus dengan jelas.

Alinda tampak menggeleng-gelengkan kepalanya setengah tak menyangka. Semalam ia tidur di gubug yang dianggap angker oleh para warga di sana. Tapi ia sendiri tidak merasakan hawa angker ataupun hawa mistis di sana.

"Itu mungkin hanya ketakutan warga saja. Sebenarnya tidak ada apa-apa di sana. Alin semalam merasa tenang dan hangat berada di sana sampai subuh tadi," ujar Alinda memaparkan.

"Benar begitu? Tapi Bibi mah takut semenjak ada kejadian orang meninggal yang katanya bunuh diri itu," ucap Bi Herni sambil bergidik ngeri.

Alinda tersenyum. "Itu hanya sugesti Bibi saja. Sebenarnya tidak ada apa-apa, kok. Bahkan setelah ini Alin akan terus mengisi gubug itu untuk istirahat dan berkhalwat dengan Allah. Sayang kan gubug senyaman itu ditinggal gitu aja. Mendingan geh Alin pakai untuk membaca ayat suci Al-Quran dan membaca sholawat," ujarnya panjang lebar. Ia tampak benar-benar yakin dan sepakat bahwa akan menjadikan gubug itu tempatnya berkhalwat.

BERSAMBUNG...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!